Strategi Perusahaan agar Pekerja Gen Z Bertahan
TEMPO.CO, Jakarta – Perusahaan layanan berbasis aplikasi PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk memiliki beberapa cara untuk membuat generasi Z (gen Z) betah bekerja. Hampir separuh karyawan di perusahaan terknologi ini merupakan gen Z.
Direktur Corporate Affairs PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk Nila Marita mengatakan dalam dunia kerja gen Z dikenal dengan beberapa stigma yang cenderung negatif. Di antaranya lebih suka hal bersifat instan, sulit mengikuti instruksi, terlalu idealis hingga rentan terhadap tekanan.
Namun generasi ini memiliki sisi positif yakni mudah beradaptasi dan punya rasa ingin tahu yang cukup tinggi. Karena biasa mengakses informasi dengan cepat, biasa mendapat pengetahuan baru. “Dalam konteks dunia profesional, menurut kami ini menjadi sebuah potensi atau traits positif yang kita bisa gali dan arahkan secara positif dari gen Z,” ujar Nila.
Generasi Z juga dikenal kerap berpindah lokasi kerja. Chief Human Resources Officer GoTo Group Monica Oudang mengatakan wajar jika pekerja ingin mengeksplorasi berbagai jalur karier yang ada. Namun, perusahaan tak seharusnya melihat hal ini sebagai risiko atau alasan untuk enggan merekrut talenta muda.
Penting bagi perusahaan-perusahaan untuk memahami alasan di balik perilaku pekerja angkatan muda. Karena menurut Monica hal itu dapat membantu merumuskan strategi yang lebih efektif untuk mempertahankan mereka. Karakteristik ini justru membantu GoTo tetap kompetitif dan menyesuaikan perusahaan dengan dinamika lapangan kerja yang baru.
Untuk membuat pekerja gen Z betah, GoTo melakukan beberapa cara dan dukungan fasilitas. Perusahaan ini menawarkan fasilitas kantor seperti ruang musik, gym dan perpustakaan. “Agar karyawan dapat menekuni hobi pribadinya, bahkan di tempat kerja,” ujarnya.
GoTo juga menawarkan dukungan konseling 7 kali 24 jam untuk memprioritaskan kesehatan mental. Perusahaan mendukung kesejahteraan karyawan melalui berbagai inisiatif untuk menyediakan lingkungan kerja yang positif.
Selain itu, perusahaan menunjukkan dengan lebih jelas jalur perkembangan karier serta menekankan pentingnya pelatihan dan pembelajaran. Karyawan dilibatkan dalam beberapa proyek sejak awal karier mereka. “Karyawan kami dilibatkan langsung dalam berbagai proyek, diberikan ruang untuk berkontribusi dan belajar dari kesalahan.”
Saat ini kelompok generasi Z semakin mendominasi dunia kerja. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, jumlah Gen Z di Indonesia mencapai 26,4 persen dari total populasi nasional atau sekitar 71,5 juta jiwa. Generasi yang lahir antara tahun 1997 hingga 2012 ini memiliki karakteristik unik yang membuatnya berbeda dengan generasi sebelumnya.
Karena jumlahnya mulai mendominasi, cara kerja gen Z juga jadi sorotan. Dosen Psikologi Universitas Paramadina Jakarta, Tia Rahmania mengatakan angkatan kerja ini juga lekat dengan istilah job hopping atau kecenderungan seseorang untuk berpindah-pindah pekerjaan dalam jangka waktu yang relatif singkat.
Ada beberapa hal yang menyebabkan gen Z tak betah di perusahaan tempatnya bekerja. Analisis platform survei daring Jakpat pada Februari 2024 memaparkan gaji yang kurang memuaskan jadi alasan 41 persen Gen Z memilih untuk mengundurkan diri. Selain itu alasan kedua adalah mendapat pekerjaan lebih baik. Disusul alasan beban kerja terlalu berat, merasa tidak diapresiasi lalu ingin menjelajahi jenis pekerjaan lain, tak memiliki jalur karir hingga lingkungan kerja yang toxic.
Generasi Z. Foto: Canva
Menurut Tia perusahaan perlu memberikan apresiasi dan ruang untuk berkembang bagi Gen Z. Karakteristik gen Z, menurut dia, adalah individu yang suka kebebasan dan menginginkan fleksibilitas. Mereka cenderung menyukai lingkungan dengan kepemimpinan yang non-hierarkis.
Terkait dengan penerapan kepemimpinan dia menyarankan perusahaan melakukan pendekatan humanis tanpa melupakan target-target dari perusahaan. Dalam etika kerja, jika tak sesuai dengan budaya organisasi, senior tetap memberikan supervisi. “Pemberian saran dan rekomendasi bagi pekerja gen Z harus jelas namun konstruktif.”
Kesejahteraan fisik dan psikis juga perlu diperhatikan. Tia menekankan pentingnya perusahaan memberikan program dan fasilitas kesehatan mental. “Kalau mau bikin program kesejahteraan mental seperti healing-healing atau jalan-jalan kecil,” ujarnya.
Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Bidang Ketenagakerjaan Bob Azam mengatakan generasi Z punya potensi besar di dunia kerja. Karena posisi mereka yang strategis selaku konsumen sekaligus produsen. Sebagai konsumen mereka menentukan tren produk ke depan. Selaku produsen mereka punya hasrat sendiri untuk bekerja di bidang yg mereka inginkan. “Sangat penting libatkan kreatifitas gen Z, apa lagi Indonesia punya bonus demografi yang diisi gen Z.”
Negara maju menurut dia tak banyak memiliki angkatan muda atau gen Z seperti Indonesia. Dengan memanfaatkan kreatifitas gen Z, Bob yakin Indonesia mampu menciptakan tren produk seperti fesyen dan consumers goods.
Cara ini juga dimanfaatkan oleh PT Astra International Tbk. Produsen otomotif ini memperkirakan pasar dalam negeri akan didominasi oleh generasi milenial dan dan gen Z dalam jangka panjang. Head of Brand Communications Astra, Yudha Prasetya, mengatakan pengguna otomotif saat ini mungkin lebih banyak berasal dari generasi yang lebih tua. Namun dalam waktu mendatang, perusahaan milenial dan gen Z sebagai konsumer potensial.
Yudha menceritakan pengalaman kantornya ketika merekrut karyawan gen Z. Ketika anak muda ini telah menemukan pekerjaan yang sesuai dengan passion, mereka akan bekerja dengan sangat antusias dan serius. Gen Z kata dia akan terus mengulik hal-hal yang sedang digelutinya.
Namun, keseriusan itu harus menyesuaikan dengan minat mereka. Perusahaan tak bisa langsung mengatur mereka secara satu arah untuk melaksanakan berbagai pekerjaan.
Agar tetap relevan dengan pasar, Yudha mengatakan perusahaan justru harus mengubah cara pandang dan pendekatan. “Pendekatannya beda. Enggak bisa gen Z dipaksa, katanya mereka lemah. Mungkin pendekatannya yang salah,” kata dia.
Adil Al Hasan dan Han Revanda berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Artikel ini merupakan bagian dari jurnalisme konstruktif yang didukung International Media Support.