Ekspresi dari Langit Nayu Menurut Empu Keris Sukamdi
Suatu ketika Ki Sukamdi, pande keris asli Solo (1948-2018) ikut kerasukan membeli tumbuhan anturium yang sedang ngetrend di awal 2000-an. Ya, disebutnya dulu daun Gelombang Cinta. Orang pada gencar berburu Gelombang Cinta lantaran tumbuhan itu kalau sudah tumbuh indah di pot bisa laku jutaan. Bahkan puluhan juta.
“Saya membeli dua pot Gelombang Cinta yang sudah bertongkol, seharga Rp 12 juta,” tutur Sukamdi, yang kebetulan saya temui di rumahnya di kampung Jetis, Banyuagung, Nusukan Solo, pada suatu hari di bulan Agustus tahun 2008. Sukamdi mengaku ikut terbuai mimpi, kalau saja tongkol itu sudah menghasilkan ribuan anak tanaman, kan bisa menghasilkan uang jutaan? Lumayanlah…
“Enggak tahunya, seminggu setelah saya membeli, Gelombang Cinta sudah tidak musim lagi. Sudah terlalu banyak orang memiliki. Dikasihkan pun tak banyak yang mau ambil..,” ujar Ki Sukamdi, geram. Ki Sukamdi di Solo sangat dikenal bikinan kerisnya cakep, atraktif, tidak asal bikin dan dalam konsepnya selalu menganut ciri-ciri garap keris-keris Majapahit, walau diekspresikan dalam garap baru. Dalam beberapa kerisnya, Ki Sukamdi menggarap juga keris-keris kontemporer menurut ekspresi zaman, ekspresi menurut kata hati si empu yang pernah mendapat penghargaan dari tangan Sultan Hamengku Buwana X, Supa Award di Keris Summit 2015 di Yogyakarta ini.
Perasaan “keblondrok” (terjerumus, terperosok, kejeglong) ini ternyata justru membuahkan kreativitas pada diri Ki Sukamdi, yang di kalangan penggemar keris dikenal memang piawai dan halus garap kerisnya. Sukamdi kemudian membentuk keris di bengkelnya (bengkel sederhana, hanya dilengkapi tungku pijar dengan arang kayu jati dari daerah Blora) sebuah keris yang meniru bentuk daun anturium, Gelombang Cinta. Lengkap dengan lekuk daun, bentuk tulang daun yang khas, mirip daun Gelombang Cinta beneran. Sukamdi juga melengkapi garap tempaan daun Gelombang Cinta itu dengan ricikan (detil-detil kecil di keris) berupa gelung yang disebut “sekar kacang” atau “belalai gajah” menurut kosa kata Melayu. Juga “ganja” (gonja) atau bagian dasar keris yang terpisah dari bilah utama, detil wajib pada keris, bergelung di ujungnya.
Dalam waktu singkat, keris aneh buatan Ki Sukamdi itu langsung “disambar” orang. Laku dibeli. Waktu itu sekitar Rp 15 juta (sekarang, karya almarhum Ki Sukamdi yang asli mencapai di atas Rp 50 juta, tetapi tentu saja banyak palsuannya). Tak kurang dari tujuh keris Gelombang Cinta dibuat Ki Sukamdi, dan semuanya laku keras. Dan dalam waktu singkat, “dhapur” (model, istilah khas di perkerisan) Gelombang Cinta ciptaan Ki Sukamdi pun meruyak, diduplikasi berbagai pande keris baik di Solo, maupun Madura.
“Tanaman anturium (Gelombang Cinta) yang sudah menghasilkan ribuan tongkol pun saya bagi-bagikan kepada tetangga. Tidak laku dijual…,” tutur Ki Sukamdi. (Wawancara dengan Ki Sukamdi soal Gelombang Cinta ini dimuat di Kompas, Jumat 8 Agustus 2008 di rubrik Budaya “Klangenan” halaman 44 dengan judul “Keris Gelombang Cinta”)
Geram terhadap Korupsi
Menjelang Pilpres (pemilihan presiden) 2009 yang menyodorkan tiga capres-cawapres Megawati-Prabowo, SBY-Boediono, JK-Wiranto. Kemudian terpilih Presiden Susilo Bambang Yudhoyono — Boediono sebagai Presiden dan Wakil Presidennya. Negeri ini sedang diharu-biru berbagai kasus korupsi.
“Saya juga geram,” tutur Empu Sukamdi. Kali itu Ki Sukamdi tidak mengekspresikan kegeraman hatinya itu dalam bentuk keris. Akan tetapi bentuk mata tombak. Bentuknya?
“Wah, bisa-bisa penguasa marah. Soalnya selain lambang partai di ujung tombak, di bawahnya ada lambang tikusnya,” kata Ki Sukamdi, alias Mbah Kamdi ini pula. Dia unjukin sketsanya. Lambang partai itu rupanya digambarkan dijunjung di atas tikus kembar yang posisinya bertolak belakang, tetapi buntutnya itu menjadi satu.
“Soalnya koruptor itu ternyata berkait satu-sama-lain,” kata Ki Sukamdi. Maka, ada baiknya ekornya itu dijadikan satu saja, jika yang satu menarik ke sisi tertentu, “tikus koruptor” lainnya akan menarik ke sisi sebaliknya. Geret-geretan kepentingan….
“Saya pun yakin, dulu leluhur kita membikin keris berdapur Nagasasra (keris berlekuk, dengan bentuk naga bermahkota di pangkal serta badan ular di sekujur bilah nyaris sampai ke pucuk) juga mempunyai maksud sesuai zamannya,” kata Ki Sukamdi. Kenapa penguasa, atau pembuat keris itu membuat keris “naga” atau “singa barong” atas perintah raja? Tentu bukan hanya simbol tanpa makna. Atau asal tempa keris indah, keris kuat, keris artistik, habis perkara.
Dapur, model keris, itu juga cerminan ekspresi jiwa. Bukan semata-mata bentuk kosong belaka di masa lalu. Apa salahnya, ungkap Ki Sukamdi, kalau empu sekarang pun mewujudkan ekspresinya melalui bentuk-bentuk yang muncul dari kata hati?
Suatu ketika, di tahun 2007 itu, Ki Sukamdi juga mengamati sebuah tombak yang di dasar bilahnya ada lukisan tersembunyi dua burung, yang satu menghadap ki kiri, satunya terpisah tangkai tombak, menghadap ke kanan. Tidak lama setelah itu, muncul kreasi Ki Sukamdi yang kemudian terkenal sekali, keris berdhapur “Peksi Dewata” (Burung Dewata).
Ini merupakan salah satu dapur terindah kreasi Ki Sukamdi, yang terkenal sampai saat abad 21 ini. Peksi Dewata versi Sukamdi, terinspirasi bentuk keris yang (menurut catatan tembang) populer di era-era akhir Mojopahit dan seera dengan kerajaan Demak. Yakni Dhapur Megantara. Kombinasi antara keris luk (berlekuk) di pangkal bilah, dan keris lurus di pucuk. Ki Sukamdi memperjelas bentuk gandhik (bagian muka di pangkal bilah) dengan cucuk peksi, atau cucuk burung dewata. Lalu melengkapi pangkal ‘wadidang’ (luncuran ekor keris di pangkal bilah) dengan burung dewata menghadap ke sisi bertolak belakang dengan yang di gandhiknya.
Dalam keterangan tertulis Ki Sukamdi, pada secarik kertas yang disobeknya dari sembarang kertas polos, ditulisnya: Peksi Dewata ‘tangguh’ Majapahit. Maksud Ki Sukamdi bukan Peksi Dewata buatan era kerajaan Majapahit, akan tetapi Peksi Dewata yang dhapur kerisnya Megantara (luk tujuh, dengan kombinasi lima luk di bawah, dan dua luk di ujung diakhiri dengan pucukan lurus). Tangguh versi Sukamdi memang tidak diartikannya sebagai era pembuatan, akan tetapi “gaya zaman” Majapahit.
Sekadar catatan, keris Megantara yang populer di akhir Majapahit ini sebenarnya terinspirasi gaya keris sepuh (jika mengacu pada catatan tembang, catatan sastra tertulis dan bukan catatan sejarah) pada era Pengging Witaradya di abad ke-11. Menurut Suluk Tambangraras (Serat Centhini) abad ke-19 (1815), Megantara yang sangat khas itu ciptaan Prabu Citrasoma. Demikian bunyi tembang di Centhini pupuh 109 pada 33:
“Sang Aprabu Citrasoma kang ngadhatun ing Pengging uga iyasa dhapur among kalih warni,” tulis Centhini, “Siji ran Rara Siduwa, kalih dhapur Megantara kang kardi empu Gandawisesaku marengi angka tahun sangangatus patang puluh siji,”
Terjemahannya, bahwa menurut Serat Centhini (1815) ketika di kerajaan Pengging bertahta Prabu Citrasoma, beliau yasa (membuat, atau memerintahkan membuat) dua jenis keris, yang pertama Rara Siduwa dan yang kedua Megantara. Penggarapnya Empu Gandawisesa pada angka tahun 941. Angka tahun ini tentunya yang dimaksud adalah angka tahun Jawa, dan apabila dikonversi ke dalam tahun Masehi, maka tahun tersebut mengunjuk pada tahun 1019 Masehi.
Kalau disebut Pengging abad ke-11, tentunya yang dimaksud bukan Pengging (Boyolali) era kerajaan Demak abad ke-15, era Ki Ageng Pengging Dayaningrat sebelum era kerajaan Pajang di Jawa Tengah. Akan tetapi Pengging Witaradya, Pengging kuno. Pengging di era Jenggala Kediri di Jawa Timur, atau Segaluh Pajajaran di Jawa bagian Barat.
Tentu saja perlu digarisbawahi, catatan Centhini ini bukan catatan sejarah. Karena tidak disertai dengan bukti-bukti sezaman, entah itu prasasti ataupun catatan lontar. Serat Centhini hanya merupakan catatan susastra, berupa tetembangan. Ekspresi seni di awal abad ke-19, yang hanya berdasarkan cerita tutur.
Keris Sapta Tunggal
Ekspresi memang menjadi bagian dari proses penciptaan keris yang biasa dilakukan oleh empu Ki Sukamdi, pada awal dan akhir tahun 2000-an. Ekspresi itu bisa berupa refleksi zaman kekinian, yang dikombinasikan dengan gaya garap lama. Dan Ki Sukamdi, hampir selalu mewujudkan dalam gaya garap kekagumannya, gaya garap Majapahit yang cakep, luwes, indah, dan khas.
Suatu ketika, Ki Sukamdi juga ingin mewujudkan keinginannya menggarap keris berekspresi kemerdekaan. Keris itu dipamerkan di Pameran Keris di Bentara Budaya Jakarta, Agustus 2008. Bentuknya aneh. Unik, dan rasanya memang belum pernah ada sebilah keris “bermata dua” seperti keris ciptaan Sukamdi ini.
“Keris tujuh belas Agustus, kamardikan,” ujar Ki Sukamdi. (Foto saya buat sebelum pameran 2008, ketika Ki Sukamdi saya temui di rumahnya, ia memakai baju kotak-kotak. Foto saya ini tersebar di seantero google, dan dipakai dimana-mana, tentu saja tidak memakai kredit foto nama saya).
“Prinsip saya, meski keris ini bermata dua, harus bisa diberi sarung keris normal,” kata Ki Sukamdi waktu itu. Keris “tujuh belas agustus” ini bermata dua. Yang satu mata keris lurus (melambangkan angka satu) dan di sebelahnya keris berlekkuk tujuh (melambangkan angka tujuh).
Keris ini disandangi satu warangka, model “sandang walikat” (warangka informal, bukan jenis resmi ladrang, ataupun model sehari-hari gayaman). Dan di kemudian hari, keris “tujuh belas agustus” ini dinamai oleh Ki Sukamdi sebagai “Keris Sapta Tunggal”.
Bagi Ki Sukamdi, keris memang tidak hanya olah tempa, atau olah spiritual. Akan tetapi juga ekspresi seni, mengungkapkan ekspresi zamannya, menandai zamannya. Dalam menemukan ekspresi ini, Ki Sukamdi di kalangan teman-teman dekatnya dikenal sangat suka “tidur di tempat sepi”. Dan tempat sepi yang dipilih Sukamdi, adalah …. Kuburan Nayu, di Nusukan.
Ki Sukamdi sering berteman sepi di Nayu, menatap langit, menatap bulan dan bintang. Seperti juga tempat peristirahatan terakhirnya kini. Ki Sukamdi sudah tidur abadi di bawah langit Nayu… *