Mungkinkah Uni Eropa Memutus Hubungan dengan Presiden Putin?

Banyak pengamat berpendapat, Uni Eropa tidak bisa begitu saja memutus hubungan dengan Putin.

Mungkinkah Uni Eropa Memutus Hubungan dengan Presiden Putin?

PEMILIHAN umum (pemilu) presiden Rusia bulan Maret lalu menghasilkan kemenangan mutlak bagi Vladimir Putin dengan perolehan suara 87 persen. Kemenangan ini secara resmi memberi Putin satu periode lagi untuk menjabat setelah sebelumnya telah menjabat empat periode.

Pada 7 Mei ini, Putin resmi dilantik. Meski begitu, Amerika Serikat (AS), Kanada, Inggris, dan beberapa negara anggota Uni Eropa menolak untuk mengirim perwakilan ke acara pelantikan Putin karena menilai pemilu yang diadakan tidak bebas dan tidak adil sebagaimana seharusnya.

“Kami tidak akan memiliki perwakilan pada pelantikannya,” kata juru bicara Departemen Luar Negeri AS, Matthew Miller. Walau tidak hadir dalam pelantikan, Miller menjelaskan bahwa bagaimanapun juga, Putin tetaplah “presiden Rusia dan dia akan terus melanjutkan kapasitasnya.”

Baca juga: AS, Inggris, dan Sebagian Besar Negara Uni Eropa Tak Akan Hadiri Pelantikan Putin

Lain halnya dengan AS yang setidaknya masih mengakui Putin sebagai presiden, di Eropa, langkah yang tengah mereka perbincangkan akhir-akhir ini jauh lebih ekstrem: tidak mengakui kemenangan dan kekuasaan Putin di Rusia.

Pada pertengahan April, Majelis Parlemen pada Dewan Eropa (PACE) mengajukan rekomendasi tidak mengikat kepada Dewan Eropa dan negara-negara anggota Uni Eropa untuk berhenti mengakui Putin dan mengakhiri kontak dengan Putin kecuali menyangkut urusan kemanusiaan atau upaya perdamaian.

Seminggu kemudian, Parlemen Eropa memungut suara untuk menyetujui resolusi serupa yang berisi desakan kepada negara anggota Uni Eropa dan komunitas internasional untuk “tidak mengakui hasil pemilu presiden Rusia sebagai sah” dan “membatasi hubungan dengan Putin hanya pada hal-hal yang diperlukan untuk perdamaian regional serta tujuan kemanusiaan dan hak asasi manusia.”

Namun sama seperti rekomendasi PACE sebelumnya yang bersifat tidak mengikat, resolusi Parlemen Eropa kali ini juga bersifat demikian.

Meski begitu, Ionela Maria Ciolan, pakar kebijakan luar negeri Eropa di Pusat Studi Eropa Wilfried Martens berpendapat, resolusi itu tetap akan memiliki pengaruh.

“Ini mempunyai dampak simbolis dan tidak langsung yang kuat, karena bertindak sebagai rekomendasi kepada (negara-negara anggota) dan mengirimkan pesan kepada pemerintah di seluruh Eropa bahwa partai-partai di seluruh spektrum politik mendukung pandangan ini,” katanya.

Sejauh ini, dari Uni Eropa hanya perdana menteri Hungaria, Viktor Orban saja yang telah menyelamati Putin atas kemenangannya. Tindakan Orban itu mendapat banyak kritik dari Parlemen Eropa dan para pembuat kebijakan.

Hubungan Uni Eropa dengan Putin Tak Selalu Buruk

Hubungan Rusia dengan Uni Eropa sebenarnya cukup baik sampai saat Putin menganeksasi Krimea tahun 2014. Sebelumnya, Uni Eropa dan Rusia sempat memiliki hubungan strategis yang baik dalam banyak sektor seperti ekonomi, energi, perubahan iklim, hingga penyelesaian konflik di Timur Tengah. Bahkan, Uni Eropa menjadi pendukung setia dalam proses aksesi Rusia ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) sampai proses aksesi tersebut usai tahun 2012.

Namun, kini hubungan Uni Eropa dengan Rusia perlahan-lahan runtuh. Kebijakan destabilisasi, kampanye disinformasi dan campur tangan, serta pelanggaran hak asasi manusia dalam negeri jadi salah satu pendorong menegangnya hubungan Uni Eropa dengan pemerintahan Putin.

Situasi antar keduanya semakin memburuk setelah keputusan Putin melancarkan invasi besar-besaran ke Ukraina pada Februari 2022.  

Bagi Uni Eropa, invasi tersebut tidak hanya mengancam Ukraina, melainkan kestabilan dan keamanan Eropa secara keseluruhan. Tak hanya itu, invasi Rusia juga merupakan serangan terhadap nilai-nilai Uni Eropa terkait kebebasan dan demokrasi.

Pada Maret 2022, Uni Eropa menyatakan bahwa Rusia adalah “ancaman jangka panjang dan langsung terhadap keamanan Eropa.”

Sejak saat itu, kerja sama politik, budaya, dan ilmiah antara keduanya dihentikan. Uni Eropa juga mengenakan ribuan sanksi terhadap Rusia, termasuk sanksi-sanksi individu yang salah satunya menargetkan Putin.

Tak Mungkin Memutus Hubungan dengan Putin

Terlepas dari hubungan yang buruk dan pertimbangan untuk tidak mengakui kepresidenan Putin, banyak pihak berpendapat Uni Eropa tidak bisa begitu saja memutus hubungan dengan Putin.

Dalam hubungan internasional, tidak ada prosedur pasti yang mengatur bagaimana cara menyatakan seorang kepala negara tidak sah. Untuk melakukan hal tersebut, setidaknya hanya memerlukan proklamasi resmi negara.

Gustav Gressel, peneliti kebijakan senior di Dewan Hubungan Luar Negeri Eropa mengatakan bahwa sampai saat ini, belum ada negara yang berani mengambil resiko dengan melakukan hal tersebut, khususnya terhadap Rusia.

Dalam kasus Putin, Gresel berkata bahwa Uni Eropa bisa saja menyebut Putin sebagai “pemegang kekuasaan” jika memang tidak ingin mengakuinya sebagai presiden, sebagaimana mereka menyebut Alexander Lukashenko dari Belarus. Walau demikian, Uni Eropa akan tetap perlu menjalin komunikasi dengan Rusia.

“Karena satu dan lain hal, mereka akan bekerja sama dengan pemerintah ini,” kata Gressel.

Sama seperti Gressel, Roger Hilton dari GLOBSEC juga berpendapat serupa. “Semua orang bisa sepakat bahwa Putin adalah individu tercela yang legitimasinya sebagai presiden Rusia berakar pada korupsi dan penipuan. Meskipun demikian, Uni Eropa tidak bisa selektif memilih dengan siapa mereka berbisnis,” katanya.

“Keputusan apa pun untuk tidak mengakui Putin akan secara signifikan menghambat kemampuan Brussel untuk bernegosiasi dan memajukan keamanan Ukraina serta stabilitas benua tersebut,” tambahnya.

Menurut Hilton, Uni Eropa seharusnya mengutuk tindakan Putin di Ukraina dan mengingatkan kepada dunia bahwa pemilu tersebut tidak sah, bukannya memutuskan hubungan total dengan Rusia.

Apa Reaksi Anda ?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow