Anakku Inspirasiku: Ketika Usia 12 Tahun Mengajarkan Istiqomah
Sebagai orangtua, kita terbiasa berpikir bahwa kitalah yang menjadi guru dan inspirasi bagi anak-anak kita—mengarahkan, mendidik, dan membimbing mereka dalam kehidupan. Namun, dalam perjalanan ini, saya justru menemukan bahwa anak saya yang berusia 12 tahun telah menjadi guru serta sumber inspirasi bagi saya dalam hal keteguhan dan konsistensi.
Anak saya bukan hanya menjalankan ibadah dengan rutin, tetapi juga telah menghafal Juz 30 dan berpuasa Senin-Kamis secara konsisten. Semua itu bukan karena paksaan, melainkan dari keinginan dan kesadaran dirinya sendiri.
Melihat kegigihannya, saya sering bertanya pada diri sendiri: Bagaimana mungkin anak seusianya memiliki tekad sekuat itu? Apa yang membuatnya begitu istiqomah dalam menjalankan ibadah? Dan yang lebih penting, apa yang bisa saya—dan mungkin juga kita semua—pelajari dari anak-anak tentang keteguhan hati dalam berbuat kebaikan?
Perjalanan Anak dalam Istiqomah
Kebiasaan anak saya dalam berpuasa Senin-Kamis dan menghafal Al-Qur’an tidak muncul begitu saja. Sejak kecil, ia sudah terbiasa melihat ayahnya yang biasa dipanggil dengan sebutan abah, menjalankan ibadah ini dengan penuh kesadaran, bukan sekadar rutinitas. Suami saya selalu memberi contoh dengan melakukan puasa sunnah secara konsisten dan mengajak anak kami untuk ikut serta, bukan dengan paksaan, tetapi dengan pemahaman.
Sejak awal, suami saya tidak hanya berkata, “Ayo puasa,” tetapi juga menjelaskan kenapa kita melakukannya. Ia bercerita tentang keutamaan puasa sunnah, bagaimana Rasulullah menjadikannya kebiasaan, dan manfaat spiritual serta kesehatan yang bisa diperoleh. Begitu juga dalam menghafal Al-Qur’an, anak kami tidak hanya diminta menghafal, tetapi juga diajak untuk memahami makna di balik ayat-ayat yang dipelajarinya.
Dari sini, saya melihat bahwa keteladanan lebih kuat dari sekadar perintah. Anak saya tidak merasa ini sebagai kewajiban yang berat, tetapi sebagai sesuatu yang dilakukan dengan kesadaran dan cinta.
Tentu saja, menjalankan kebiasaan ini bukan tanpa tantangan. Ada saat-saat di mana anak saya merasa lelah, terutama saat harus tetap berpuasa di hari-hari yang penuh aktivitas, baik di sekolah maupun di luar.
Namun, saya melihat bahwa ia memiliki pemahaman yang cukup kuat untuk tetap istiqomah. Ketika ditanya, “Kenapa tetap puasa meski capek?” jawabannya seringkali sederhana, “Karena sudah niat, dan aku ingin belajar lebih kuat.” Saya pun belajar dari sini bahwa niat yang tulus adalah kunci dari keteguhan hati.
Dalam hal hafalan, tantangan terbesarnya adalah menjaga konsistensi. Ada masa di mana ia lebih bersemangat, tetapi ada pula waktu di mana motivasinya turun. Abahnya akhirnya membuatkan tabel jadwal bacaan sholat wajib 5 waktu yang berisi urutan surat dari juz 30 dari Senin-Minggu. Di sinilah kami sebagai orangtua berusaha mendukungnya, bukan dengan menekan, tetapi dengan memberikan dorongan yang membuatnya merasa bahwa usahanya berharga.
Saya menyadari bahwa istiqomah tidak bisa berdiri sendiri. Selain dari dirinya sendiri, lingkungan keluarga berperan besar dalam membentuk kebiasaan ini. Suami saya selalu menjadi role model yang nyata bagi anak kami, sementara saya berusaha memastikan bahwa suasana di rumah mendukung ibadahnya.
Kami juga mencoba untuk menjadikan ibadah ini sebagai bagian dari kebersamaan keluarga. Ketika ia berpuasa, kami berusaha menemaninya dalam berbuka dengan menu yang sederhana namun bernutrisi. Saat ia menghafal, kami memberikan apresiasi atas usahanya, sekecil apa pun itu.
Dari sini, saya belajar bahwa mendidik anak dalam kebaikan bukan hanya soal memberi perintah, tetapi juga tentang bagaimana kita sebagai orangtua menghadirkan keteladanan, pemahaman, dan lingkungan yang mendukung. Dan sering kali, justru dari anak kita sendiri, kita belajar bagaimana caranya menjadi lebih baik.
Pelajaran Berharga dari Anak Istiqomah Bukan Sekadar Kata
Sebagai orangtua, saya sering mengingatkan anak tentang pentingnya istiqomah dalam kebaikan. Namun, justru saya yang akhirnya belajar dari dirinya. Ia menunjukkan bahwa istiqomah bukan hanya teori atau sekadar kata-kata, tetapi sesuatu yang harus benar-benar dijalankan dengan konsisten.
Baca juga: Sedekah Ala Anak-Anak: Sederhana, Tulus, dan Penuh Berkah!
Saya melihat bagaimana ia tetap menjalankan puasa Senin-Kamis, bahkan ketika dihadapkan pada berbagai godaan. Tidak ada keluhan atau alasan untuk menyerah. Justru saya sering merenung, apakah saya sendiri sudah cukup konsisten dalam ibadah dan kebiasaan baik yang saya jalani? Dari anak saya, saya belajar bahwa keteguhan bukanlah sesuatu yang instan, melainkan dibangun melalui kebiasaan yang terus dipelihara.
Kesabaran dan Ketekunan
Anak saya juga mengajarkan bahwa kesabaran adalah kunci dalam setiap perjalanan menuju kebaikan. Menghafal Al-Qur’an bukan hal yang mudah, begitu pula dengan menjaga kebiasaan puasa sunnah. Ada hari-hari ketika ia merasa lelah atau kesulitan mengingat ayat-ayat tertentu, tetapi ia tidak menyerah.
Yang membuat saya kagum adalah cara ia menghadapi tantangan ini tanpa merasa terbebani. Ia tidak pernah mengeluh, apalagi merasa bahwa ibadah adalah sesuatu yang memberatkannya. Ketekunannya dalam menjalani proses ini membuat saya sadar bahwa terkadang, kita sebagai orang dewasa terlalu mudah menyerah saat menghadapi rintangan kecil dalam ibadah dan kehidupan.
Ketulusan dalam Beribadah
Salah satu hal paling berharga yang saya pelajari dari anak saya adalah ketulusan dalam menjalankan ibadah. Ia tidak melakukan ini karena takut dimarahi atau sekadar ingin dipuji. Ia melakukannya karena memang ingin melakukannya.
Saya pernah bertanya kepadanya, “Kenapa kamu mau puasa Senin-Kamis terus?” Jawabannya sederhana, “Karena aku ingin belajar lebih kuat dan Allah suka.” Kalimat itu membuat saya merenung. Terkadang, orang dewasa melakukan ibadah dengan banyak pertimbangan—terkadang karena kebiasaan, terkadang karena lingkungan. Namun, anak saya menunjukkan bahwa ibadah yang paling berharga adalah yang dilakukan dengan hati yang tulus.
Dari anak saya, saya belajar bahwa keikhlasan adalah inti dari segala sesuatu. Ia mengingatkan saya bahwa dalam beribadah, yang terpenting bukan seberapa banyak yang kita lakukan, tetapi bagaimana kita melakukannya dengan penuh kesungguhan dan cinta.
Dampak bagi Orangtua
Sebagai orangtua, saya selalu berpikir bahwa sayalah yang bertugas mengajarkan nilai-nilai kehidupan dan agama kepada anak saya. Namun, dalam perjalanan ini, justru saya yang banyak belajar darinya.
Melihat keteguhan dan konsistensinya dalam beribadah, saya mulai bertanya pada diri sendiri: Apakah saya juga sudah seistiqomah dia? Apakah saya menjalankan ibadah dengan ketulusan seperti yang ia lakukan? Anak saya mengingatkan bahwa semangat ibadah tidak hanya datang dari pemahaman, tetapi juga dari kebiasaan yang dijalani dengan penuh cinta dan kesadaran.
Sebelumnya, saya berpikir bahwa tugas utama orangtua adalah mendidik anak agar tumbuh menjadi pribadi yang baik. Namun, dari anak saya, saya belajar bahwa mendidik anak juga berarti mendidik diri sendiri.
Anak adalah cerminan dari orangtuanya, dan mereka belajar lebih banyak dari contoh nyata daripada sekadar nasihat. Ketika saya melihat kesungguhannya dalam beribadah, saya merasa terpacu untuk menjadi pribadi yang lebih baik, agar bisa menjadi teladan yang sepadan bagi dirinya. Saya tidak ingin hanya menyuruh atau mengingatkan, tetapi juga ingin tumbuh bersama dalam menjalankan nilai-nilai kebaikan.
Perjalanan ini juga membawa saya pada pemahaman bahwa ibadah bukan hanya tentang hubungan dengan Allah, tetapi juga tentang mempererat hubungan antar anggota keluarga.
Saat kami berbuka puasa bersama, merenungkan ayat-ayat yang ia hafal, atau sekadar berbicara tentang nilai-nilai yang terkandung dalam ibadah, saya merasakan bahwa hubungan kami semakin dalam. Ada rasa saling mendukung, saling mengingatkan, dan saling belajar.
Dari anak saya, saya tidak hanya melihat seorang anak yang taat beribadah, tetapi juga seorang sahabat spiritual yang menguatkan saya dalam perjalanan iman. Hal ini membuat saya semakin yakin bahwa dalam keluarga, pembelajaran tidak berjalan satu arah. Kita tidak hanya membimbing, tetapi juga bisa terinspirasi oleh anak-anak kita.
Anak saya mungkin masih berusia 12 tahun, tetapi ia telah menjadi guru dalam hidup saya—mengajarkan istiqomah, ketulusan, dan arti sebenarnya dari beribadah dengan hati.
***
Setiap orangtua tentu ingin menjadi teladan bagi anak-anaknya, tetapi dalam perjalanan ini, saya justru menemukan bahwa anak saya adalah guru yang luar biasa. Dari kebiasaannya berpuasa Senin-Kamis dan menghafal Juz 30, saya belajar banyak tentang istiqomah, kesabaran, dan ketulusan dalam beribadah.
Kisah ini mengingatkan saya bahwa anak bukan hanya perlu dibimbing, tetapi juga bisa menjadi sumber inspirasi bagi orangtua. Mereka memiliki hati yang masih murni, semangat yang besar, dan ketulusan yang sering kali lebih kuat daripada kita yang sudah dewasa.
Maka, jangan ragu untuk melihat anak sebagai guru dalam kehidupan. Mungkin tanpa kita sadari, mereka sedang mengajarkan sesuatu yang berharga—tentang ketekunan, tentang keikhlasan, atau bahkan tentang bagaimana menjalani hidup dengan lebih baik.
Mari kita refleksikan, apa pelajaran berharga yang bisa kita ambil dari anak-anak kita sendiri?