Pengalaman saya menumpang bus di Seoul yang bisa menyetir sendiri

Pemerintah Korea Selatan sedang berinvestasi dalam pengembangan kendaraan otonom, salah satu perwujudannya berupa bus malam yang dapat melaju tanpa sopir. Apakah kendaraan otonom sudah cukup maju untuk menjadi pengganti sopir di masa depan?

Pengalaman saya menumpang bus di Seoul yang bisa menyetir sendiri

Saat saya duduk di bus A21, seorang pria di kursi pengemudi menekan tombol merah kecil di dasbornya.

Pria itu tersenyum lalu melepaskan setir dan mengangkat kakinya dari pedal gas.

Alih-alih menabrak sesuatu, kendaraan besar itu terus meluncur di jalan-jalan Seoul, ibu kota Korea Selatan, sekitar tengah malam.

Bus tersebut berbelok di tikungan dan berhenti di lampu lalu lintas dengan sendirinya tanpa dikemudikan seorang sopir. Namun, tampaknya tidak ada seorang pun dari para penumpang yang menyadarinya.

"Suatu saat nanti, semua bus di Seoul akan berjalan tanpa pengemudi," kata Park Sang-uk, kepala operasi di SUM (Smart YoUr Mobility).

Perusahaannya telah menghabiskan empat tahun terakhir mengembangkan bus malam tanpa pengemudi di Seoul. Menurut pihak berwenang, bus semacam ini adalah yang pertama di seluruh dunia.

Jenis bus dan mobil ini dikenal dengan istilah autonomous vehicles (kendaraan otonom) atau AV.

"Semakin sedikit orang yang ingin mengemudikan bus, terutama pada malam hari," kata Park.

"Ini adalah solusi sempurna untuk membantu mengisi kekosongan itu," lanjutnya.

Jalan malam hari yang sepi juga merupakan tempat yang ideal untuk menguji teknologi baru itu, yang masih jauh dari sempurna.

Ada beberapa syarat keamanan yang harus dipenuhi sebelum menjalankannya.

Misalnya, semua penumpang harus duduk dan harus mengenakan sabuk pengaman setiap saat.

Selain itu, seseorang sopir harus duduk di kursi pengemudi, yang dapat mengendalikan bus jika terjadi kesalahan. Namun dalam waktu dekat, Park berkeras bahwa sopir tidak akan lagi diperlukan.

'Saya tidak tahu ini bus tanpa pengemudi!'

Perjalanan itu berlangsung mulus. Bus tersebut membawa kami melewati kawasan bercahaya di pusat kota, kemudian ke lingkungan perumahan yang lebih remang-remang, dan berhenti sekitar 20 kali di jalan.

Pada awalnya, melihat setir bergerak dengan sendirinya dan bus berbelok ke kiri dan ke kanan, cukup membuat saya merasa gentar. Tetapi perasaan itu segera berlalu.

Meski begitu, ada beberapa kali ketika pengemudi harus mengambil alih setir dan menginjak rem.

Guncangan tiba-tiba ini menjadi pengingat bahwa pengemudi manusia masih dibutuhkan dan kecerdasan buatan (AI) yang mengendalikan bus tidak bisa mengantisipasi setiap kemungkinan.

Baca juga:

  • Perusahaan China luncurkan kendaraan taksi tanpa sopir
  • Sertifikat kepemilikan mobil di Singapura tembus Rp1,6 miliar – negara termahal di dunia untuk urusan membeli mobil
  • Kendaraan listrik disebut 'solusi palsu' untuk perbaiki kualitas udara di Indonesia

Sebagian besar penumpang terlihat cukup santai. "Saya sangat tak sabar untuk mencoba ini," kata seorang mahasiswa dalam perjalanan pulang dari kampusnya.

"Fakta bahwa itu diterapkan pada bus larut malam juga berarti dapat mengurangi beban pengemudi."

"Saya tidak tahu ini bus tanpa pengemudi!" kata seorang perempuan yang baru saja selesai bekerja. "Saya benar-benar tidak tahu [bedanya]."

Sedangkan seorang mahasiswa lain, yang berkunjung dari Belanda, tampak sedikit kurang yakin:

"Saya agak gugup naik bus ini. Melihat seorang pengemudi duduk di depan sedikit meyakinkan saya."

Apakah kendaraan otonom akan menjadi pengganti sopir di masa depan?

Society of Automotive Engineers yang berbasis di AS mengategorikan jenis kendaraan otonom dari Level 1 hingga 5.

Level 1, yang paling mendasar, mencakup kendaraan dengan fitur seperti cruise control, yakni teknologi yang dapat menjaga laju kendaraan pada kecepatan yang ditentukan pengendara tanpa harus menekan pedal gas

Sedangkan Level 5 adalah kendaraan yang sepenuhnya otomatis dan dapat beroperasi dalam kondisi apa pun dalam situasi apa pun. Saat ini, kendaraan seperti ini belum ada.

Bus malam baru di Seoul masuk dalam kategori kendaraan Level 3, yang berarti beberapa intervensi manusia masih diperlukan dalam situasi tertentu.

Penumpang dapat naik taksi Level 4 di Beijing, sebagian California, dan Arizona, di AS. Mobil-mobil ini tidak memiliki pengemudi tetapi harus tetap mengikuti pada jalan dan rute tertentu.

Seberapa jauh teknologi kendaraan otonom benar-benar dapat berkembang masih diperdebatkan.

Tanpa perombakan total dari bentukan kota-kota yang sudah ada, beberapa ahli meragukan apakah lalu lintas kendaraan yang benar-benar otonom dapat terwujud.

"Pandangan bahwa mobil otonom adalah masa depan kita hanyalah [konsep] fiksi ilmiah belaka," kata Graham Currie, seorang profesor transportasi umum di Monash University di Melbourne, Australia.

"Itu omong kosong, terus terang. Di jalanan ada anjing, ada anak-anak, ada pula faktor cuaca serta keberadaan kendaraan lain. Teknologi belum mampu menganalisa semua itu dan mungkin tidak akan pernah bisa."

Kendaraan otonom menjadi kekhawatiran sebagian sopir bus

Menurut Profesor Currie, pemerintah sangat tertarik pada kemungkinan transportasi umum otonom karena sebagian besar anggaran biaya untuk pengoperasian bus jatuh pada gaji pengemudi.

Tentu saja, ini telah menyebabkan kekhawatiran di kalangan pengemudi bus.

Serikat pekerja yang mewakili 18.000 sopir bus di Seoul mengatakan kepada BBC bahwa pemerintah kota tidak pernah menghubungi mereka tentang rencananya untuk masa depan yang dipenuhi kendaraan otonom.

"Kendaraan yang dapat mengemudikan sendiri seharusnya tidak menggantikan tenaga manusia sepenuhnya," kata Yoo Jae-ho, Sekretaris Jenderal Serikat Bus Kota Seoul.

"Saat ini, saya tidak percaya itu memungkinkan – itu terlalu berbahaya."

"Jika teknologi kendaraan otonom siap dan dapat diimplementasikan suatu hari nanti, maka itu harus disertai dengan program dukungan pendidikan ulang dan perekrutan kembali untuk pengemudi bus dan pekerja teknis."

Pemerintah Korea Selatan berencana untuk menginvestasikan lebih dari US$1 miliar (Rp16,2 triliun) dalam proyek-proyek pengembangan teknologi kendaraan otonom dan pembangunan infrastruktur terkait pada 2027.

China juga membuat kemajuan dalam bidang kendaraan otonom.

Pekan lalu, perusahaan penyedia jasa mobil China, Didi, mengumumkan kemitraan dengan produsen kendaraan listrik milik negara, yaitu GAC Aion, untuk memproduksi secara massal armada robotaxi (taksi robot) dengan teknologi Level 4.

Bos Tesla, Elon Musk, mengatakan pada awal bulan ini bahwa perusahaannya akan memproduksi jenis robotaxi buatan sendiri pada Agustus mendatang.

Namun, Profesor Currie berpendapat bahwa berinvestasi dalam kendaraan otonom swasta tidak dapat banyak membantu mengatasi masalah transportasi nyata yang dihadapi kota-kota.

"Saya tidak ingin berpikir negatif. Saya percaya itu layak diuji coba dengan sistem baru," katanya. "Namun, saya mendapati diri saya merasa skeptis".

Baca juga:

  • Motor listrik jadi moda transportasi utama di Asmat, Papua
  • Tesla bangun pabrik baterai di Shanghai - Apa kabar rencana di Indonesia?
  • Uber hentikan operasi mobil 'tanpa sopir' setelah insiden di Arizona

"Memiliki ribuan mobil otonom yang keliling kota, dan kebanyakan kosong, hanya akan membuat jalanan kita semakin padat [kendaraan] – bukan berkurang."

Kembali ke bus A21 di Seoul, kendaraan kami telah mencapai perhentian akhir. Pria yang duduk di belakang setir adalah seorang mantan sopir bus yang berusia 60-an. Dia melambaikan tangan kepada saya.

Sebelum turun, saya bertanya apa pendapatnya tentang teknologi baru kendaraan otonom.

"Memang mudah bagi saya untuk mengatakannya, tapi saya pikir itu bagus," katanya sambil tertawa.

"Mengemudi bus di malam hari adalah pekerjaan yang sulit – saya pikir tidak banyak orang akan ingin melakukan ini."

Laporan tambahan oleh Hosu Lee

Berita terkait

  • Perusahaan China luncurkan kendaraan taksi tanpa sopir
  • Beranikah Anda melakukan perjalanan jauh dengan pesawat tanpa pilot?
  • Lyft perkirakan mobil tanpa sopir dalam waktu lima tahun

Apa Reaksi Anda ?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow