Informasi Terpercaya Masa Kini

Di Balik Mudik Si Bungsu, Ada Hati Pilu Bak Tersayat Sembilu

0 4

Di Balik Mudik Si Bungsu, Ada Hati Pilu Bak Tersayat Sembilu

Mudik bukan sekadar perjalanan, ia adalah ritual tahunan yang mengalir dalam darah, menghubungkan kenangan, kerinduan, dan harapan. Setiap tahun, ketika Ramadan hampir usai, jutaan orang berbondong-bondong meninggalkan kota, menempuh jarak ratusan kilometer, hanya untuk menyentuh tanah kelahiran, memeluk orang tua, dan merasakan lebaran dalam dekatan keluarga.

Hati Sedih Bak Disayat Sembilu

“Pak Ketua, mudik nggak tahun ini?”

Kalimat sederhana dari Pak Helmi Yahya, Wakil Sekretaris Koperasi Tunas Mekar Sari Jaya (TMSJ), itu seperti pisau kecil yang menyayat perlahan. Seketika, dunia seakan berhenti. Pikiran ini melesat jauh ke masa silam, ke desa kecil tempat saya dibesarkan, di antara pelukan hangat kakek dan nenek, di bawah bimbingan paman-paman yang sabar.

Tapi sekarang?

Mereka sudah pergi. Tinggal nama, kenangan, dan kuburan-kuburan yang saya tak sempat sering ziarahi. Allahumma ighfirlahum warhamhum…

Aku menarik napas dalam. “Oh, nggak Pak, keluarga saya sudah di sini semua,” jawabku sambil saya usap air mata yang mengalir tanpa disadari. Suara saya pecah, tapi saya buat tetap tenang.

Di balik kalimat itu, tersimpan seribu makna. Bukan sekadar tentang tidak mudik, tapi tentang bagaimana hidup telah mengubah segalanya. Dulu, mudik adalah ritual sakral, berjuang macet, lelah, demi sesuap ketupat buatan ibu dan ceramah panjang bapak di ruang keluarga. Sekarang? Aku hanya berharap doa-doa saya sampai di alam barzakh.

Pak Helmi mungkin tak menyadari betapa pertanyaannya menggoncang jiwa. Tapi inilah hidup: terkadang, pertanyaan paling sederhana justru membuka luka yang tak pernah benar-benar sembuh.

Aku tersenyum getir. “Mudik? Rumahku sudah di sini, Pak. Tapi hati ini… entah masih di mana.”

Cerita Mudik Si Bungsu 

Saya dikaruniai tiga orang anak perempuan. Putri sulung saya akrab disapa Intan, sementara anak kedua kami biasa dipanggil Fina. Adapun si bungsu, yang menjadi pelengkap kebahagiaan keluarga kami, kami panggil Ayu.

Intan dan Fina kini telah berumah tangga. Intan, putri sulung kami, adalah alumni UIN Sunan Kalijaga (UIN Suka), sementara Fina, anak kedua, menyelesaikan studinya di Universitas Muhammadiyah Palembang (UMP). Adapun si bungsu, Ayu, saat ini masih menempuh pendidikan di Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS).

Berikut saya tuliskan cerita mudiknya si bungsu, dirangkum dari penuturannya ketika sampai di rumah.

Ayu, putri bungsu kami, akhirnya memulai perjalanan mudiknya dari Solo menuju Palembang. Perjalanan ini tak hanya membawa tantangan, tetapi juga dipenuhi dengan momen kebersamaan yang berharga.

Untuk kenyamanan perjalanannya, saya menyarankan agar ia naik kereta api dari Solo ke Bandara Yogyakarta International Airport (YIA). Kini, kereta api telah jauh lebih nyaman dibandingkan dulu, tidak lagi penuh sesak, sehingga perjalanan terasa lebih tenang dan menyenangkan.

Dia memulai perjalanannya dari Stasiun Purwosari Solo, menaiki kereta api menuju Yogyakarta. Dari sana, perjalanan dilanjutkan dengan kereta api lagi menuju Kulon Progo, di mana Yogyakarta International Airport (YIA) menjadi gerbangnya menuju kampung halaman.

Pesawat yang ditumpanginya, Super Air Jet, lepas landas (take off) tepat pukul 16.35 WIB, membawanya melintasi langit menuju Palembang. Menurut Ayu, dia sempat cemas karena pesawat sempat turbulence sebanyak dua kali, namun dengan doa-doa yang dipanjatkan, pesawat landing (mendarat) dengan mulus di Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II pukul 17.55 WIB. Dua kakak tercinta, Intan dan Fina, telah menunggu dengan cemas sekaligus bahagia untuk menjemput sang adik, mereka baru bisa berpelukan pukul 18.14.

Namun, perjalanan belum usai. Mereka masih harus menempuh jalan panjang dari bandara menuju Air Kumbang, Kabupaten Banyuasin. Malam yang gelap dan kabar mencemaskan tentang maraknya pembegalan di Desa Nusamakmur membuat suasana semakin mencekam. Dengan tekad baja, Fina, yang bertugas sebagai sopir, menggenggam kemudi Pajero Dakar milik ayuknya erat-erat. “Kalau ada yang menghadang, kutabrak pokoknya!” ujarnya dengan nada tegas, sambil menancap gas menghindari bahaya. 

Meski jalan dari Kecamatan Banyuasin I ke Air Kumbang berlubang dan tidak mulus, ketangguhan mobil dan keahlian Dinda mengemudi membuat perjalanan terasa lebih ringan. Akhirnya, pukul 21.00 WIB, ketiga bidadari keluarga itu tiba di rumah dengan selamat. 

Sebagai orang tua, hati ini berbunga-bunga penuh syukur. Air mata haru tak terbendung saat melihat anak-anakku kembali berkumpul. “Alhamdulillah, mereka sudah sampai dengan selamat. Semoga kita bisa berlebaran bersama dalam kebahagiaan,” bisikku sambil bersujud syukur. 

Perjalanan panjang penuh liku itu akhirnya berbuah manis, kembalinya sang putri bungsu ke pelukan keluarga, mengukir cerita mudik yang takkan terlupakan.

Penutup

Dulu, mudik adalah petualangan yang menguji nyali. Bukan sekadar pulang kampung, tapi sebuah perjuangan penuh liku yang harus ditempuh dengan segala keterbatasan. Di era dimana tiket pesawat masih menjadi mimpi, bahkan naik bus AC pun kerap tak terjangkau oleh dompet.

Tahun 1988, perjalanan dari Bandung ke Palembang bagai mengarungi samudera waktu, dua hari penuh bergulat dengan dinginnya jendela bus yang bocor, debu jalanan yang menempel di kulit, serta bau keringat yang menyengat.

Tiba di rumah pun bukan sebagai pahlawan yang gagah, melainkan sebagai pejuang yang lusuh, baju kotor, badan pegal, tapi mata berbinar bahagia.

Di seberang sana, orang tua menanti dengan degup jantung tak menentu, karena satu-satunya komunikasi hanyalah doa dan surat yang tak pernah sampai sebelum kepergian. 

Kini, mudik telah bertransformasi menjadi cerita berbeda. Perjalanan yang dulu makan waktu berhari-hari kini bisa ditempuh dalam hitungan jam, berangkat usai Dzuhur, sampai di bandara sebelum Maghrib, dan sebelum larut malam sudah bisa memeluk orang tua di rumah.

Tak ada lagi bau keringat atau baju belepotan debu, karena AC menjadi teman setia dari bus hingga pesawat. Keringat pun enggan keluar, segan mengganggu kenyamanan perjalanan. Bahkan rasa bosan tak sempat hinggap, karena gawai di genggaman memungkinkan kita terus terhubung, berbagi tawa lewat video call, mengabarkan posisi, atau sekadar mendengar cerita ibu yang sudah tak sabar menanti di dapur. 

Yang tak berubah hanyalah rindu yang sama membara. Bedanya, kini kita bisa lebih cepat sampai, lebih segar saat tiba, dan lebih leluasa menikmati kebersamaan.

Dulu kita berjuang melawan jarak dan waktu, kini kita berlomba dengan kemewahan zaman. Tapi di balik semua itu, mudik tetaplah mudik, sebuah pulang yang tak pernah kehilangan rasanya, meski waktunya telah berubah.

Leave a comment