Informasi Terpercaya Masa Kini

Menjaga Warisan Rasa Orem-orem Legendaris H Abdul Manan, dari Rp 1 hingga Kini Rp 10.000 Per Porsi

0 19

MALANG, KOMPAS.com – Kota Malang tidak kehabisan daftar kuliner legendaris, salah satunya Orem-Orem H Abdul Manan.

Kuliner ini terletak tepat di pinggir jalan sekitar Pasar Comboran, yang menjual barang antik dan bekas.

Warung berukuran 3×4 meter ini sederhana, dengan ketupat yang menggantung di gerobaknya.

Di depannya terdapat spanduk hijau bertuliskan “Warung Orem-Orem Comboran” yang terpasang di depan warung, menjadi penanda bahwa di sinilah salah satu kuliner legendaris Malang masih bertahan dan tidak tersentuh modernisasi.

Warung ini didirikan oleh almarhum H Abdul Manan pada tahun 1967 dan hingga kini tetap ramai dikunjungi untuk menikmati salah satu kuliner khas Malang.

Orem-orem merupakan masakan berkuah santan dengan isian yang berbahan dasar irisan tempe, mirip seperti opor atau kare, yang disajikan dengan ketupat dan tauge.

Baca juga: Pedagang Makanan Orem-Orem Curhat Ke Calon Wawali Kota Malang Minta Peningkatan Program UMKM

Sepeninggal pendirinya, warung ini dikelola oleh Kusnan, sang anak yang telah lama membantu abahnya berjualan.

Saat ini, tangannya sudah lincah memotong ketupat sambil mengaduk panci besar berisi kuah santan berwarna kuning yang menggoda selera.

“Dulu awalnya saya bertugas sebagai kasir dan penyaji sebelum akhirnya mengambil alih sepenuhnya setelah abah meninggal,” katanya kepada Kompas.com.

Baginya, orem-orem bukan sekadar makanan, melainkan juga warisan keluarga yang sarat akan kenangan.

Mulai dari harga Rp 1 di masa silam hingga kini Rp 10.000, warung ini tetap menjadi saksi perjalanan panjang kuliner Malang.

Warung Orem-Orem H Abdul Manan bukan hanya tempat makan, tetapi juga rumah bagi nostalgia para pelanggan setia yang sudah bertahun-tahun menikmati kelezatannya.

Kusnan pun masih mengingat kisah awal warung ini.

Semuanya bermula saat almarhum sang abah, yang kala itu berjualan es campur, bertemu dengan seseorang yang menyuruhnya membeli bumbu “pepek” lengkap di pasar.

Baca juga: Dari Bakso Beringin ke Bakso Pojok: Perjalanan Sejarah Kuliner Malang sejak 1972

Dengan modal semangat belajar dan ketekunan, H Abdul Manan bereksperimen di dapur hingga akhirnya menemukan cita rasa yang sempurna untuk olahan tempe khasnya.

Awalnya, orem-orem ini dijual dengan cara dipikul, berpindah dari satu tempat ke tempat lain, sebelum akhirnya menetap di lokasi hingga saat ini, di Jalan Irian Jaya nomor 1, Kota Malang.

Kini, di tangan Kusnan, warung ini tetap mempertahankan cita rasa aslinya.

Meski bumbu diperkuat agar lebih mantap, esensi resep warisan sang abah tetap dijaga.

“Yang penting rasa tetap nomor satu dan pelayanan juga harus baik,” ucap anak keenam dari almarhum H Abdul Manan ini.

Salah satu keunikan warung ini adalah penyajiannya yang khas.

Orem-orem terdiri dari potongan ketupat jumbo buatan sendiri, berpadu dengan irisan tempe dalam kuah santan kental, lengkap dengan tauge.

Hidangan ini semakin nikmat dengan tambahan mendol serta lauk pelengkap seperti tempe goreng, telur asin, dan kerupuk.

“Kata orang, rasanya beda. Tapi kan selera orang juga beda-beda. Yang pasti, kami tetap menjaga ciri khas, terutama ketupat jumbo yang kami buat sendiri,” ujar Kusnan.

Warung ini buka setiap hari mulai pukul 09.00 hingga 16.00 WIB, kecuali di bulan Ramadhan, yang dimanfaatkan untuk membersihkan dan merawat tempat warung.

“Pesan Abah dulu, kasihan kalau ada yang jauh-jauh datang tapi warungnya tutup. Kita kan enggak tahu kapan orang kepingin makan,” katanya.

Baca juga: Resep Orem-orem Tempe Khas Malang, Tinggal Rebus Semua Bahan

Dalam sehari, warung ini menghabiskan enam ketupat jumbo, yang satu ketupatnya bisa disajikan untuk 12–15 porsi.

Di tengah maraknya bisnis kuliner yang beralih ke penjualan online, Kusnan tetap memilih jalur tradisional.

Ia ingin pelanggan datang langsung, merasakan atmosfer warung, melihat ketupat besar, dan menikmati hidangan dengan suasana khas yang tak tergantikan oleh teknologi.

“Kami tidak pakai penjualan online biar orang tahu secara langsung dengan datang ke sini. Biar tahu juga suasananya, ada ketupat besar, ada mendol. Itu juga pesan Abah,” tutur pria berusia 41 tahun itu.

Bukan hanya soal rasa, kesederhanaan warung ini juga dijaga agar tetap merakyat.

Baca juga: Wisata ke Kota Malang, Tidak Lengkap Kalau Belum Cicipi Orem-orem

Kusnan enggan merenovasi warungnya menjadi mewah, khawatir membuat pelanggan dari kalangan sederhana merasa enggan masuk.

“Kalau dibuat terlalu bagus, takutnya orang-orang seperti tukang becak jadi segan masuk, takut mahal. Padahal, warung ini terbuka untuk semua kalangan,” kata Kusnan.

Warung ini menjadi tempat yang inklusif.

Dari pejabat, pegawai negeri, ahli kuliner, hingga masyarakat biasa, bahkan mereka yang kurang mampu, semua bisa menikmati orem-orem di sini.

“Kalau ada orang yang enggak mampu bayar, ya nggak usah bayar. Itu sudah biasa dari dulu,” katanya. 

Leave a comment