Penyebab Orang Tidak Lagi ke Karaoke, Bukan Hanya Soal Pajak Hiburan

Kenaikan pajak hiburan hingga 70% membuat pelaku usaha menjerit. Inul Daratista pedangdut & pebisnis karaoke pun melayangkan protes kepada pemerintah

Penyebab Orang Tidak Lagi ke Karaoke, Bukan Hanya Soal Pajak Hiburan

Baru-baru ini pedangdut Inul Daratista 'teriak-teriak' terkait kebijakan pemerintah yang akan menaikkan pajak hiburan di angka 45-70%. Bukan tanpa alasan pelantun 'Goyang Inul' tersebut melayangkan suaranya karena menyangkut bisnis karaoke miliknya, Inul Vizta.

Dalam sebuah konten yang ia buat di salah satu gerai Inul Vizta, ia memperlihatkan satu per satu ruangan karaoke yang kosong alias tidak ada tamu. Padahal saat itu adalah hari weekend. Selanjutnya ia mengatakan, dengan pajak hiburan 25% yang berlaku sekarang saja, bisnisnya sepi. Apalagi jika pajak dinaikkan hingga 70%.

Di akhir video, Inul mengumpulkan karyawannya dan bertanya kepada mereka mengenai kemungkinan PHK (pemutusan hubungan kerja) jika pajak hiburan dinaikkan. Salah satu karyawannya bilang, "jangan Bu, nanti anak istri saya makan apa".

Jujur, saya gampang tersentuh kalau soal urusan perut. Ngerasain pedihnya menahan lapar, tapi di saat yang sama kita melihat pejabat foya-foya bepergian ke luar negeri atau parade artis yang pamer saldo ATM.

Soal ini saya kira kita semua sepakat. Bagaimana pun juga kebutuhan perut adalah kebutuhan primer yang harus dipenuhi oleh semua warga negara.

Saya akan mengajak teman-teman melihat permasalahan ini dari sudut pandang yang lain. Jika teman-teman sudah melihat konten protes Inul, bisa diambil satu kesimpulan kalau pajak hiburan dinaikkan, konsumen tidak akan datang lagi ke karaoke.

Pertanyaannya, apakah kenaikan pajak hiburan adalah satu-satunya alasan penyebab orang tidak datang lagi ke karaoke?

Sekitar tahun 2014, saya mendirikan perkumpulan Karaoke Road Show (KRS) Bandung. Isinya orang-orang yang gemar karaoke. Hampir semua karaoke keluarga yang ada di Bandung pernah kami jajal. Mulai dari Diva, Inul Vizta, NAV, Studio Family KTV, Colour KTV, Happy Puppy, dan tempat karaoke lainnya.

Rata-rata member KRS berusia di bawah 30 tahun dan belum menikah. Artinya masih memiliki kebebasan individu untuk melakukan apapun tanpa terikat oleh orang lain. Dan aktivitas karaoke masihlah menjadi salah satu pilihan 'healing' terbaik kami. Bisa melepas penat dan stres selepas kerja, sekaligus menambah relasi.

Ketika boy(girl) band Indonesia mulai merajai industri musik tanah air sekitar 2010-an, saya pernah berpikir, "sampai kapan ya Cherrybelle joged-joged begitu?". Berkelindan juga dengan pertanyaan sampai kapan ya kami akan terus melakukan road show karaoke.

Sebelum 2019, perkumpulan ini ditinggalkan oleh sebagian anggotanya yang sudah menikah. Mereka memiliki skala prioritas yang lain, yang tidak lagi menjadikan karaoke dan kongkow (nongkrong) bareng temen-temen sebagai prioritas utama.

Semakin kita bertambah usia dan menjalani fase demi fase kehidupan, pemikiran kita juga akan terus berkembang akan banyak hal.

Persoalan orang tidak lagi datang ke tempat karaoke, juga dipengaruhi oleh kecanggihan teknologi yang semakin berkembang. Orang-orang yang ingin menyalurkan hobi bernyanyinya tidak lagi harus datang ke karaoke.

Mereka bisa karaoke di rumah, menggunakan musik yang tersedia di Youtube. Bahkan katalognya lebih lengkap dari list lagu yang ada di karaoke. Selanjutnya membeli mic dan sound system dengan bujet yang sama untuk 4 jam karaoke. Tinggal set-up semua peralatan yang dibutuhkan, langsung bisa karaokean.

Dan peralatan tersebut bisa digunakan sepanjang hidup sampai alat tersebut rusak. Sebuah penghematan luar biasa bukan?

Belum lagi muncul aplikasi-aplikasi karaoke seperti Smule, WeSing, dan Starmaker yang bisa digunakan di handphone. Uniknya lagi, hanya dengan menggunakan headset 10 ribuan saja yang bisa dialihfungsikan sebagai mic, aplikasi-aplikasi tersebut bisa mengubah suara kita seperti suara seorang diva. Lalu bisa dengan cepat hasilnya diunggah di media sosial.

Jelas, kehadiran aplikasi tersebut sangat memenuhi kebutuhan eksistensi dan gaya hidup generasi masa kini.

Selain dari soal skala prioritas masing-masing orang dan juga kecanggihan teknologi, satu hal lain yang menjadi penyebab orang tidak mau datang lagi ke karaoke adalah stigma negatif tentang karaoke yang masih mengakar kuat di masyarakat.

Karaoke masih dianggap sebagai tempat yang tidak layak untuk dikunjungi. Saya yakin banyak anak-anak sekolah (terutama SMA) yang habis karaoke kalau ditanya orangtuanya mereka akan jawab habis makan bareng atau kerja kelompok di rumah temen. Hayo ngaku!

Stigma negatif ini menjadi wajar karena dilanggengkan juga dalam industri pop culture khususnya film dan televisi. Di sebagian besar film dan sinetron, industri karaoke banyak digambarkan dengan hal yang kelam seperti seks (prostitusi) dan narkoba.

Dan jenis karaoke seperti ini ya memang ada. Maksudnya, karaoke yang dijadikan sebagai tempat transaksi lain, lebih dari sekadar bernyanyi. Tempatnya pun biasanya hanya diketahui oleh orang-orang tertentu dan jarang diketahui publik.

Makanya, karaoke yang benar-benar hanya menyediakan aktivitas bernyanyi, bersusah payah nge-branding diri sebagai 'karaoke keluarga' demi melawan stigma negatif tersebut.

Tentunya saya empati kepada para pengusaha karaoke yang masih bertarung dengan stigma dan kemajuan teknologi saja belum sepenuhnya berhasil, kini mereka kedatangan musuh baru yakni kenaikan pajak.

Tapi kalau kita bicara soal harga/nilai mahal atau tidak, itu sangat relatif. Raffi Ahmad memproduksi film Rafathar yang ditengarai rugi 6 Milyar. Nampaknya dia santai-santai saja, karena mungkin memiliki cadangan modal yang jauh di atas itu. Tapi bagi produser lain, angka kerugian segitu bisa bikin rumah produksinya gulung tikar.

Atau ada penonton yang rela memberi menu sistagor (sosis dan ketang goreng) di bioskop dengan harga seratus ribu lebih. Padahal isinya cuma dikit, yang kalau beli reguler di warung-warung hanya menghabiskan uang sekitar 15-20 ribu saja.

Artinya bagi mereka yang berduit dan bahkan berlebihan, nilai yang ia keluarkan akan dibandingkan dengan keseluruhan yang ia punya. Orang kaya seperti mereka malah bisa jadi kebingungan menghabiskan uangnya ke mana. Mereka lah yang seharusnya dibidik untuk bisa jadi konsumen utama bisnis karaoke.

Jika masih mengharapkan generasi Z yang sudah terbiasa dengan teknologi dan media sosial apalagi yang masih menerima kucuran duit dari orangtuanya, atau generasi milenial yang sudah menikah dan atau punya prioritas lain sebagai konsumen utama bisnis karaoke, ya siap-siap saja karaoke akan benar-benar ditinggalkan.  

Jadi, kapan terakhir kamu karaokean?

Apa Reaksi Anda ?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow