Quiet Quitting: Sikap Kerja atau Penghambat Karir?
Dalam dunia kerja yang semakin kompetitif, muncul fenomena bernama quiet quitting. Istilah ini mengacu pada karyawan yang hanya melakukan pekerjaannya sesuai deskripsi kerja tanpa memberikan usaha tambahan atau melampaui ekspektasi minimum. Secara sederhana, mereka hanya menjalankan tugas “sebatas yang diminta.”
Mengapa Quiet Quitting Terjadi?
Quiet quitting sering kali muncul sebagai respons terhadap tekanan pekerjaan, ketidakseimbangan kehidupan kerja, atau kurangnya penghargaan dari perusahaan.
Ketika seseorang merasa bahwa usahanya tidak dihargai, mereka mungkin cenderung memilih untuk “bertahan” dengan energi minimal. Alasan lainnya termasuk:
1. Burnout: Tekanan kerja yang berlebihan tanpa istirahat cukup.
2. Kurangnya insentif: Tidak adanya penghargaan, baik finansial maupun pengakuan.
3. Kehilangan motivasi: Lingkungan kerja yang toksik atau monoton.
Quiet Quitting: Apakah Selalu Buruk?
Sebelum menilai quiet quitting sebagai negatif, penting untuk memahami bahwa menjaga batasan diri bukanlah hal yang salah. Beberapa orang mempraktikkannya untuk menghindari stres atau menjaga keseimbangan kehidupan pribadi dan pekerjaan.
Namun, ada sisi lain yang perlu dipertimbangkan, terutama jika menyangkut perkembangan karir.
Dampak Quiet Quitting untuk Karir
Meskipun quiet quitting bisa memberikan ruang untuk kesehatan mental, ada konsekuensi yang tidak bisa diabaikan, yaitu:
1. Sulit Berkembang
Mengambil pekerjaan hanya di batas minimum dapat membatasi peluang belajar keterampilan baru. Akibatnya, karyawan mungkin dianggap kurang proaktif atau inovatif.
2. Citra Profesional yang Negatif
Manajer atau rekan kerja bisa melihatnya sebagai kurangnya komitmen. Ini dapat memengaruhi rekomendasi atau peluang promosi.
3. Kurang Kontribusi pada Tim
Bekerja di level minimum mungkin membuat rekan kerja merasa harus menanggung beban lebih besar, yang dapat menciptakan ketegangan dalam tim.
Bekerja dengan Extra Miles: Apakah Solusi Tepat?
Sebaliknya, bekerja dengan usaha ekstra atau extra miles bisa menjadi pedang bermata dua. Di satu sisi, menunjukkan inisiatif tambahan dapat meningkatkan reputasi profesional dan membuka peluang karir lebih baik.
Namun, penting untuk memastikan bahwa ini tidak sampai mengorbankan kesehatan fisik atau mental.
Menemukan Keseimbangan
Quiet quitting atau extra miles bukanlah satu-satunya pilihan. Yang terpenting adalah menemukan keseimbangan yang sesuai dengan kebutuhan pribadi dan karir. Berikut beberapa langkah yang bisa membantu:
-Tetapkan Prioritas: Pahami kapan harus memberikan usaha ekstra dan kapan cukup menyelesaikan tugas inti.
-Diskusikan Harapan dengan Atasan: Pastikan deskripsi kerja dan ekspektasi jelas sejak awal.
-Jaga Kesehatan Mental: Jangan sampai ambisi karir mengorbankan kesejahteraan pribadi.
-Tingkatkan Skill Secara Bertahap: Ambil inisiatif untuk belajar di luar tanggung jawab pekerjaan, tanpa harus berlebihan.
Quiet quitting bisa menjadi sinyal perlunya perubahan baik dari sisi karyawan maupun perusahaan. Karyawan perlu menjaga keseimbangan antara bekerja dengan usaha yang wajar dan mempertahankan kesehatan mental.
Sementara itu, perusahaan juga harus menciptakan lingkungan yang mendukung dan memberikan apresiasi terhadap kontribusi setiap individu.
Jadi, bagaimana menurutmu? Apakah quiet quitting adalah cara terbaik untuk menjaga diri, atau langkah yang justru membatasi potensi karirmu?