Kecemasan di Umur 58 Tahun

Umur saya melebihi umur orangtua saya, saya selalu mengucap syukur karena masih diberi kesempatan hidup lebih lama.

Kecemasan di Umur 58 Tahun

Hari ini tanggal 13 Januari 2024 (atau jika dikonversi ke tahun Hijriyah = 1 Rajab 1445 H), Alhamdulillah umur saya bertambah 1 tahun menjadi 58 tahun (Masehi). Atau kalau menggunakan kalender Hijriyah, umur saya menjadi 60 tahun (nanti di bulan Ramadhan 1445 H) karena menurut tahun Hijriyah, saya lahir pada tanggal 21 Ramadhan 1385 H.

Pada hari ini perasaan saya sungguh sangat campur aduk. Di satu sisi bersyukur kepada Allah SWT yang telah memberikan kesempatan hidup sampai dengan 58 tahun saat ini dan di sisi lain, tentu bercermin dari dosa-dosa yang telah saya perbuat selama itu.

*

Jika melihat dari sisi keluarga, Ayah saya wafat pada umur 55 tahun dan Ibu saya wafat pada umur 50 tahun. Sedangkan kakak laki-laki saya wafat pada umur 56 tahun karena wabah Covid.

Artinya, saya bersyukur bahwa saya diberi umur lebih daripada anggota keluarga saya yang telah mendahului saya.

Karena saat Ayah dan Ibu saya wafat, waktu itu saya masih berumur 19 tahun. Jujur, dalam pikiran yang menghantui saya selalu bertanya, “apakah saya diberi umur panjang dan bisa melebihi umur orang tua saya ketika mereka wafat?”

Dan ketika umur saya melebihi umur mereka, saya selalu mengucap syukur karena masih diberi kesempatan hidup lebih lama.

Memang, umur bukan matematika tapi, jujur, itulah yang ada dipikiran saya sampai saat ini.

*

Dalam alam bawah sadar, saya pun selalu berpikir bahwa Allah memberikan umur lebih panjang karena memberikan kesempatan saya untuk bertobat lebih dulu sebelum nanti suatu saat menghadapNya.

Saya sadar banget bahwa dosa-dosa saya di masa muda itu sangat bejibun banyaknya.

Apalagi ketika sudah menjadi yatim piatu saat berumur 19 tahun, jaman masih baru mulai kuliah. Itu seperti layang-layang putus yang tidak jelas arahnya, antara menghadapi kondisi yang ada saat itu dan frustrasi membayangkan masa depan tanpa Ayah Ibu.

Memang saya tidak sempat terjerumus ke dunia narkoba tapi malah terjerumus ke dunia esek-esek yang jelas berdosa besar dan akibatnya perkuliahan saya pun jadi tidak terurus.

Sampai suatu ketika saya tersadar dari semua itu karena dibantu oleh seorang wanita (yang kemudian menjadi istri saya) untuk fokus menyelesaikan kuliah. Alhamdulillah, kuliah selesai di umur 28 tahun (telat banget ya?) dan kami menikah serta dikaruniai 5 anak.

*

Dalam dunia kerja, yaaahh.. tidak jelek-jelek amat sih.

Dari dulu saya mengidolakan Ayah saya yang bekerja dari level paling bawah hingga menjadi Presiden Direktur di Perusahaannya. Kisahnya bisa dibaca di Kompasiana ini https://www.kompasiana.com/jiminandri/56aae3a7b4927385109257aa/perjuangan-bersama-ford-indonesia-dari-opas-sampai-presiden-direktur

Karena itu saya berusaha bekerja secara profesional di Perusahaan Pabrik Elektronik Jepang, dari mulai level Supervisor (pekerja pabrik lulusan S1, levelnya langsung Supervisor, jika diterima bekerja disana).

Perlahan tapi pasti, kinerja saya dihargai oleh para atasan yang berkebangsaan Jepang, karena itu saya sempat disekolahkan di Kantor Pusat di Osaka, Jepang selama 2 tahun untuk persiapan lokalisasi produk-produk made in Japan tersebut. Alhamdulillah, level saya terus meningkat ke Asisten Manajer dan akhirnya menjadi Manajer.

Pada suatu kesempatan, saya pindah kerja ke Perusahaan Jepang lainnya yang menjanjikan karir dan pendapatan yang lebih baik, sampai akhirnya level posisi saya jadi orang kedua setelah Presiden Direktur di Perusahaan itu. Sayangnya, Perusahaan menetapkan usia pensiun di Perusahaan itu adalah 55 tahun dan sayapun dipensiunkan.

Paska pensiun saya alih profesi menjadi seorang Trainer dan Konsultan dibidang Sistem Manajemen (Mutu, Lingkungan, K3 dll.) dan telah bersertifikat BNSP (Badan Nasional Sertifikasi Profesi) untuk mengamalkan ilmu yang saya dapat dan tentunya mengisi tabungan.

Tapi pendapatan Trainer itu tidak rutin ya. Jika ada training maka ada pendapatan tapi jika tidak ada training, yaaah… nulis-nulis di Kompasiana seperti ini deh.

Apapun itu, Alhamdulillah masih ada kegiatan untuk mengisi hidup dan bertobat kepada Allah SWT.

*

Selain kepikiran masa lalu yang kelam, saya juga selalu dihantui masa depan yang, bagi saya, masih samar-samar.

Sebab, yang terpikir adalah bagaimana jika Allah mencukupkan umur saya hanya sampai di 60 tahun Hijriyah (58 tahun Masehi) ini? Apalagi saya punya pengalaman 2x kena serangan jantung yang dapat terjadi lagi secara tiba-tiba di umur setua ini.

Bagaimana dengan keluarga saya?.. Bagaimana dengan anak-anak yang belum semuanya mandiri?.. Apalagi saya bukan tergolong keluarga yang kaya raya.

Bagaimana jika Allah belum mengampuni dosa-dosa saya walaupun sudah diberi kesempatan hidup lebih lama dari pada Ayah, Ibu dan Kakak saya?

Pikiran itu semua campur aduk bagai gado-gado di otak saya.

*

Saya memang tidak ingin cerita tentang hal ini ke keluarga karena tidak ingin menambah beban pikiran mereka, karena itu saya hanya cerita di Kompasiana.

Bagi Bapak atau Ibu yang mau dan ingin menasehati saya, silahkan di kolom komentar. Terima kasih sebelumnya.

**

Apa Reaksi Anda ?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow