Guru Besar Unair Ungkap Perawat Migran Indonesia Alami Brain Waste
TEMPO.CO, Jakarta – Kebutuhan perawat secara global diprediksi meningkat hingga 2030 mendatang. Angka kebutuhannya saat itu diprediksi sampai 13 juta tenaga kerja. Indonesia, sebagai pasar profesi perawat, memiliki beragam tantangan untuk bisa mengambil peluang tersebut.
Dosen di Fakultas Keperawatan, Universitas Airlangga (Unair), Ferry Effendy, mengungkap itu dalam orasi ilmiahnya ketika dikukuhkan sebagai Guru Besar di bidang Keperawatan Komunitas pada Kamis 19 November 2024. “Indonesia bisa mengambil peluang itu namun ini menuntut profesionalisme dan kompetensi tinggi,” kata dia.
Ferry membeberkan hasil penelitiannya tentang tenaga perawat Indonesia yang bermigrasi ke luar negeri atau perawat migran. Menurut Ferry, fenomena perawat Indonesia yang bekerja atau bermigrasi ke luar negeri telah terjadi dan berkembang. Namun, ada tantangan yang harus dihadapi dalam siklus migrasi itu.
Pertama, tantangan pra-migrasi. Ini, kata Ferry, meliputi keterbatasan bahasa, pemahaman budaya negara tujuan, serta rendahnya minat dan kesiapan mental. Kedua, tantangan saat migrasi. Ini juga meliputi bahasa dan adaptasi budaya, serta rendahnya minat dan kesiapan mental.
Ketiga, tantangan pasca-migrasi atau ketika kembali ke Indonesia. Menurut Ferry, perawat migran kerap menghadapi fenomena brain waste dan kurangnya pengakuan atas pengalaman internasional. “Brain waste adalah kurangnya pemanfaatan kompetensi perawat migran setelah mereka kembali,” kata Ferry.
Pengukuhan Ferry Effendy dari Fakultas Keperawatan Unair sebagai Guru Besar di bidang Keperawatan Komunitas pada Kamis, 19 Desember 2024. Ferry merinci tantangan yang dihadapi perawat migran Indonesia, dari sebelum berangkat sampai kembali lagi di Tanah Air. Foto: dokumentasi Unair
Karenanya, Ferry menyarankan agar semua pihak yang terlibat mengupayakan siklus migrasi yang seimbang. Sehingga, perawat migran tetap berkontribusi kepada negara asal melalui transfer ilmu dan pengalaman.
Itu artinya, Ferry menyarankan, pemerintah perlu mengembangkan kebijakan strategis untuk mengoptimalkan sumber daya manusia keperawatan. Hal tersebut dapat diterapkan melalui pelatihan pramigrasi.
Lalu, institusi pendidikan keperawatan harus mengaplikasikan kurikulum pembelajaran yang lebih adaptif terhadap tren pasar kerja tenaga kesehatan. Mereka juga dimintanya mengoptimalkan inovasi atau penelitian yang mendukung kesejahteraan perawat.
Sedangkan kepada masyarakat, terutama keluarga, Ferry mengatakan, juga dapat berkontribusi dengan memberikan dukungan moral dan emosional bagi para perawat migran Indonesia. Masyarakat juga dapat memanfaatkan pengalaman perawat migran Indonesia untuk memperkuat sektor kesehatan lokal.
“Ini bisa diwujudkan melalui inisiatif kolaboratif berbasis komunitas,” katanya yang berharap bahwa migrasi perawat tidak hanya dilihat sebagai mobilitas tenaga kerja, “Namun sebagai perjalanan transformasi SDM Indonesia yang unggul di kancah global.”
Pilihan Editor: Riset Senyawa Amfifilik untuk Vaksin Tablet Berbuah Gelar Guru Besar