17 Bandara Status Internasional di Indonesia Turun Kasta Jadi Domestik,5 Masih Bertahan

JAKARTA - Kementerian Perhubungan menyampaikan, setidaknya lima bandara di Indonesia yang rutin penerbangan Internasional. Kelima bandara yang dimaksud adalah Soekarno-Hatta - Jakarta, I Gusti Ngurah Rai - Bali, Juanda - Surabaya, Sultan Hasanuddin - Makassar dan Kualanamu – Medan. Hal tersebut disampaikan oleh juru Bicara Kemenhub Adita Irawati berdasarkan data Ditjen Perhubungan Udara dari 34 bandara internasional yang dibuka...

17 Bandara Status Internasional di Indonesia Turun Kasta Jadi Domestik,5 Masih Bertahan

TRIBUN-TIMUR.COM, JAKARTA - Kementerian Perhubungan menyampaikan, setidaknya lima bandara di Indonesia yang rutin penerbangan Internasional.

Kelima bandara yang dimaksud adalah Soekarno-Hatta - Jakarta, I Gusti Ngurah Rai - Bali, Juanda - Surabaya, Sultan Hasanuddin - Makassar dan Kualanamu – Medan.

Hal tersebut disampaikan oleh juru Bicara Kemenhub Adita Irawati berdasarkan data Ditjen Perhubungan Udara dari 34 bandara internasional yang dibuka periode 2015-2021.

"Beberapa bandara internasional hanya melayani penerbangan jarak dekat dari/ke satu atau dua negara saja," katanya dalam siaran pers, Jumat (26/4/2024).

Mengacu pada alasan tersebut, Kemenhub memutuskan untuk mencabut satatus 17 bandara internasional menjadi bandara domestik.

Adapun, keputusan tersebut mengacu pada Keputusan Menteri Perhubungan (Kepmenhub) No. 31/2024 (KM 31/2004) tentang Penetapan Bandar Udara Internasional pada 2 April 2024.

17 Bandara yang Turun Kasta Jadi Bandara Domestik

  1. Bandara Maimun Saleh, Sabang (SBG)
  2. Bandara Sisingamangaraja XII, Silangit (DTB)
  3. Bandara Raja Haji Fisabilillah, Tanjung Pinang (TNJ)
  4. Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II, Palembang (PLM)
  5. Bandara Raden Inten II, Lampung (TKG)
  6. Bandara H.A.S Hanandjoeddin, Tanjung Pandan (TJQ)
  7. Bandara Husein Sastranegara, Bandung (BDO)
  8. Bandara Adi Sutjipto, Yogyakarta (JOG)
  9. Bandara Jenderal Ahmad Yani, Semarang (SRG)
  10. Bandara Adi Soemarmo, Solo (SOC)
  11. Bandara Banyuwangi, Banyuwangi (BWX)
  12. Bandara Supadio, Pontianak (PNK)
  13. Bandara Juwata, Tarakan (TRK)
  14. Bandara Syamsuddin Noor, Banjarmasin (BDJ)
  15. Bandara El Tari, Kupang (KOE)
  16. Bandara Pattimura, Ambon (AMQ)
  17. Bandara Frans Kaisiepo, Biak (BIK). 

Pencabutan 17 bandara di Indonesia dari kategori internasional ke domestik disebut pengamat memperlihatkan ketidakseriusan Kementerian Perhubungan, operator, dan pemerintah daerah dalam mengembangkan pasar pariwisata.

Semestinya pihak pengelola operator dan pemerintah daerah bisa lebih kreatif mencari cara agar menarik wisatawan atau pelaku penerbangan asing untuk singgah.

Bukan pasrah hingga akhirnya sepi peminat dan menyatakan rugi, kata pakar penerbangan, Ruth Hana Simatupang.

Di sisi lain, juru bicara Kementerian Perhubungan, Adita Irawati, menyebut penurunan status belasan bandara ini ditujukan untuk dapat mendorong sektor penerbangan nasional yang sempat terpuruk saat pandemi Covid 19.

Dia berkata, beberapa bandara internasional hanya melayani penerbangan jarak dekat dari/ke satu atau dua negara saja.

Adapun bandara internasional lainnya hanya beberapa kali melakukan penerbangan internasional.

Bahkan ada yang sama sekali tidak memiliki pelayanan penerbangan internasional.

Dua kriteria bandara yang terakhir ini, sambungnya, menyebabkan operasional menjadi tidak efektif dan efisien dalam pemanfaatannya.

Namun demikian, Pj Gubernur Kalimantan Barat, Harisson, mengaku kecewa dengan keputusan Kemenhub yang menurunkan status Bandara Supadio di Pontianak karena alasan "menggerus devisa negara lantaran banyaknya masyarakat yang pergi ke luar negeri".

Lalu seperti apa respons masyarakat atas kebijakan itu?

Apa alasan pemerintah mencabut status bandara internasional?

Pencabutan status 17 bandara dari kategori internasional ke domestik sebetulnya kelanjutan dari wacana pemerintah - khususnya Kementerian BUMN - pada tahun 2023 yang hendak memangkas jumlah bandara internasional di seluruh Indonesia.

Dari yang jumlahnya 34 menjadi 15.

Pemangkasan itu dilakukan untuk meningkatkan gairah pariwisata, terutama mendorong masyarakat berlibur di dalam negeri.

Sejak itu, Kementerian Perhubungan melakukan evaluasi besar-besaran terhadap 34 bandara internasional yang dianggap beroperasi kurang optimal.

