Pendaki Hilang 10 Hari di Gunung dalam Suhu Beku, Ini Cerita Dia Bertahan Sendiri…
SHAANXI, KOMPAS.com – Seorang remaja asal China nyaris kehilangan nyawanya setelah nekat mendaki sendirian di salah satu jalur paling berbahaya di Negeri Tirai Bambu dalam kondisi suhu di bawah nol derajat Celsius.
Sun Liang (18), penduduk Hubei, memulai pendakian pada 8 Februari 2025 di Jalur Ao-Tai, jalur ekstrem yang telah ditutup otoritas Provinsi Shaanxi dan Taibai sejak 2018 karena tingkat bahayanya yang tinggi.
Dari 2012 hingga 2017, setidaknya 46 pendaki tercatat meninggal atau hilang di jalur tersebut, menurut laporan investigasi setempat.
Baca juga: Ketika Pasta Gigi Selamatkan Pendaki yang Hilang 10 Hari di Gunung…
Meski demikian, larangan itu tidak menghalangi beberapa pendaki untuk mencoba menaklukkan rute yang membentang lebih dari 170 kilometer, menghubungkan Pegunungan Ao dan Taibai.
Liang adalah salah satunya. Ia telah merencanakan rute sepanjang 80 kilometer selama sekitar dua minggu sebelum berangkat, seperti yang ditulisnya dalam unggahan Weibo pada 19 Februari, setelah dirinya diselamatkan.
Tekad menaklukkan jalur ekstrem
Dengan pengalaman mendaki selama setahun di China, Liang melihat Jalur Ao-Tai sebagai tantangan tersendiri yang disebutnya sebagai “proyek kelulusan pendaki gunung China.”
“Pendakian gunung wisata lainnya seperti berjalan kaki,” ujarnya kepada media China, menegaskan bahwa ia ingin membuktikan kemampuannya mendaki sendiri tanpa tanggung jawab terhadap rekan lain.
Untuk persiapan, Liang membawa perlengkapan senilai 40.000 yuan (sekitar Rp 90 juta), termasuk penghangat, peralatan darurat seberat lebih dari 32 kilogram, serta peta yang diunduh di perangkat navigasinya agar tidak bergantung pada sinyal seluler.
Namun, prediksinya meleset. Cuaca di jalur tersebut berubah sangat cepat, membuat perjalanannya menjadi lebih sulit dari yang dibayangkan.
“Satu puncak mungkin cerah, tetapi puncak berikutnya bersalju, badai mengamuk, berkabut tebal, dan jarak pandang rendah,” katanya, dikutip dari Straits Times.
Perjuangan melawan dingin dan kelaparan
Ketidaksiapan Liang semakin terasa ketika powerbank yang dibawanya tidak berfungsi dalam suhu beku, memaksanya mengandalkan insting untuk menavigasi jalur.
Ia terpaksa melompat-lompat di tempat pada malam hari agar tetap hangat dan menghindari tiupan angin dari tepi jalur pendakian.
Namun, tantangan terbesar datang pada hari kelima, ketika ia terjatuh dari ketinggian dan pingsan semalaman.
Saat terbangun, ia mendapati persediaan makanan dan alat navigasinya hilang, serta pergelangan tangannya patah. Meski begitu, ia tetap bertekad melanjutkan perjalanan hingga ke titik yang lebih mudah ditemukan.
Selama empat hari lima malam berikutnya, Liang harus bertahan dalam kondisi kelaparan. Ia tidak berani mengonsumsi jamur atau lumut liar di gunung, sehingga hanya bergantung pada air sungai dan salju yang mencair untuk bertahan hidup.
Bahkan, ia sempat mengonsumsi pasta gigi sebagai sumber gula meskipun membuatnya mual.
Pemandangan bangkai antelop yang ia temui di jalur membuatnya sadar akan kemungkinan terburuk yang bisa terjadi padanya jika tidak segera keluar dari jalur pendakian.
Baca juga: Pendaki Tersesat 13 Hari Bertahan dengan Makan 2 Batang Muesli dan Buah Beri
Diselamatkan setelah sepuluh hari
Pada hari ke-10, Liang mencium bau asap dari api dan segera berteriak sekeras mungkin hingga akhirnya tim penyelamat menemukannya. Setelah diberi mi instan dan air sebagai asupan pertama, ia kemudian dibawa turun dari gunung.
Keluarga Liang, yang kehilangan kontak dengannya sejak hari kedua, sudah menunggunya dan sebelumnya telah meminta bantuan otoritas setempat untuk pencarian. Untuk proses evakuasi ini, keluarga Liang harus mengeluarkan dana sebesar 80.000 yuan (sekitar Rp 180 juta).
Menurut salah satu anggota tim penyelamat, Liang adalah pendaki pertama yang berhasil diselamatkan dalam lima tahun terakhir, sebagian besar berkat ketahanan mentalnya selama menghadapi situasi ekstrem tersebut.
Pengalaman ini meninggalkan kesan mendalam bagi Liang. Ia mengaku merasa takut dan bersalah, terutama setelah melihat foto ibunya menangis di layar ponselnya.
“Saya tidak bisa menaklukkan gunung, tetapi gununglah yang melepaskan saya,” katanya, mengakui bahwa pengalaman ini memberinya pelajaran tentang kerendahan hati.
Baca juga: Jumlah Pendaki Gunung Fuji Turun Usai Jepang Kenakan Biaya Masuk dan Pembatasan