Menteri Nusron Temukan Akar Banjir Jabodetabek: Implementasi UU Cipta Kerja
Menteri Agraria dan Tata Ruang Nusron Wahid menemukan 796 bidang tanah yang melanggar aturan tata ruang di kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Cianjur, dan Puncak. Pelanggaran tersebut hasil dari implementasi Undang-undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja yang akhirnya mengakibatkan banjir di kawasan aglomerasi Jabodetabek pada awal tahun ini.
Nusron mencatat lebih dari 50% atau sekitar 400 bidang tanah yang bermasalah ada di Kabupaten Bogor. Ada tiga jenis bangunan yang menghasilkan pelanggaran di 796 bidang tanah tersebut, yakni perumahan, permukiman, dan kawasan industri.
Pelanggaran tersebut terjadi akibat penerbitan izin usaha melalui sistem online single submission atau OSS. Semua izin usaha kini harus diajukan melalui OSS sesuai dengan UU Cipta Kerja. “Saya tidak mau menyalahkan siapa-siapa, namun ada satu kebijakan dalam penerbitan izin usaha melalui OSS, yakni fiktif positif. Kebijakan ini membuat proses pengajuan dokumen disetujui jika lewat dari tenggat waktu,” kata Nusron di Kantor Kementerian Pekerjaan Umum, Jakarta,, Jumat (21/3).
Tahap awal dalam penerbitan izin usaha adalah melengkapi dokumen Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang atau KKPR. UU Ciptaker membuat waktu persetujuan KKPR oleh pemerintah melalui OSS paling lama 45 hari. Jika melebihi tenggat waktu, pemerintah pusat wajib menyetujui permohonan KKPR tanpa melihat kesesuaian dokumen tersebut.
Baca juga:
- Penyebab Banjir, Sungai Ciliwung hingga Bekasi Menyempit karena Pemukiman
- Kemenhut: Banjir Jabodetabek karena 4 Daerah Aliran Sungai Tidak Bisa Serap Air
- PTPN III Bongkar Tempat Wisata Kawasan Gunung Mas Penyebab Banjir Jakarta
Akibat hal tersebut, Nusron menemukan 83% KKPR yang disetujui akibat melebihi tenggat waktu dibuat secara asal-asalan. Dampaknya, kegiatan usaha dapat berdiri di sempadan sungai, batang sungai, bahkan mereklamasi situ. “Tapi, kalau aturan terkait perizinan dalam UU Ciptaker ini kami ubah, maka ada potensi pemerintah dianggap menghambat investasi. Solusinya adalah percepatan penyusunan rencana detail tata ruang,” katanya.
Revisi RTRW
Ia berniat mempercepat revisi rencana tata ruang wilayah atau RTRW tingkat kabupaten/kota di kawasan Jabodetabek. Hal ini lebih mungkin ditempuh lantaran tidak ada aturan yang melarang revisi harus dilakukan setiap lima tahun sekali.
RTRW merupakan dokumen yang menunjukkan pemanfaatan ruang untuk kegiatan tertentu. Sedangkan rencana detail tata ruang (RDTR) adalah rencana tata ruang yang lebih terperinci.
Nusron menilai revisi RTRW akan mencegah kebijakan fiktif positif meloloskan permohonan pendirian usaha di sempadan sungai, batang sungai, maupun di tengah situ. “Dalam konteks pencegahan banjir di Jabodetabek, kami nilai revisi ini dibutuhkan agar dokumen RTRW pemerintah daerah lebih serius,” ujarnya.