Houthi yang Perang Lawan AS-Inggris,China Lah yang Jadi Pemenang di Laut Merah

Houthi yang Perang Lawan AS-Inggris, China Lah yang Jadi Pemenang di Laut Merah- Eskalasi di Laut Merah secara cepat memasuki level berbahaya yang secara destruktif bisa menghancurkan sendi ekonomi banyak negara. Ketegangan di kawasan perairan jalur transportasi utama dunia ini tercipta saat Angkatan Bersenjata Yaman yang terafiliasi kelompok Ansarallah Houthi memutuskan melakukan blokade Laut Merah terhadap segala entitas...

Houthi yang Perang Lawan AS-Inggris,China Lah yang Jadi Pemenang di Laut Merah

Houthi yang Perang Lawan AS-Inggris, China Lah yang Jadi Pemenang di Laut Merah

TRIBUNNEWS.COM - Eskalasi di Laut Merah secara cepat memasuki level berbahaya yang secara destruktif bisa menghancurkan sendi ekonomi banyak negara.

Ketegangan di kawasan perairan jalur transportasi utama dunia ini tercipta saat Angkatan Bersenjata Yaman yang terafiliasi kelompok Ansarallah Houthi memutuskan melakukan blokade Laut Merah terhadap segala entitas terkait Israel yang melintas di jalur tersebut.

Aksi Angkatan Bersenjata Yaman dan Houthi ini sebagai bentuk dukungan terhadap Palestina atas agresi dan bombardemen genosida Israel di Gaza.

Baca juga: Ansarallah Houthi: Kedaulatan Dilanggar, Yaman Deklarasikan Perang Terbuka Lawan AS dan Inggris

Blokade Laut Merah ini kemudian menciptakan krisis maritim internasional yang melibatkan banyak negara.

Amerika Serikat (AS), sekutu abadi Israel - yang masih merasa sebagai 'polisi dunia'- merespons blokade itu dengan logika dan cara militeristik.

Alih-alih berupaya menghentikan invasi Israel ke Gaza, AS menggalang kekuatan dari banyak negara sekutu mereka untuk menghadapi Yaman dan Houthi.

AS Cs kemudian menggempur Yaman, berdalih hanya menyasar fasilitas militer Houthi dengan serangan udara rutin dan bergelombang.

AS menyatakan, tujuan serangan hanya untuk melemahkan kekuatan Houthi pada aksi blokadenya di Laut Merah.  

Namun, aksi pengeboman AS itu, secara de facto melanggar kedaulatan negara lain, diakui tidak efektif menghentikan Houthi.

Angkatan bersenjata Yaman dan Houthi justru tambah beringas dan bahkan terus meningkatkan serangan dan sekarang menggunakan "senjata kapal selam.”

Baca juga: AS Akui Kepayahan di Laut Merah, Serangan ke Yaman Justru Bikin Houthi Makin Beringas dan Canggih

Keterlibatan China

Terkait eskalasi di Laut Merah itu, sebuah ulasan di TC memberikan gambaran geopolitik kalau pertempuran Houthi vs AS di Laut Merah justru akan menguntungkan China.

Analisis itu ditulis oleh Giorgio Cafiero, pendiri dan CEO dari Gulf State Analytics yang menjelaskan ihwal keterlibatan Tiongkok di percaturan konlik Laut Merah karena mereka juga ingin menjaga kepentingan mereka di kawasan perairan sibuk tersebut.

China datang dengan segambreng kekuatan tempur.

"Kedatangan armada Tiongkok baru-baru ini ke Teluk Aden, termasuk kapal perusak berpeluru kendali Jiaozuo, kapal fregat rudal Xuchang, sebuah kapal pengisian ulang, dan lebih dari 700 tentara – termasuk puluhan personel pasukan khusus – sebagai bagian dari misi anti-pembajakan," tulis Cafiero.

Beijing juga telah menyuarakan tekadnya untuk membantu memulihkan stabilitas Laut Merah.

“Kita harus bersama-sama menjaga keamanan jalur laut Laut Merah sesuai dengan hukum dan juga menghormati kedaulatan dan integritas wilayah negara-negara di sepanjang pantai Laut Merah, termasuk Yaman,” tegas Menteri Luar Negeri Tiongkok Wang Yi bulan lalu.

Sebagai negara dagang terbesar di dunia, Tiongkok bergantung pada Laut Merah sebagai “jalur kehidupan maritimnya.”

Sebagian besar ekspor raksasa Asia ke Eropa dilakukan melalui jalur perairan strategis, dan sejumlah besar minyak serta mineral yang masuk ke pelabuhan Tiongkok melewati perairan tersebut.

Tiongkok juga berinvestasi di kawasan industri di sepanjang pesisir Mesir dan Laut Merah Arab Saudi, termasuk Zona TEDA–Suez di Ain Sokhna dan Kawasan Industri Tiongkok di Kota Jizan untuk Industri Primer dan Hilir Arab Saudi.

Baca juga: Profesor Militer China: Aksi Houthi Yaman Lawan AS di Laut Merah Adalah Bantuan Besar Buat Beijing

Netralitas Tiongkok di Asia Barat

Sebelum pengiriman armada ke-46 Angkatan Laut Tentara Pembebasan Rakyat Tiongkok ke Teluk Aden itu, respons Beijing terhadap serangan maritim Ansarallah relatif tidak terdengar.

Sejak saat itu, Tiongkok mengutuk serangan udara AS-Inggris terhadap kemampuan militer Ansarallah di Yaman, dan menolak untuk bergabung dengan koalisi angkatan laut pimpinan Barat, Operation Prosperity Guardian (OPG).

"Tanggapan Tiongkok terhadap meningkatnya ketegangan dan ketidakamanan di Laut Merah konsisten dengan serangkaian strategi kebijakan luar negeri Beijing, yang mencakup penghormatan terhadap kedaulatan negara dan doktrin “non-intervensi.”," kata pengamat geopolitik kawasan Teluk tersebut.

Di Teluk Persia, Tiongkok menerapkan agenda yang seimbang dan netral secara geopolitik berdasarkan tiga pendekatan: tidak ada musuh siapa pun, tidak ada sekutu siapa pun, dan sahabat bagi semua orang.

"Posisi Tiongkok dalam kaitannya dengan semua negara Teluk Persia dapat dicontohkan hampir setahun yang lalu ketika Beijing menjadi perantara perjanjian rekonsiliasi yang mengejutkan antara Iran dan Arab Saudi, di mana Tiongkok berperan sebagai penjamin," kata Cafiero.

Di Yaman, meskipun Tiongkok sejalan dengan sikap masyarakat internasional yang tidak mengakui pemerintahan pimpinan Ansarallah di Sanaa.

"Namun Beijing tetap memulai dialog dengan para pejabat tersebut dan mempertahankan sikap tidak bermusuhan – tidak seperti banyak negara Arab dan Barat," tambah Cafiero.

Memahami Peran Regional China

Cafiero menjelaskan, secara keseluruhan, Tiongkok berupaya memanfaatkan pengaruhnya di negara-negara Asia Barat untuk memitigasi ketegangan regional dan memajukan inisiatif stabilisasi.

Tujuan utamanya adalah memastikan keberhasilan jangka panjang proyek multi-triliun dolar 'Belt and Road Initiative' (BRI) yang dicanangkan oleh Presiden Xi Jinping dan menjaga jalur perdagangan bebas konflik.

Seringkali dicap oleh negara-negara barat sebagai “penunggang bebas”, Tiongkok dituduh menjadi pihak oportunis yang mengambil keuntungan dari upaya keamanan bentukan AS dan Eropa di Teluk Persia dan wilayah barat laut Samudera Hindia tanpa memberikan kontribusi terhadap hal tersebut.

"Namun, mengingat gugus tugas anti-pembajakan Tiongkok di Teluk Aden dan pangkalan militernya di Djibouti, tuduhan ini tidak sepenuhnya bisa dibenarkan," kata Cafiero.

Secara mudah, Cafiero menyebutkan tiga alasan sederhana Beijing ogah bergabung dalam koalisi satgas Operation Prosperity Guardian (OPG) yang dipimpin AS.

"Pertama, Tiongkok tidak tertarik untuk memperkuat hegemoni AS; kedua, bergabung dengan koalisi militer angkatan laut dapat mengganggu diplomasi multi-vektornya terhadap Ansarallah dan Iran; dan ketiga, dunia Arab-Islam dan negara-negara Selatan lainnya akan menafsirkannya sebagai dukungan Tiongkok terhadap perang Israel di Gaza," kata Cafiero.

Penolakan bergabung ke misi OPG justru memperkuat citra regional Tiongkok sebagai pembela perjuangan Palestina.

"Javad Heiran-Nia, direktur Kelompok Studi Teluk Persia di Pusat Penelitian Ilmiah dan Studi Strategis Timur Tengah di Iran, mengatakan: 'Kerja sama [Beijing] dengan Barat dalam mengamankan Laut Merah tidak akan berdampak baik bagi hubungan Tiongkok dengan negara-negara Arab dan Iran'. Oleh karena itu, Tiongkok telah menerapkan pengekangan politik dan militer untuk menghindari bahaya terhadap kepentingan ekonomi dan diplomatiknya di wilayah tersebut," tulis Cafiero. 

Menimpakan Semua Kesalahan ke AS

Beijing mengakui eskalasi keamanan Laut Merah sebagai imbas langsung perluasan Perang Gaza, dimana Tiongkok telah menyerukan gencatan senjata segera.

Seperti yang disampaikan Yun Sun, salah satu direktur Program Tiongkok di Stimson Center yang berbasis di Washington kalau Tiongkok melihat krisis di Laut Merah sebagai tantangan bagi perdamaian dan stabilitas regional, namun Beijing melihat krisis di Gaza sebagai sumber utama krisis tersebut.

Oleh karena itu, solusi terhadap krisis, dalam pandangan Tiongkok, harus didasarkan pada gencatan senjata, meredakan ketegangan dan kembali ke solusi dua negara.

Jean-Loup Samaan, peneliti senior di Institut Timur Tengah Universitas Nasional Singapura, sependapat pada hal tersebut, dan mengatakan, "Para diplomat Tiongkok telah dengan hati-hati mengomentari kejadian tersebut, namun dalam narasi Beijing, meningkatnya serangan adalah konsekuensi dari perang Israel di Gaza – dan mungkin yang lebih penting adalah kebijakan AS dalam mendukung pemerintahan Netanyahu.

Namun pada Januari, setelah AS dan Inggris memulai mengebom fasilitas militer Ansarallah Houthi di Yaman, Tiongkok mulai mempertimbangkan kekhawatiran serius mengenai krisis Laut Merah.

Beijing mencatat, baik Washington maupun London belum menerima izin penggunaan kekuatan dari Dewan Keamanan PBB, dan oleh karena itu, seperti yang dijelaskan Sun, serangan AS-Inggris “tidak memiliki legitimasi dalam pandangan Tiongkok.

Krisis Laut Merah Menguntungkan China

Cafiero dalam penjelasannya mennilai, Tiongkok telah memanfaatkan meningkatnya kemarahan yang ditujukan terhadap AS dari seluruh dunia Islam dan negara-negara Selatan.

"Perang Gaza dan penyebarannya ke Laut Merah telah memberi Beijing keuntungan lunak dan memperkuat pentingnya multipolaritas bagi negara-negara Arab," kata Cafiero merujuk pada pendapat yang dikemukakan oleh Victor Gao, wakil presiden Pusat Tiongkok dan Globalisasi.

Di Forum Doha 2023, Gao menjelaskan, "Fakta bahwa hanya ada satu negara yang [pada 8 Desember 2023] memveto Resolusi Dewan Keamanan PBB yang menyerukan gencatan senjata dalam Perang Israel-Palestina seharusnya meyakinkan kita semua bahwa kita seharusnya sangat beruntung hidup tidak di dunia yang unipolar."

Cafiero menjelaskan, ujaran Gao itu jelas menunjukkan kalau China memang menyalahkan AS dalam kebijakannya menangani Perang Gaza hingga meluas ke kawasan Timur Tengah.

"Tentu saja, Tiongkok telah merasakan sejumlah dampak ekonomi akibat krisis Laut Merah, walaupun besarnya dampaknya sulit untuk dihitung. Namun keuntungan politik yang diperoleh Beijing tampaknya mengalahkan kerugian finansial apa pun yang terkait dengannya," kata Cafiero.

Cafiero lalu mengutip penjelasan Yun Sun yang mengatakan, “Krisis ini memang berdampak pada Tiongkok, namun kerugiannya sebagian besar bersifat ekonomi dan kecil, sedangkan keuntungannya terutama bersifat politis karena Tiongkok mendukung negara-negara Arab di Gaza.”

Dalam beberapa hal, Tiongkok sebenarnya juga telah memperoleh keuntungan ekonomi dari krisis Laut Merah.

"Ketika Ansarallah menyatakan bahwa mereka hanya menargetkan kapal-kapal yang terkait dengan Israel, terdapat pandangan luas bahwa kapal-kapal Tiongkok yang beroperasi di wilayah tersebut kebal dari serangan Yaman," kata dia.

Setelah banyak jalur pelayaran peti kemas internasional memutuskan untuk mengubah rute di sekitar Afrika Selatan untuk menghindari rudal dan drone Ansarallah, dua kapal yang beroperasi di bawah bendera Tiongkok – Zhong Gu Ji Lin dan Zhong Gu Shan Dong – terus transit di Laut Merah.

Laporan Bloomberg awal bulan ini menunjukkan, kalau krisis Laut Merah memang menguntungkan China secara ekonomi.

"Kapal-kapal dagang milik Tiongkok mendapatkan 'diskon besar' untuk asuransi mereka ketika berlayar melalui Laut Merah, sebuah tanda lain bagaimana serangan Houthi di wilayah tersebut menghukum kepentingan komersial kapal-kapal yang memiliki hubungan dengan Barat," tulis laporan itu.

Para pejabat AS sejak itu meminta Beijing untuk ikut menekan Iran agar memerintahkan pemerintah de facto Yaman di Sanaa untuk menghentikan serangan maritim.

"Namun permohonan tersebut telah gagal, terutama karena Washington salah berasumsi bahwa Beijing mempunyai pengaruh atas Teheran dan bahwa Iran dapat mengajukan tuntutan kepada Ansarallah," kata Cafiero menjelaskan kalau hubungan baik Beijing-Teheran bukan bersifat intervensi.

Baca juga: Tumpuk Peralatan Tempur di Australia, AS Bersiap Hadapi Potensi Perang Taiwan vs China

AS Kebanyakan Urusan, China Bebas Melenggang

Terlepas dari itu, dia menyebut, fakta kalau AS akan meminta bantuan Tiongkok di tengah meningkatnya ketegangan di Laut Merah merupakan peningkatan status Beijing sebagai kekuatan utama di tengah krisis keamanan global.

Di sisi lain, AS terlalu banyak urusan, mulai dari eskalasi Laut China Selatan, Taiwan, hingga perang Ukraina.

Soal itu, Tiongkok juga mendapat banyak keuntungan dari fokus Gedung Putih yang tidak proporsional terhadap Gaza dan Laut Merah.

Sejak Oktober–November 2023, fokus  Amerika Serikat untuk kawasan Laut Cina Selatan dan Taiwan jauh menurun.

"Pada gilirannya, hal ini membebaskan Beijing untuk bertindak lebih percaya diri di Asia Barat sementara perhatian Amerika tetap terpecah," ungkap Cafiero.

Dia kemudian mengutip penjelasan Javad Heiran-Nia yang menganalisis kalau perkembangan situasi di Laut Merah akan menjaga fokus Amerika di kawasan tersebut.

"Hal ini membuat Amerika terbatas untuk memperluas kehadirannya di kawasan Indo-Pasifik, [di mana] prioritas utama Amerika adalah membendung Tiongkok.

"Perang di Ukraina mempunyai keuntungan yang sama bagi Tiongkok. Meskipun konektivitas kawasan Euro-Atlantik dengan kawasan Indo-Pasifik berkembang untuk membendung Tiongkok dan meningkatkan kerja sama NATO dengan Indo-Pasifik, ketegangan di [Asia Barat] dan Ukraina akan menjadi keuntungan bagi Tiongkok," ujar Cafiero.

Baca juga: China Kerahkan 15 Jet, 11 Kapal Perang, dan Satu Balon Pemantau Kepung Taiwan

Dalam kesimpulannya, Cafiero menekankan kalau China lah yang menjadi pihak yang 'menang banyak' dari eskalasi di banyak wilayah yang melibatkan AS, khususnya di Laut Merah.

"Pada akhirnya, krisis Laut Merah dan kegagalan Washington untuk menghalangi (aksi blokade) Ansarallah menandakan pukulan lain terhadap hegemoni AS. Dari sudut pandang Tiongkok, meningkatnya konflik Laut Merah semakin mengisolasi AS dan menyoroti keterbatasan AS sebagai penjamin keamanan – khususnya mengingat dukungan tanpa syarat AS terhadap serangan militer brutal Israel di Gaza."

"Masuk akal untuk menyebut Tiongkok sebagai pemenang dalam krisis Laut Merah," katanya.

(oln/tc/*)

Apa Reaksi Anda ?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow