Cerita pekerja Gen Z dipecat karena gunakan bahasa kasual di kantor, mengapa tidak semua perusahaan bisa menoleransi?

Demi menjadi dirinya sendiri, banyak pekerja muda berkomunikasi dengan bahasa kasual. Sayangnya, gaya komunikasi ini tidak cocok untuk semua perusahaan yang punya pandangan berbeda-beda soal profesionalisme.

Cerita pekerja Gen Z dipecat karena gunakan bahasa kasual di kantor, mengapa tidak semua perusahaan bisa menoleransi?

Demi menjadi dirinya sendiri, banyak pekerja muda berkomunikasi dengan bahasa kasual. Sayangnya, gaya komunikasi ini tidak cocok untuk semua perusahaan yang punya pandangan berbeda-beda soal profesionalisme.

Setelah lulus kuliah pada tahun 2022, Anna mendapat pekerjaan di departemen seni sebuah perusahaan pengelola dana terkemuka di London. Dia menjadi karyawan termuda di timnya selama satu dekade terakhir.

Tidak peduli dengan perbedaan usia, Anna yang lulus dengan nilai terbaik di angkatannya, sangat ingin belajar dari rekan-rekannya.

Sebagian besar dari mereka menanggapi Anna dengan positif, tetapi ada satu catatan: atasannya mengatakan bahwa bahasa Anna yang santai dan sikap informalnya merusak kredibilitasnya.

Dia menepis pendapat itu.

“Saya memiliki hubungan yang baik dengan klien. Menurut saya, lebih baik menjadi pribadi yang menarik dibanding bersikap kaku,” kata Anna yang kini berusia pertengahan 20-an.

“Kinerja saya baik dan ketika itu saya merasa itu sudah cukup.”

Namun empat bulan setelah bekerja, Anna dipecat. Manajernya mengatakan bahwa Anna “kurang profesional”, termasuk dari seringnya dia menggunakan kata-kata seperti “like (kayak)” dan “totally”.

Supervisornya mengatakan bahwa Anna tidak tampil sebagai sosok yang “cerdas” sebagaimana mestinya seorang pekerja di perusahaan pengelola dana terkemuka. Sikapnya juga dianggap tidak selaras dengan citra perusahaan.

Anna sangat terpukul.

"Tidak ada yang memberitahu saya sebelumnya apa yang boleh dikatakan atau tidak. Semua orang seumuran saya berbicara seperti ini. Bagaimana saya bisa tahu?"

Generasi tua hampir selalu meremehkan generasi muda dengan menganggap bahwa mereka lebih lemah, kurang serius, atau kurang siap – terutama di tempat kerja.

Namun para ahli mengatakan perselisihan yang terjadi saat ini mengenai bahasa kerja Gen Z melampaui isu kesenjangan generasi.

Sebaliknya, hal ini melambangkan besarnya perubahan dalam kehidupan dan dunia kerja selama beberapa tahun terakhir. Ini sekaligus menandakan apa yang akan terjadi di masa depan.

Memicu ketegangan

Ketika karyawan baru memasuki dunia kerja, mereka menghadapi tantangan untuk mendefinisikan identitas profesional mereka. Mencari tahu bagaimana mereka semestinya bersikap, baik melalui gaya bicara dan perilaku mereka secara keseluruhan, adalah bagian dari proses.

Dalam beberapa tahun terakhir, proses itu biasanya tidak terlalu sulit. Tempat-tempat kerja secara tradisional menuntut suatu bentuk formalitas di mana karyawan diharapkan mematuhi norma-norma yang ditetapkan oleh para pemimpin yang lebih tua.

Namun cara-cara lama yang membentuk budaya kerja homogen itu tidak cocok untuk generasi pekerja baru yang individual.

Meningkatnya praktik kerja jarak jauh pascapandemi serta buramnya batasan antara kehidupan profesional dan pribadi telah berkontribusi pada peralihan menuju lingkungan kerja yang tidak terlalu formal.

“Dengan munculnya teknologi baru dan pergeseran nilai-nilai, generasi muda semakin menginginkan identitas profesional dan pribadi mereka menjadi satu dan sama,” kata Christopher G Myers, profesor di Johns Hopkins Carey Business School, AS sekaligus pakar Akademi Manajemen.

"Mereka tidak ingin memiliki gaya bicara dan kepribadian palsu. Mereka ingin tampil natural – mereka ingin menjadi diri mereka sendiri."

Bagi sebagian generasi Z, gagasan bahwa mereka harus mematuhi standar orang lain tampak dibuat-buat dan bertentangan dengan ekspresi diri mereka, kata Michelle Ehrenreich, yang memimpin program komunikasi di Questrom School of Business di Boston University, AS.

“Generasi mereka telah diberitahu, 'Jadilah dirimu sendiri! Kamu adalah kamu, dan kamu luar biasa!' Namun muncul ketegangan ketika mereka mulai bekerja di lingkup korporat,” kata Ehrenreich.

Menerapkan perilaku itu berarti melenceng dari kultur yang telah dibangun di tempat-tempat kerja selama beberapa dekade. Dan itu bukanlah sesuatu yang dicari oleh sebagian besar pengusaha.

Menurut Ehrenreich, sebagian besar perusahaan tidak menginginkan pekerja bersikap apa adanya. Sebaliknya, karyawan diharapkan untuk berbicara dan berperilaku sesuai dengan budaya organisasi.

Ini menjadi tantangan sulit bagi Gen Z karena banyak dari mereka kamus profesional seperti generasi sebelumnya.

Caroline Goyder, konsultan komunikasi berbasis di London mengatakan bahwa kehadiran media sosial membuat banyak Gen Z minim terpapar bahasa formal.

Baca juga:

  • Apakah Gen Z siap untuk memimpin perusahaan?
  • Aktivisme Generasi Z: Mengubah dunia sejak usia muda
  • Benarkah Gen Z lebih pragmatis tentang cinta dan seks?

Alih-alih menonton atau mendengar saluran berita dengan gaya yang lebih formal, mereka lebih banyak mendengar para pemengaruh di media sosial.

Di AS misalnya, data dari Pew Research Center yang dirilis pada akhir 2023 menunjukkan bahwa sepertiga orang dewasa berusia di bawah 30 tahun rutin mengonsumsi berita dari TikTok.

“Pemengaruh cenderung menggunakan nada bicara yang hangat, bersahabat, dan informal, pola bicara yang berenergi tinggi, luwes untuk membuat diri mereka tampak lebih mudah didekati,” kata Goyder. Ini sangat berbeda dengan bahasa sehari-hari Baby Boomer, Gen X dan bahkan milenial ketika di tempat kerja.

Putusnya hubungan kerja menimbulkan masalah bagi pekerja muda. Meskipun standar komunikasi berbeda-beda di setiap industri dan skala perusahaan, Ehrenreich mengatakan pakem tradisional soal prilaku profesional tetaplah penting dalam banyak situasi.

Sejumlah data menunjukkan bahwa kesuksesan profesional bergantung pada kualitas pribadi. Sebuah studi pada 2018 yang diterbitkan di Harvard Business Review menunjukkan bahwa wibawa yang lemah dan gaya komunikasi yang buruk adalah dua faktor paling penting yang dapat menghambat karir.

Meskipun situasi di tempat-tempat kerja telah berubah sejak penelitian ini dilakukan, Ehrenreich yakin kesimpulannya masih sangat relevan hingga saat ini.

Untuk membantu kaum muda sukses dalam pekerjaan, dia bekerja sama dengan mahasiswa di Universitas Boston menyempurnakan keterampilan komunikasi mereka, fokus pada nada suara, menghilangkan kata-kata pengisi jeda, meningkatkan kontak mata serta postur dan bahasa tubuh.

Meskipun pendekatan informal dapat membantu membangun koneksi, namun ini bisa berdampak sebaliknya jika karyawan dianggap terlalu santai.

"Anda tidak dapat menjalankan komite atau membuat keputusan yang sulit dan serius tanpa menyeimbangkan kekuatan dan kehangatan, formalitas dengan keluwesan, serta tugas dan hubungan," kata Goyder.

Pihak mana yang menang?

Meskipun Gen Z masih perlu menyadari bahasa “profesional” tradisional – dan harus mematuhinya untuk saat ini, setidaknya jika ingin mempertahankan pekerjaan mereka – situasinya tidak hitam dan putih di dunia kerja yang terus berubah.

Pascapandemi, aturan berpakaian di tempat kerja menjadi lebih longgar, jam kerja lebih fleksibal, dan orang-orang lebih sering bekerja dari rumah. Itu berarti pola komunikasi juga berkembang di kantor-kantor di seluruh dunia.

Survei Barclays di Inggris pada bulan Agustus 2023 menunjukkan hampir 75% responden mengatakan bahwa Gen Z mengubah formalitas bahasa di tempat kerja.

Gaya bicara santai Gen Z bisa menjadi indikator perubahan profesional di masa depan.

“Pendekatan yang kami ambil terhadap komunikasi antarpribadi terus berkembang,” kata Myers.

Perubahan-perubahan ini mungkin perlahan-lahan mulai diterapkan di tempat kerja – namun menurut Myers, sering kali mereka “tertinggal dan lebih lambat dalam mengadopsi cara-cara baru ini”.

Dia juga menambahkan bahwa ketika profesional muda diharapkan untuk beradaptasi dengan standar profesional, para pemimpin senior juga harus menghargai bahwa gaya bahasa dan kebutuhan karyawan berubah seiring berjalannya waktu.

Menurutnya, para pemimpin harus terbuka untuk menerapkan pendekatan yang tidak terlalu formal dan memungkinkan ekspresi yang lebih pribadi.

Meskipun mereka ingin menjaga momen-momen krusial di tempat kerja tetap formal, tapi ada situasi seperti obrolan internal atau rapat tim “di mana tidak ada keputusan bisnis yang dibuat, bahasa formal mungkin tidak pas,” kata Myers.

Untuk jangka panjang, ketika generasi Baby Boomer dan Gen X secara bertahap menyerahkan kendali kepemimpinan mereka kepada generasi muda, gaya bahasa kasual mungkin akan diterapkan di tempat kerja.

“Mungkin ketika generasi tua lengser, segalanya akan berubah,” kata Ehrenreich.

“Tetapi saat ini, orang-orang yang berkuasa masih berharap dapat menerapkannya.”

Adapun Anna akhirnya mendapatkan pekerjaan di televisi, yang menurutnya lebih sesuai dengan kepribadian dan keterampilannya.

Ketika dia mengingat kembali masa tugasnya yang singkat di lembaga pengelolaan dana itu, perasaannya bercampur antara malu dan tercerahkan.

“Saya telah merefleksi diri. Saya seharusnya tidak diterima; itu bukan pekerjaan yang tepat untuk saya,” kata Anna.

Namun, pengalaman itu adalah sebuah pembelajaran baginya.

Dia mengaku masih berupaya menjadi “dirinya sendiri” di tempat kerja, tetapi dia juga fokus untuk menjadi lebih baik dalam menampilkan dirinya.

Anna telah berupaya membatasi kata “like” dan “totally” dari kosakatanya. Dia juga mencari cara untuk memanfaatkan waktunya sebaik-baiknya bersama para eksekutif.

"Jika saya sedang rapat dengan seseorang yang lebih senior, saya duduk lebih tegak dan mempertajam bahasa saya. Saya tidak mengubah cara saya berbicara secara mendasar, namun saya berbicara sedikit berbeda."

Hal ini, kata Ehrenreich, adalah pendekatan yang cerdas setidaknya saat ini.

“Anda harus menyesuaikan diri jika ingin bekerja di perusahaan besar. Ini bukan soal mengubah jati diri Anda, tapi bagaimana beradaptasi.”

Artikel versi Bahasa Inggris berjudul Not all employers are tolerating Gen Z's laid-back language dapat Anda baca di BBC Worklife.

Apa Reaksi Anda ?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow