Sejarah Persia Jadi Iran, Bagaimana Islam Syiah jadi Aliran Mayoritas di Negara Ini?

Iran dulunya merupakan bagian dari kekaisaran Persia. Lalu berganti nama. Salah satu paham aliran Islam Syiah tumbuh paling subur di negara ini.

Sejarah Persia Jadi Iran, Bagaimana Islam Syiah jadi Aliran Mayoritas di Negara Ini?

TEMPO.CO, Jakarta - Iran merupakan negara dengan 1001 pesona. Tanahnya ditumbuhi deretan pegunungan yang indahnya menjulang. Budayanya juga tak kalah mengundang simpatik masyarakat dunia. Lebih dari itu negara minyak ini sangat kaya dengan nilai- nilai historis yang kuat.

Iran dulunya merupakan gabungan dari wilayah kekuasaan Persia yang membentang di Semenanjung Balkan Eropa. Kerajaan Persia menaungi luas wilayah yang kini pecah menjadi beberapa negara seperti Bulgaria, Rumania, Ukraina, Mesir, Iran, lembah Sungai Indus, dan Barat Laut India.

Bangsa Persia merupakan pusat budaya, agama, sains, seni, dan teknologi global selama lebih dari 200. Persia bangsa juga menjadi bangsa pertama yang membangun jalur komunikasi 3 benua yakni anatara Afrika, Asia dan Eropa.

Letak Iran dalam wilayah kekuasaan Persia

Iran merupakan wilayah Persia yang berada di persimpangan Asia Tengah, Asia Selatan, dan negara- negara Arab di Timur Tengah. Letak tersebut telah menyeret Iran menjadi negara penting pada masanya karena letaknya yang strategis.

Iran adalah salah satu negara tertua. Salah satu kota tertua di negara tersebut, Kota Susa telah dibangun 3200 SM.

Perubahan nama Persia menjadi Iran

Pada tahun 559 SM kekaisaran Persia mulai bangkit dari wilayah sebelah barat daya Iran. Berangsur- angsur pada tahun 339 SM mulai meluaskan wilayahnya dengan menaklukkan Mesir, Mesopotamia, Pakistan, hingga Yunani.

Pada tahun 260 SM bangsa Parni menaklukkan wilayah Yunani. Dinasti Sassanid akhirnya berhasil merangkul kerajaan Persia, dan menjadikan Persia sebagai Kerajaan pemeluk Islam.

Masa kejayaan kerajaan tersebut berlangsung berabad-abad lamanya hingga munculah bangsa Rusia dan Inggris pada abad ke-18 yang mulai menguasai sebagian wilayah Persia. Pada 1921 seoarang perwira Persia Reza Khan mengambil alih kendali dan berupaya menghapus pengaruh luar. Pada 1935 ia mengubah nama negaranya menjadi Iran.

Perkembangan Syiah di Iran

Sunyi dan Syiah adalah 2 paham terbesar Islam di dunia. 89 persen penduduk Iran adalah penganut paham Syiah, 9 persen Sunni dan 2 persen sisanya adalah penganut Zoroastrian, Yahudi, Kristen, Mandean, Hindu, Yarsanis.

Masuknya Islam di Iran pada tahun 640 M mengubah lansekap keagamaan di Iran.

Pada pertengahan abad ketujuh, negara-negara berbahasa Persia menjadi ditaklukan dan mayoritas memeluk Muslim. Sufisme, sebuah aliran meditatif dan mistis dalam Islam, berkembang di wilayah ini pada abad ke-10. Doktrin Syiah Ismaili mulai menonjol di abad ke-11. Kemudian semakin lama berkembang pada masa dinasti Safawi (1501–1722). Sebagian besar wilayah Iran dan Azerbaijan saat ini berpindah ke sekte Islam Syiah Dua Belas.

Berbeda dengan penganut Islam Sunni, paham syiah yang berkembang di Iran mengakui bahwa Ali Bin Abi Thalib sebagai nabi utusan tuhan. Dalam syahadat syiah pun berbeda dengan Islam Sunni. Lafal syahadatnya mengakui bahwa Ali adalah nabi setelah Muhammad yang diutus Akkah SWT.

Islam syiah adalah cabang Islam terbesar kedua di dunia dengan penganut 10-15 persen. Meskipun banyak aliran syiah yang berkembang, syiah 12 adalah yang terbesar dan berpengaruh.

Paham Syiah juga dianut oleh sebagian penduduk di Indonesia. Ketua Dewan Syura Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia (IJABI) Jalaluddin Rakhmat mengungkapkan bahwa Bandung menjadi kantong syiah terbesar di Indonesia.

“Kantong terbesar ada di Bandung. Kemudian disusul Makassar, dan ketiga Jakarta," kata Kang Jalal, sapaan Jalaluddin Rakhmat, waktu bertemu Tempo di kediamannya, Rabu, 29 Agustus 2012.

Data penelitian pemerintah menyatakan jumlah pengikut aliran Syiah yang bermula di Iran kini telah berkembang di Indonesia dengan jumlah penganut berkisar 500 orang.

Syiah di Indonesia

Bermula dari sebuah revolusi Islam Iran 1979. Ketika itu, seorang ulama Iran yang berdomisili di Prancis, Ayatullah Rohullah Khomeini, dan para pengikutnya berhasil menumbangkan pemerintahan otokrasi di Iran yang dipimpin oleh Mohammad Reza Shah Pahlavi, atau dikenal dengan Shah Iran.

Menurut Jalaluddin Rakhmat, penasihat IJABI (Ikatan Jamaah Ahlulbait Indonesia), kemenangan kaum revolusioner Iran tersebut luar biasa karena dilakukan tanpa perlawanan senjata atau pertumpahan darah, melainkan dengan moral. “Pemerintahan otokrasi Iran dikalahkan oleh revolusi dengan xeroxisasi,” kata Jalaluddin kepada Tempo ketika ditemui di Sekretariat IJABI, Kamis, 30 Agustus 2012.

Kendati ditentang oleh sebagian negara di Timur Tengah, semangat revolusi Iran melalui ideologi dan pemikiran Syiah disambut hangat oleh kalangan kampus dan intelektual Indonesia pada 1980-an. Buku-buku maupun tulisan lepas karya pemikir Iran, Ali Syari’ati, antara lain berjudul Haji; Misi Seorang Pemikir Bebas; Manusia Bebas dan Kebebasan Manusia; serta Mati Syahid, laku keras sekaligus menjadi bahan diskusi kalangan terbatas (usrah).

Pemikir Iran lainnya yang mendapatkan perhatian intelektual Indonesia adalah Murtadha Muthahari, seorang pemikir dan salah seorang arsitek revolusi Iran. Beberapa bukunya yang menjadi rujukan diskusi di kalangan kampus adalah Mengapa Kita Diciptakan; Manusia Sempurna; serta Islam dan Tantangan Zaman.

TIARA JUWITA I MC NIEKE INDRIETTE BADURI

Pilihan Editor: Syiah Berkembang di Indonesia Pascarevolusi Iran

Apa Reaksi Anda ?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow