Ekonom Blak-blakan Penyebab Sritex (SRIL) Pailit, Ini Biang Keroknya
Bisnis.com, JAKARTA – Ekonom menilai salah satu penyebab kebangkrutan PT Sri Rejeki Isman Tbk. (SRIL) atau Sritex yaitu minimnya investasi pada inovasi teknologi hingga tekanan ongkos produksi. Kondisi tersebut yang menyebabkan raksasa tekstil itu didera kepailitan.
Founder Next Policy, sekaligus Ekonom Senior, Fithra Faisal Hastiadi mengatakan beban produksi yang masih tinggi memicu perusahaan tersebut tidak mampu untuk melakukan pembaruan teknologi sehingga tidak mampu berkompetisi di pasar.
“Sekarang Sritex udah begini karena tekanan ongkos produksi, dia tidak bisa berkompetisi, salahinnya China. Sebenarnya salahnya dia kenapa tidak mampu berinovasi,” kata Fithra dalam agenda Dominasi Impor Produk China terhadap Industri Lokal, Selasa (24/12/2024).
Baca Juga : Kemenaker Blak-blakan Nasib Pekerja Sritex (SRIL) usai Pailit
Dia membeberkan sejumlah alasan yang membuat Sritex tak mampu bertahan, yaitu tidak mau berinvestasi pada mesin-mesin baru dan tidak membuka atau memperluas market. Kondisi ini sudah menjadi persoalan bagi Sritex sebelum kehadiran tantangan lainnya.
Kendati demikian, Fithra melihat Sritex justru hanya menyalahkan kepailitannya lantaran banjir barang impor China dan dampak dari Permendag 8/2024 terkait relaksasi impor sejumlah komoditas, termasuk tekstil dan produk tekstil (TPT).
Baca Juga : : Antisipasi PHK, Kemenaker Siapkan JKP untuk Pekerja Sritex (SRIL)
“Ya makanya sekarang collapse, yang disalahin adalah permendag 8, padahal Permendag 8 itu hadir setelah dia punya masalah itu. Mungkin iya menambah kompleksitas,” jelasnya.
Kendati demikian, Fithra tak memungkiri tekanan industri dari regulasi Permendag 8/2024 serta kenaikan PPN 12% hingga UMP yang naik 6,5% pada tahun depan dapat mengurangi daya beli masyarakat.
Baca Juga : : Wamenaker Duga Ada ‘Tangan Setan’ di Balik Kepailitan Sritex
Dalam laporan terbaru Next Policy, kebijakan tersebut diduga berkontribusi pada peningkatan volume impor yang tidak terkontrol, memperdalam tantangan yang dihadapi oleh produsen lokal dan berpotensi merusak ekosistem industri lokal dengan persaingan yang tidak seimbang.
“Sebenarnya kalau dibandingin antara PPN sama UMR, saya tuh lebih takut sama UMR. Kenapa? PPN itu 1% itu buat barang premium, itu end product, buat input produksi enggak terlalu berdampak. Yang paling berdampak pada input produksi apa? UMR naik 6,5%,” jelasnya.
Menurut dia, kenaikan upah minimum lebih berdampak pada tekanan ongkos produksi yang membuat industri tidak dapat berdaya saing di pasar. Apalagi, industri dihadapkan dengan persaingan harga produk impor dari China yang jauh lebih murah.
Pihaknya mencatat produk-produk asal China termasuk tekstil menjadi lebih terjangkau bagi konsumen di Indonesia sejak penerapan Asean-China Free Trade Agreement (ACFTA).
Pada periode 2019-2023, impor tekstil dari China meningkat dengan rata-rata tahunan sebesar 2,75%. Hingga tahun ini, nilai impor Indonesia dari China mencapai US$52,26 miliar pada Januari-September meningkat 13,03% dari tahun sebelumnya.