Hasilnya adalah Kemenhub mencabut status 17 bandara dari kategori internasional ke domestik lewat Keputusan Menteri nomor 31 tahun 2024 tentang penetapan bandar udara internasional pada tanggal 2 April 2024.

Namun Juru bicara Kemenhub, Adita Irawati, menyebut penetapan ini secara umum adalah untuk dapat mendorong sektor penerbangan nasional yang sempat terpuruk saat pandemi Covid-19.

Kata dia, beberapa bandara internasional yang ada hanya melayani penerbangan jarak dekat dari/ke satu atau dua negara saja.

Bandara internasional lainnya hanya beberapa kali melakukan penerbangan internasional, bahkan ada yang sama sekali tidak memiliki pelayanan penerbangan internasional.

Dua kriteria bandara yang terakhir, klaimnya, menyebabkan operasional menjadi tidak efektif dan efisien dalam pemanfaatannya

Dalam praktik penyelenggaraan bandara internasional di dunia, sambung Adita, beberapa negara juga melakukan penyesuaian jumlah bandara internasionalnya.

Dia mencontohkan India.

Dengan jumlah penduduk 1,42 miliar hanya memiliki 18 bandara internasional.

Sedangkan AS dengan penduduk 399,9 juta mengelola 18 bandara internasional.

"Keputusan Menteri 31 ini dikeluarkan dengan tujuan untuk melindungi penerbangan internasional pasca pandemi dengan menjadikan bandara sebagai hub [pengumpan] internasional di negara sendiri," ucapnya lewat pernyataan tertulis kepada BBC News Indonesia, Jumat (24/04).

"Selama ini sebagian besar bandara internasional hanya melayani penerbangan internasional ke beberapa negara tertentu saja dan bukan merupakan penerbangan jarak jauh, sehingga hub internasional justru dinikmati oleh negara lain," lanjutnya.

Sejarah Bandara Maimun Saleh

Bandara Maimun Saleh (IATA: SBG, ICAO: WITN) adalah bandar udara yang terletak di Gampong Cot Ba'U Kota Sabang, provinsi Aceh.

Bandara ini dibangun masa Hindia Belanda.

Masa kedudukan Jepang bandara ini sangat berperan penting bagi tentara jepang, disekitar bandara dikelilingi Benteng, seperti banteng Tinjau Alam, Meutio atau Batre A, Benteng2 kecil di Gampong Cot Ba'U, dan juga benteng Cot Labu yang berperan penting untuk pengamanan Bandara.

Tentara jepang menyimpan pesawat mereka di hanggar Bawah tanah.

Pada saat Jepang diserang pesawat sudah berbaris untuk lepas landas, tapi pesawat mereka di Bom oleh sekutu yang sudah duluan siap untuk menyerang.

Sejarah

Setelah Indonesia Merdeka Bandara ini dikenal dengan dengan Lapangan Bandara Cot Ba'U, kemudian pada tahun 1982 nama tersebut di Ubah menjadi Lapangan Udara Maimun Saleh oleh bapak Jasri.

Beliau adalah Angkatan Laut yang bertugas disabang, dan juga menjabat sebagai Lurah Gampong Kenekai, Saat itu ABRI bisa DWI yang digagas oleh Ordebaru, Sabang Saat itu di pimping Oleh Dr. Yusuf Walal M.B.A (Wali Kota)

Lapangan terbang ini merupakan fasilitas militer TNI Angkatan Udara TNI-AU dan TNI Angkatan Laut TNI-AL.

Satuan pelaksana Komando Operasi Angkatan Udara I, bertugas menyiapkan dan melaksanakan pembinaan dan pengoperasian seluruh satuan dalam jajarannya, pembinaan potensi dirgantara serta menyelenggarakan dukungan operasi bagi satuan lainnya.

Lapangan ini juga difungsikan pesawat domestik dari Kuala Namu kesabang, dengan jenis pesawat Garuda ATR & Wing Air

Nama Lanud

Nama Maimun Saleh diambil dari Prajurit asal Aceh lahir pada tanggal 14 Mei 1929.

Dia merupakan putera kedua dari lima bersaudara dari pasangan Tgk H.M. Saleh dan Aisyah, yaitu Tgk Hasballah, Maimun Saleh, Abasyah, Hadisyah dan Tgk Faisal.

Maimun Saleh menamatkan pendidikannya di sekolah Taman Siswa dan Sekolah Menengah Islam di Koetaraja (Banda Aceh sekarang).

Tahun 1949 Maimun diterima menjadi murid penerbanagn di Kalijati, Jawa Barat, dan pada tanggal 1 Februari 1951 ia berhasil memperoleh ijazah sebagai penerbang kelas 3.

Setelah mendapatkan ijazah, Maimun Saleh masuk Skuardron IV (Pengintai darat) dan juga terjun ke dalam semua operasi yang dilakukan oleh skuadron ini.

Namun maut tak dapat disangka. Pada hari Jum'at, 1 Agustus 1952, Sersan Maimun Saleh yang sedang menerbangkan pesawat intai Auster IV-R-80 mengalami kecelakaan di Pangkalan Udara Semplak Bogor pada pukul 09:25 WIB. Maimun gugur dalam kecelakaan itu.

Untuk mengenang Beliau di bangun Sebuah monumen Pesawat tempur di Aneuk Galong Aceh Besar dan Nama Bandara di Gampong Cot Ba'U Sabang

Dan kini nama Sersan Mayor Maimun Saleh

(*/tribun-timur.com)

Apa Reaksi Anda ?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow