Informasi Terpercaya Masa Kini

Rhenald Kasali: Kenapa China Berani Lawan Tarif AS, Sedangkan RI Pilih Negosiasi?

0 15

JAKARTA, KOMPAS.com – Keputusan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump menerapkan tarif impor yang tinggi telah memunculkan beragam respons dari negara yang dikenai ‘sanksi’ tersebut.

Salah satunya China, yang dikenai tarif impor AS 34 persen dan memilih melakukan retaliasi atau balasan kepada AS.

Presiden China Xi Jinping membalas dengan turut mengenakan tarif impor 34 persen terhadap barang-barang dari AS yang masuk ke negaranya.

AS pun membalas dengan menaikkan tarif mencapai 104 persen, yang kemudian dibalas kembali oleh China dengan menaikkan tarif menjadi 84 persen.

Bahkan kini, tarif impor yang dikenakan AS terhadap barang-barang China menjadi 125 persen, dan berpotensi naik hingga 145 persen untuk beberapa produk yang sebelumnya sudah terkena tarif 20 persen.

China pun telah membalas AS dengan kini menaikkan tarif impor menjadi sebesar 125 persen.

Baca juga: Kenakan Tarif 125 Persen, Beijing: Tidak Ada Lagi Pasar bagi Barang-barang AS di China… 

Berbeda dengan China, Indonesia yang juga terkena tarif impor 32 persen memilih melakukan negosiasi dengan AS. Para menteri ekonomi RI pun melawat ke AS untuk memuluskan negosiasi.

Lalu mengapa China berani melakukan perlawanan, sementara RI memilih negosiasi?

Menurut Guru Besar Universitas Indonesia (UI) Rhenald Kasali, China berani melawan AS dikarenakan negara tersebut sudah mampu membangun perekonomiannya dan mengurangi ketergantungan terhadap negara lain.

China mampu mengerjakan “pekerjaan rumah” mereka sejak masa pemerintahan Trump yang pertama, sehingga kini menjadi negara yang percaya diri melawan negara adidaya.

“Ada hambatan-hambatan, lalu kemudian dia berani melawannya. Kenapa begitu? Jawabannya simple sekali. Karena China telah melakukan pekerjaan rumah dengan begitu manis sejak pemerintahan Trump yang pertama,” ujarnya dikutip dari akun YouTube pribadinya Prof. Rhenald Kasali, Minggu (13/4/2025).

 Baca juga: Bukan ke Indonesia, Xi Jinping Pilih Kunjungi Malaysia, Kamboja dan Vietnam, Mau Bicarakan Apa? 

Ia menuturkan, sejak masa pemerintahan Trump yang pertama, China sudah berkali-kali terkena serangan dari AS, seperti pengenaan tarif impor yang tinggi dan larangan menggunakan teknologi AS.

Hal ini membuat Xi Jinping melakukan berbagai program untuk melepaskan ketergantungan dari pasar AS. Perbaikan ini tidak dilakukan dalam waktu yang singkat, melainkan setidaknya membutuhkan waktu 8 tahun.

Mereka telah membangun infrastruktur yang memadai, membangun hubungan dengan berbagai negara di Afrika, Asia, Eropa, bahkan Amerika Latin.

“Jadi mereka masuk besar-besaran. Mereka juga mempunyai produk teknologi yang dapat diandalkan,” kata dia.

Baca juga: Model AI DeepSeek Tantang Dominasi AS, Saham Nvidia dan Perusahaan Chip Anjlok

 

China melakukan inovasi hingga menghasilkan produk AI Deepseek, produk teknologi komunikasi Huawei, hingga kendaraan listrik seperti BYD dan Wuling dengan pangsa pasar yang besar di dunia.

China juga berinvestasi ke negara lain yang dapat membantu memperluas pasar produk mereka di tingkat internasional. Seperti Vietnam, yang termasuk ke dalam lima negara yang menguasai pasar AS.

“China melihat negara mana yang arah pasarnya itu bisa menembus ke negara-negara lain. Mereka melihatnya Vietnam. Vietnam ini mempunyai fasilitas yang sangat besar ke negara-negara, termasuk AS. Vietnam masuk ke dalam top five dari negara-negara pengekspor yang menguasai pasar AS,” jelas Rhenald yang juga merupakan praktisi bisnis.

Baca juga: BYD Kian Kokoh, Pendapatan 2024 Melebihi Tesla untuk Pertama Kalinya 

Ia pun menggarisbawahi kemampuan China mengembangkan teknologi otomotif. Saat ini ketika dunia mulai beralih ke kendaraan listrik, China mampu memenuhi kebutuhan tersebut.

Mobil-mobil listrik China pun sudah menguasai pasar dunia, termasuk industri baterai kendaraan listrik. China bahkan digadang-gadang akan menggeser Jepang yang dikenal menguasai industri otomotif.

“Siapa yang menguasai industri baterai? Tidak lain adalah China, bukan Jepang. Diperkirakan ke depan Jepang akan tersingkir oleh China dalam industri otomotif. Bukankah ini sangat menakutkan bagi negara tertentu?,” kata dia.

Baca juga: Xi Jinping Ibaratkan Ekonomi China Seperti Samudra, Tahan Guncangan 

Semua perkembangan itu didapatkan China dengan melakukan strategi efisiensi secara tepat. Tidak melakukan pemangkasan besar-besaran, melainkan membangun budaya efisien di tingkat perusahaan maupun pemerintahan.

Efisiensi yang dilakukan perusahaan-perusahaan China memampukan mereka menjalankan industri berbiaya rendah dengan menghasilkan produk berkualitas tinggi, standar, maupun murah.

Di sisi pemerintahan, China tidak melakukan kunjungan kerja ke luar negeri dengan jumlah tim yang besar. Menurut Rhenald hal ini dilakukan karena mereka yakin dengan kualitas pengetahuan yang dimiliki saat menghadapi negara lain.

Baca juga: Tak Mau Memihak Dalam Perang Dagang, Prabowo Sebut Ingin Jadi Jembatan AS dan China 

Kepercayaan diri itu muncul seiring dengan berkembangnya pendidikan di China, baik di tingkat dasar hingga pendidikan tinggi. Beberapa univesitas China bahkan masuk ke dalam daftar universitas terbaik di dunia, seperti Tsinghua University dan Peking University.

Pendidikan yang dibangun tidak hanya pengetahuan umum, tetapi juga rasa percaya diri serta keterampilan praktis. Tak heran, kini banyak tenaga kerja China yang terlibat dalam berbagai pekerjaan di negara lain.

“Jadi kalau pabrik atau industri China berkembang cepat di negara lain, mereka pasti membawa SDM-nya. Walaupun jumlahnya tidak banyak karena mereka efisien. Bukti daripada efisiensi ini tampil dalam bentuk kerampingan dan bekerja sangat cepat dan gesit. Inilah yang dalam manajemen disebut sebagai agility,” jelasnya.

Baca juga: Harga Emas Dunia Tembus Rekor Baru, Investor Berlindung dari Dampak Perang Dagang AS-China

PR Indonesia

Dengan kemampuan mengembangkan sumber daya manusia hingga teknologi itulah China berani melawan kebijakan tarif impor tinggi yang dikenakan AS. Xi Jinping bahkan menyatakan telah mampu melepas ketergantungan dari AS.

“Mereka memiliki teknologi, mempunyai kepercayaan, mempunyai pasar, mempunyai uang yang besar, dan mempunyai kekuatan. Tidak mengherankan kalau China kemudian memilih jalan retaliasi. Mereka tidak nurut seperti negara kita,” ucap Rhenald.  

Menurutnya, Indonesia belum mengerjakan “pekerjaan rumah” dengan baik. Banyak hal yang masih perlu diperbaiki oleh pemerintah untuk bisa mendorong Indonesia berkembang, bahkan berani menghadapi negara adidaya.

“Pekerjaan rumah” itu yakni pemberantasan korupsi, premanisme, aturan perdagangan yang berbelit-belit dan menguntungkan pihak-pihak tertentu, serta politisasi yang berlebihan dan penehakan hukum yang tidak diatur dengan baik.

“Kemudian penerapan tarif yang secara berlebihan di negara kita, yang kadang-kadang juga berlakunya diskriminatif. Ini pekerjaan rumah. Belum lagi mafia-mafia yang terlibat kemudian berlindung di dalam dunia politik kita,” kata Rhenald.

Baca juga: Mengapa Banyak Guru Terjerat Pinjol? Ini Penjelasan Rhenald Kasali dan OJK

Leave a comment