Informasi Terpercaya Masa Kini

Pendidikan Memiliki Akar yang Pahit tapi Buahnya Manis

0 10

Sengaja saya mengambil kutipan kata-kata mutiara dari Aristoteles untuk judul tulisan kali ini. Selain kutipan tersebut masih relevan dengan konteks kekinian juga perlu kiranya pemikiran dan wacana progresif diketengahkan sebagai upaya memantik diskursus yang lebih mengakar. Di tengah ramainya isu jogad-joged viral di kalangan guru dewasa ini, budaya menakar pemikiran agaknya masih terasa asing dan sepi.

Dunia pendidikan dan keguruan begitu terasa mekanistis. Kentalnya aroma feodalistik semakin memupus tradisi bernalar kritis di kalangan pendidik. Sistem birokrasi menuntut kepatuhan dan derap langkah seragam. Hingga mengetengahkan wacana pemikiran alternatif terkadang dianggap sebagai sebuah ketabuan. Fundamen-fundamen moral, etika, budaya, kerap kali membuat orang ragu untuk mengucapkan pikiran berbeda. Padahal guru itu sendiri dituntut untuk mampu menanamkan tradisi bernalar kritis pada anak muridnya. Sebagai bagian dari paradigma pembelajaran di abad 21 ini.

Beribu-ribu tahun lalu saat bangsa kita masih bercorak kesukuan/kerajaan dan sibuk berperang untuk memperluas wilayah kekuasaan, nan jauh di barat sana telah terbentuk peradaban maju Yunani Kuno. Dengan beragam polis atau negara kota, Yunani Kuno berhasil menjadi salah satu peradaban maju pada zamannya. Lahirlah tokoh-tokoh pemikir (filsuf) terkenal salah satu diantaranya Aristoteles (384-322 SM).

Aristoteles pada dasarnya adalah seorang guru. Memiliki sebuah sekolah bernama Lyceum yang terletak di kota Athena Yunani. Ia menjadi guru besar di sekolahnya itu. Darinya banyak lahir karya-karya besar. Berbagai karyanya masih bisa kita akses sampai sekarang. Belakangan hari ia diakui sebagai salah satu dari tiga tokoh intelektual peletak dasar kemajuan peradaban negara-negara barat hingga era modern.

Aristoteles menggunakan metafora botani untuk menerangkan paradoks dalam sebuah proses pendidikan. Filsuf Yunani ini menyoroti dua dimensi pendidikan yang saling berkaitan: perjuangan saat menjalani proses (akar pahit) dan hasil transformatif yang diperoleh (buah manis).

Akar Pahit: Proses Pembelajaran yang Menantang

Pendidikan adalah proses perjalanan panjang. Tidak jarang dalam perjalanan itu ditemui banyak rintangan dan hambatan. Bagaimana setiap pribadi melalui perjalanan itu sebagai sebuah proses pembelajaran adalah keyakinan yang harus didudukkan dengan benar. Prinsip yang tepat dalam memandang sebuah proses pendidikan akan melahirkan tindakan-tindakan yang mendukung keberhasilan proses pendidikan tersebut.

Proses pembelajaran menantang bukan hanya berlaku bagi para siswa melainkan juga bagi para guru. Para pihak ini terlibat dalam sebuah proses dinamis guna mencapai sebuah tujuan pembelajaran. Tujuan pembelajaran itu pada akhirnya akan bermuara pada sebuah cita-cita mulia bagi masing-masing insan pendidikan.

Menantang tidaklah dipersempit konteksnya dalam sebuah situasi pembelajaran menarik serta melahirkan rasa ingin tahu (curiosity) sehingga para pihak di dalamnya larut dalam proses penggalian ilmu pengetahuan itu sendiri. Tetapi menantang juga dikandung maksud bahwa siapapun jika ingin menjadi manusia terdidik maka sudah sewajarnya ia harus tahan uji terhadap segala hambatan dan rintangan dalam proses pendidikan itu sendiri.

Dewasa ini menghadirkan sebuah suasana pembelajaran menyenangkan seakan menjadi sebuah keharusan. Menyenangkan dimaksud agar para pihak baik guru ataupun siswa merasa enjoy, nyaman, menikmati berlangsungnya proses pembelajaran. Maka terbaru digaungkan metode pembelajaran Deep Learning dimana salah satu unsurnya adalah joyfull learning (pembelajaran menyenangkan).

Secara umum tidak ada soal terkait itu semua. Meskipun di dalam implementasinya perlu juga dicermati lebih jauh tentang bagaimana perwujudan nyata dari pembelajaran menyenangkan itu sendiri. Ice breaking dengan menyanyi, tepuk-tepuk, dan jogad-joged bagi anak TK/SD mungkin bisa menjadi sesuatu menyenangkan. Tetapi tidak serta merta demikian bagi anak setingkat SMP/SMA. Bagi mereka bisa saja kegiatan menyanyi, tepuk-tepuk, dan jogad-joged itu menjadi hal aneh dan konyol.

Kita sepakat bahwa bosan adalah sifat dasar dari setiap manusia. Manusia pada dasarnya adalah makhluk yang mudah merasa bosan. Apalagi jika melakukan sesuatu yang sifatnya terus menerus dan monoton. Perlu lebih kritis dalam menafsirkan joyfull learning yang dimaksud.

Maka terkait hal ini saya teringat kata-kata seorang cendekiawan muslim Imam Syafi’i. Beliau berkata, “Jika kamu tidak sanggup menahan lelahnya belajar, maka kamu harus sanggup menahan perihnya kebodohan”. Karena belajar adalah sebuah proses panjang dan melelahkan maka setiap insan pembelajar hendaknya menyadari bahwa rasa bosan yang menggelayut serta hambatan dan rintangan adalah sebuah keniscayaan. Keniscayaan dalam proses pendidikan dan menuntut ilmu itu sendiri.

Ini merupakan tantangan sekaligus menjadi akar pahit dalam proses pendidikan. Karenanya Aristoteles dan Imam Syafi’i agaknya sepakat dan sejalan dalam hal bahwa keberhasilan sebuah proses pendidikan pasti tidak akan lepas dari berbagai hambatan dan ujian. Tetapi barangsiapa berhasil melawati itu semua maka ia akan memetik buah manis. Terhindar dari perihnya kebodohan dalam menjalani hidup sehari-hari.

Buah Manis: Hasil Transformasional

Saya sering bertanya dalam hati, sebetulnya untuk apa gunanya kita belajar dan bersekolah? Saat kecil dulu orang tua sering mengatakan sekolah yang benar biar pintar dan kelak “bisa jadi orang”. Membuat bangga orang tua dan keluarga.

Dalam tradisi masyarakat Indonesia persoalan pendidikan dan persekolahan memang masih erat dikaitkan dengan urusan kebutuhan mencari pekerjaan. Umum pandangan dalam masyarakat bahwa jika kita berpendidikan tinggi maka kelak akan mudah mencari pekerjaan. Kerjanya enak, mudah, dan bergaji tinggi.

Pemikiran semacam ini rasanya kurang tepat meskipun tidak sepenuhnya salah. Bagaimana begitu banyak lulusan universitas kesulitan mencari pekerjaan adalah fenomena sosial nyata. Dewasa ini banyak para sarjana tidak terserap dalam dunia kerja karena sempitnya lapangan pekerjaan. Maka tidak heran jika beberapa waktu lalu ramai tagar #IndonesiaGelap di sosial media. Karena generasi muda merasa bahwa di negeri ini semakin hari semakin menuju kondisi sulit. Salah satunya sulit mencari pekerjaan.

Tetapi jika dikaji lebih dalam persoalan tentang urgensi belajar, pendidikan, dan sekolah itu sendiri tidak semata berujung pada urusan mencari pekerjaan. Bahwa pada akhirnya orang berpendidikan tinggi akan lebih terbuka peluang dalam mencari penghidupan dan pekerjaan betul adanya. Namun pendidikan sejatinya memiliki tujuan mulia yang melampaui itu semua.

Pendidikan memampukan manusia melihat dunia dari berbagai perspektif, membuat keputusan berbasis logika, dan berkontribusi bagi masyarakat. Dengan bahasa sederhana pendidikan mempunyai tujuan memanusiakan manusia. Membuat manusia menjadi lebih berdaya guna bagi kehidupan. Kualitas manusia unggul hanya bisa didapat dari proses pendidikan panjang dan komprehensif. Hasil transformasional akan menjadi optimal jika negara mampu menghadirkan sistem pendidikan bermutu. Dimana institusi pelaksana visi pendidikan itu berjalan dengan baik dan benar.

Manusia terdidik akan mampu melihat dunia dengan perspektif yang lebih luas dan beragam. Dengan demikian ia mampu menemukan berbagai solusi atas situasi dan kondisi dalam dinamika kehidupannya. Akar pahit dari proses pendidikan panjang nan melelahkan akan menghasilkan buah manis. Mencetak manusia-manusia dengan kualitas SDM unggul.

Paradoks yang Abadi

Sistem pendidikan kontemporer tetap menuntut delayed gratification. Secara sederhana istilah delayed gratification dapat didefinisikan sebagai kemampuan untuk menunda kesenangan sesaat demi mendapatkan kesenangan lebih besar di masa depan.

Ambil satu contoh meskipun di Indonesia konon pendidikan dasar dan menengah sudah digratiskan bagi warga masyarakat tetapi bukan berarti akses terhadap pendidikan menjadi murah. Masih banyak biaya-biaya yang mesti dikeluarkan masyarakat untuk mendapatkan pendidikan dengan lebih bermutu. Sekolah dengan semangat pelayanan minimum tentu berbeda dengan sekolah yang mengutamakan pelayanan prima. Ada tambahan-tambahan biaya tertentu yang mesti dikeluarkan oleh masyarakat jika ingin mengakses pendidikan yang lebih bermutu pada sekolah bonafid misalnya.

Pengorbanan semacam itu adalah salah satu bentuk menunda kesenangan demi masa depan lebih baik. Bagaimana orang harus berkorban biaya, waktu, tenaga, dan pikiran merupakan keniscayaan dalam menjalani proses pendidikan.

Seperti pohon yang berbuah setelah bertahun-tahun, pendidikan mengajarkan bahwa hasil terbaik selalu datang melalui proses bertahap. Aristoteles mengingatkan kita bahwa kepahitan proses pembelajaran bukanlah hambatan, melainkan indikator pertumbuhan intelektual yang otentik. Proses semacam ini mestinya dipahami oleh seluruh insan pendidikan. Bahwa untuk mencapai sebuah keberhasilan tidak didapat melalui sesuatu yang instan.

Semoga kita senantiasa menjadi insan terdidik. Tidak lelah untuk belajar dan terus belajar demi kehidupan yang lebih baik. Karena sejatinya belajar dan berpendidikan merupakan kebutuhan setiap manusia. Tetap semangat. Salam blogger persahabatan.

Referensi:   1   2   3 

Leave a comment