Ini Dua Dampak Konflik Iran-Israel Menurut Asosiasi Pengusaha Indonesia

Asosiasi Pengusaha Indonesia atau Apindo merespons soal imbas konflik Iran-Israel.

Ini Dua Dampak Konflik Iran-Israel Menurut Asosiasi Pengusaha Indonesia

TEMPO.CO, Jakarta - Asosiasi Pengusaha Indonesia atau Apindo merespons soal imbas konflik Iran-Israel. Analis Ekonomi Apindo, Ajib Hamdani, mengatakan paling tidak ada dua hal yang harus dimitigasi dari kondisi konflik geopolitik dan ketidakstabilan ekonomi global ini.

"Pertama, terganggunya rantai pasok ekonomi, yang akan mengakibatkan kenaikan harga atas komoditas impor," ujar Ajib dalam keterangannya pada Jumat, 19 April 2024.

Komiditas impor yang dimaksud termasuk bahan baku, minyak, maupun ongkos logistik. Menurut dia, hal ini akan memicu kenaikan harga pokok penjualan (HPP) sehingga akan mengeskalasi inflasi. Ia menuturkan sepanjang 2023, inflasi di Indonesia masih dalam rentang kendali sesuai dengan kerangka ekonomi makro yang disusun. Secara agregat di akhir 2023 hanya di kisaran 2,6 persen.

Inflasi sepanjang 2024 diproyeksikan 2,5 persen plus minus 1 persen. Artinya, kata Ajib, inflasi masih bisa ditoleransi sampai dengan 3,5 persen. Ia menilai kondisi kenaikan harga komoditas impor akan memberikan sentimen negatif dalam inflasi.

Dampak yang kedua, yaitu kebijakan ekonomi Amerika imbas kondisi geopolitik yang ada. Antara lain kecenderungan akan menahan tingkat suku bunga The Fed. Ajib menuturkan, sebelumnya pasar mempunyai ekspektasi bahwa The Fed akan memangkas tingkat suku bunga acuan. Kebijakan moneter Bank Sentral Amerika ini menjadi patron dominan Bank Indonesia (BI) dalam membuat kebijakan moneter nasional.

Ketika tingkat suku bunga The Fed tinggi, Ajib berujar akan terjadi potensi crowding out atau capital outflow sehingga semakin memberikan tekanan terhadap nilai tukar rupiah. Di sisi lain, tingkat suku bunga yang tinggi akan mengurangi likuiditas keuangan di kegiatan perekonomian. "Kondisi yang dilematis dari sisi moneter," ucapnya.

Selanjutnya, Apindo menilai pemerintah perlu melihat indikator-indikator ekonomi makro Indonesia untuk mengukur ketahanan dalam mengahadapi ketidakpastian global ini. Ia membeberkan ada empat hal yang perlu diperhatikan.

Hal pertama, yaitu tren pertumbuhan ekonomi. Indonesia terus mengalami pertumbuhan yang cukup agresif pasca pandemi, bahkan diatas 5 persen. Apada 2023 pertumbuhan ekonomi mencapai angka 5,05 persen dan diproyeksikan akan mencapai kisaran 5,2 persen secara agregat di akhir tahun 2024.

Kedua, soal inflasi. Dengan selisih ekspor-impor yang masih positif, ujar Ajib, potensi eskalasi inflasi akibat bahan baku impor diprediksi masih akan dalam rentang daya tahan inflasi. Sampai akhir 2024 juga diprediksi tidak melebihi 3,5 persen.

Ketiga, Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita. Pada 2023 Indonesia mempunyai PDB sebesar Rp. 20.892,4 triliun. Angka ini masuk 16 besar dunia. Jumlah penduduk sekitar 280 juta orang, sehingga PDB per kapita Indonesia mencapai 75 juta rupiah atau setara US$4.919. Dengan PDB yang masih nomor 16, sedangkan jumlah penduduk nomor 4, Ajib menilai potensi ekonominya masih sangat besar.

Keempat, keseimbangan primer keuangan negara. Ia mengatakan kondisi neraca keuangan negara masih dalam keseimbangan primer yang positif. Dengan demikian. total pendapatan negara dikurangi belanja negara di luar pembayaran hutang, masih positif.

Pilihan Editor: Erick Minta Pertamina Cs Borong Dolar di Tengah Konflik Iran-Israel, Airlangga: Tidak Bijak

Apa Reaksi Anda ?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow