Pembelaan Yusril Ihza Mahendra Usai Jokowi Bilang Presiden Boleh Kampanye-Memihak,Sebut Tidak Salah

- Wakil Ketua Dewan Pengarah TKN Prabowo-Gibran, Yusril Ihza Mahendra membenarkan pernyataan presiden Joko Widodo (Jokowi) terkait presiden boleh kampanye dan boleh memihak. Seperti diketahui, pernyataan Jokowi terkait hal itu sempat membuat pro dan kontra, Terlebih pernyataan itu muncul jelang Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024. Yusril Ihza Mahendra menegaskan, Undang-Undang Pemilu tidak melarang seorang presiden untuk ikut...

Pembelaan Yusril Ihza Mahendra Usai Jokowi Bilang Presiden Boleh Kampanye-Memihak,Sebut Tidak Salah

TRIBUNNEWSMAKER.COM - Wakil Ketua Dewan Pengarah TKN Prabowo-Gibran, Yusril Ihza Mahendra membenarkan pernyataan presiden Joko Widodo (Jokowi) terkait presiden boleh kampanye dan boleh memihak.

Seperti diketahui, pernyataan Jokowi terkait hal itu sempat membuat pro dan kontra, Terlebih pernyataan itu muncul jelang Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024.

Yusril Ihza Mahendra menegaskan, Undang-Undang Pemilu tidak melarang seorang presiden untuk ikut kampanye, baik untuk pemilihan presiden atau pemilihan legislatif. Beleid yang sama juga tidak melarang kepala negara untuk berpihak atau mendukung salah satu pasangan calon presiden.

Baca juga: Respons Luhut soal Tom Lembong Buat Contekan untuk Jokowi, Sebut Lebih Berjasa Retno Marsudi

Pasal 280 Undang-Undang Pemilu secara spesifik menyebut di antara pejabat negara yang dilarang berkampanye adalah ketua dan para Hakim Agung, ketua dan hakim Mahkamah Konstitusi, ketua dan anggota Badan Pemeriksa Keuangan. Tidak ada penyebutan presiden dan wakil presiden atau menteri di dalamnya.

Sementara, pasal 281 mensyaratkan pejabat negara yang ikut berkampanye dilarang untuk menggunakan fasilitas negara atau mereka harus cuti di luar tanggungan. Kendati begitu, undang-undang tersebut tidak menghapuskan aturan soal pengamanan dan kesehatan terhadap presiden atau wakil presiden yang berkampanye.

“Bagaimana dengan pemihakan? Ya kalau Presiden dibolehkan kampanye, secara otomatis Presiden dibenarkan melakukan pemihakan kepada capres cawapres tertentu, atau parpol tertentu. Masa orang kampanye tidak memihak?” kata Yusril pada Rabu (24/1/2024).

“Aturan kita tidak menyatakan bahwa Presiden harus netral, tidak boleh berkampanye dan tidak boleh memihak." terangnya.

"Ini adalah konsekuensi dari sistem Presidensial yang kita anut, yang tidak mengenal pemisahan antara Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan, dan jabatan Presiden dan Wapres maksimal dua periode sebagaimana diatur oleh UUD 45,” tambahnya.

Mantan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia periode 2001-2004 itu menyatakan, jika presiden tidak boleh berpihak, maka seharusnya jabatan presiden dibatasi hanya untuk satu periode.

Jika ada pihak yang ingin presiden bersikap netral, Yusril mempersilakan pihak tersebut untuk mengusulkan perubahan konstitusi.

“Itu (agar presiden netral) memerlukan amendemen UUD 45. Begitu pula Undang-Undang Pemilu harus diubah, kalau presiden dan wakil presiden tidak boleh berkampanye dan memihak. Aturan sekarang tidak seperti itu, maka Presiden Joko Widodo tidak salah jika dia mengatakan presiden boleh kampanye dan memihak,” beber dia.

Baca juga: Survei Terbaru Elektabilitas Capres, Ganjar Hanya Unggul 1,3 Persen dari Anies, Ini Hasil Lengkapnya

Yusril, yang menjabat sebagai Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB), berani berdebat ihwal ungkapan tidak etis yang diarahkan kepada Presiden Jokowi jika dia berpihak pada salah satu kandidat. Hal pertama yang harus digarisbawahi adalah perbedaan antara norma etik dengan code of conduct.

“Kalau etis dimaknai sebagai norma mendasar yang menuntun perilaku manusia yang kedudukan normanya berada di atas norma hukum, hal itu merupakan persoalan filsafat, yang harusnya dibahas ketika merumuskan Undang-Undang Pemilu,” kata dia.

“Tetapi kalau etis dimaknai sebagai code of conduct dalam suatu profesi atau jabatan, maka normanya harus dirumuskan atas perintah undang-undang seperti kode etik advokat, kedokteran, hakim, pegawai negeri sipil dan seterusnya. Masalahnya, sampai sekarang code of conduct presiden dan wakil presiden (dilarang kampanye atau berpihak) belum ada,” sambung dia, menjelaskan.

Atas dasar itulah Yusril mempertanyakan indikator etis yang dialamatkan kepada Jokowi, yang berujar di Pangkalan TNI AU Halim Perdanakusuma pada Rabu bahwa “presiden boleh berkampanye.”

“Kalau seseorang berbicata etis dan tidak etis, umumnya berbicara menurut ukurannya sendiri. Bahkan, orang kurang sopan santun atau kurang basa-basi saja sudah dianggap tidak etis. Apalagi dibawa ke persoalan politik, soal etis tidak etis, malah terkait dengan kepentingan politik masing,” tegas Yusril.

Pernyataan Jokowi, Presiden Boleh Kampanye Boleh Memihak Dinilai Pengamat Melanggar Sederet Pasal UU

Jokowi membuat pernyataan saat ditanya perihal menteri-menteri yang berasal dari bidang nonpolitik malah aktif berkampanye pada saat ini.

Jokowi mengatakan, aktivitas yang dilakukan menteri-menteri dari bidang nonpolitik itu merupakan hak demokrasi.

Lebih lanjut, Jokowi mengatakan bahwa seorang presiden juga boleh memihak kepada calon tertentu dalam kontestasi pesta demokrasi.

Baca juga: Timnas AMIN Ibaratkan Pernyataan Presiden yang Boleh Memihak & Kampanye Seperti Wasit Rangkap Pemain

"Hak demokrasi, hak politik setiap orang. Setiap menteri sama saja," ujar Jokowi saat memberikan keterangan pers di Terminal Selatan Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, Rabu.

"Yang penting, presiden itu boleh loh kampanye. Presiden itu boleh loh memihak. Boleh.

Tapi yang paling penting waktu kampanye tidak boleh menggunakan fasilitas negara. (Jadi) boleh (presiden kampanye)," katanya.

Baca juga: Tanggapan Presiden Jokowi Soal Pernyataan Mahfud MD yang akan Mengundurkan Diri Dari Menko Polhukam

Tanggapan Analis Sosial Politik 

Analis Sosial Politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Ubedilah Badrun menilai Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah melanggar aturan Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu karena menyebut presiden boleh berkampanye dan memihak pasangan calon presiden dan wakil presiden tertentu.

Padahal, menurut Ubedilah, UU Pemilu mengamanatkan beberapa ketentuan yang menekankan perlunya netralitas presiden.

"Misalnya pasal 48 ayat (1) huruf b UU menetapkan bahwa KPU harus melaporkan pelaksanaan seluruh tahapan pemilu dan tugas-tugas lainnya kepada DPR dan Presiden," kata Ubedilah kepada Kompas.com, Rabu (24/1/2024).

"Artinya posisi struktural itu (KPU lapor ke Presiden) menunjukan bahwa Presiden bukan menjadi bagian yang terlibat dalam proses kontestasi elektoral, agar tidak ada abuse of power dalam proses pemilihan umum," sambungnya.

Lebih lanjut, Pasal 22 ayat (1) dan (2) UU Pemilu tersebut juga mengatur bahwa presiden memiliki peran dalam membentuk tim seleksi untuk menetapkan calon anggota KPU yang akan diajukan kepada DPR.

Posisi menetapkan tim seleksi KPU itu membuat Presiden berkewajiban untuk netral dalam seluruh proses pemilu.

"Sangat berbahaya jika posisi Presiden tidak netral sejak menyusun tim seleksi anggota KPU maka seluruh anggota KPU dimungkinkan adalah orangnya Presiden. Ini pintu kecurangan sistemik. Pada titik inilah Presiden berkewajiban netral," jelas Ubedilah.

Lebih jauh, Ubedilah menerangkan mengapa Presiden wajib untuk netral. Sebab, presiden disebut bukan sekadar jabatan politik, tetapi menurut UUD 1945 melekat pada dirinya sebagai kepala pemerintahan dan kepala negara.

Sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, lanjut Ubedilah, presiden membawahi jutaan aparat penegak hukum baik polisi, tentara hingga aparatur sipil negara.

Presiden, jelas Ubedilah, ditetapkan oleh UU harus netral. Ia menilai, jika presiden tidak netral, maka akan muncul persoalan turunan pada bawahannya.

"Cara berpikir Presiden Jokowi yang mengatakan boleh kampanye itu cara berpikir yang menempatkan Presiden semata-mata sebagai jabatan politik.

Dia sangat keliru dan bahkan bisa melanggar UUD 1945," tutur Ubedilah.

"Mencampur adukan antara jabatan politis, kepala negara dan kepala pemerintahan itu tidak dapat dibenarkan, itu bisa masuk kategori penyalahgunaan wewenang, abuse of power," tambah dia.

Ia menjelaskan, dalam Pasal 17 ayat (2) huruf b UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan sangat jelas diatur agar tidak mencampuradukkan kewenangan.

"Mencampuradukkan wewenang itu sama saja bekerja di luar ruang lingkup bidang atau materi wewenang yang diberikan, dan/atau bertentangan dengan tujuan yang diamanahkan oleh wewenang tersebut. Karenanya Presiden Jokowi sesungguhnya telah nyata-nyata melanggar undang-undang," pungkasnya.

Diolah dari berita tayang di Tribunnews.com

Apa Reaksi Anda ?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow