Informasi Terpercaya Masa Kini

Metode Dakwah Sunan Kalijaga, Berfokus pada Budaya dan Kesenian

0 70

Sunan Kalijaga dikenal sebagai salah satu Wali Songo yang memiliki metode dakwah unik. Berbeda dengan pendekatan langsung yang sering digunakan oleh wali lainnya, Sunan Kalijaga lebih memilih cara halus dan beradaptasi dengan budaya masyarakat Jawa. 

Ia memadukan ajaran Islam dengan tradisi lokal seperti seni, budaya, dan wayang. Hal tersebut membuat ajaran Islam dapat diterima masyarakat tanpa adanya pertentangan yang kuat.

Pendekatan yang dilakukan Sunan Kalijaga membuat dakwahnya berjalan efektif. Lantas, bagaimana metode dakwah Sunan Kalijaga? Simak ulasan selengkanya telah Popmama.com siapkan. 

Tentang Sunan Kalijaga

Sunan Kalijaga lahir tahun 1400-an dari keluarga bangsawan Tuban yaitu bupati Tuban bernama Tumenggung Wilatikta dan istrinya bernama Dewi Nawangrum. Saat itu, nama aslinya adalah Raden Syahid (dalam beberapa sumber dieja menjadi Raden Said). 

Sebagai keturunan bangsawan, ia memiliki beberapa nama, yaitu Lokajaya, Syekh Malaya, Pangeran Tuban, Ki Dalang Sida Brangti, dan Raden Abdurrahman. Terdapat dua pendapat berbeda mengenai asal usulnya. 

Pendapat pertama menyatakan bahwa Sunan Kalijaga adalah keturunan Arab dan Jawa. Sedangkan pendapat lain berdasarkan Babad Tanah Jawi mengungkapkan bahwa Sunan Kalijaga adalah orang Arab. 

Meski silsilahnya kembali ke kakeknya, Sunan Kalijaga masih memiliki silsilah dengan Abbad bin Abdul Muthalib alias paman Nabi Rasulullah SAW. Sejak kecil, Sunan Kalijaga telah mendapatkan pendidikan Islam dari gurunya. 

Hal ini bertujuan agar nilai-nilai dasar Al-Qur’an dan Hadis Rasulullah SAW dapat menjadi pedoman hidupnya dalam beragama. Selain itu, ia juga dilatih untuk memiliki jiwa kepemimpinan, terutama dalam menyelesaikan suatu permasalahan. 

Ia kerap menjadi pemimpin di antara teman-temannya saat bermain, namun tetap rendah hati dan tidak sombong, sehingga disayangi oleh orang-orang di sekitarnya.

Terdapat dua versi mengenai masa muda Sunan Kalijaga. Dalam versi pertama, ia yang saat itu masih dikenal sebagai Raden Said dikisahkan melakukan pencurian dan perampokan. 

Namun, tindakannya bukan untuk kepentingan pribadi, melainkan untuk membantu rakyat kecil yang hidup dalam kemiskinan. Raden Said yang telah mendapatkan pendidikan agama sejak kecil merasa gelisah melihat penderitaan masyarakat Tuban akibat kebijakan yang tidak adil. 

Ia pernah mengungkapkan kegelisahannya kepada sang Papa. Namun, sebagai bawahan Kerajaan Majapahit, Papanya tidak memiliki kuasa untuk mengubah keadaan masyarakat. .

Didorong oleh rasa solidaritas dan empati, Raden Said akhirnya mengambil tindakan ekstrem dengan mencuri bahan makanan dari gudang Kadipaten dan membagikannya kepada rakyat yang membutuhkan. 

Namun, aksinya diketahui oleh para pengawal kerajaan, sehingga ia dihukum dan diusir dari Tuban. Setelah itu, ia mengembara tanpa tujuan tetapi tetap melanjutkan misinya membantu rakyat melalui aksi pencurian. 

Ia kemudian menetap di hutan Jatiwangi. Dirinya dikenal sebagai perampok yang hanya menargetkan orang-orang kaya di daerah tersebut.

Sementara dalam versi lain, Raden Said digambarkan sebagai sosok yang nakal sejak kecil dan tumbuh menjadi seseorang yang kejam. Ia bahkan disebut-sebut pernah membunuh orang hingga mendapatkan julukan Brandal Lokajaya.

Perjalanan jahat Raden Said akhirnya berakhir setelah pertemuannya dengan Sunan Bonang yang menjadi titik balik dalam hidupnya. Dalam Serat Lokajaya, diceritakan bahwa suatu hari Raden Said sedang bersembunyi di hutan untuk mengintai calon korban. 

Ia melihat seorang laki-laki tua berpakaian mencolok yang ternyata adalah Sunan Bonang. Ia segera mendekatinya untuk merampas hartanya. Namun, Sunan Bonang menyadari niat Raden Said dan memperlihatkan kesaktiannya dengan menjelma menjadi empat sosok berbeda. 

Hal ini membuat Raden Said ketakutan dan mencoba melarikan diri, tetapi ke mana pun ia pergi, Sunan Bonang selalu berhasil menghalanginya. Akhirnya, Raden Said merasa terpojok, ketakutan, dan bertobat di hadapan Allah SWT.

Sejak peristiwa itu, Raden Said menjadi murid Sunan Bonang. Sebagai bagian dari proses pembelajarannya, ia diminta untuk menunggu gurunya di tepi sungai sambil memegang tongkatnya. Dari peristiwa inilah ia kemudian dikenal sebagai Sunan Kalijaga, yang berarti “penjaga kali (sungai).”

Setelah kejadian itu, Raden Said menjadi murid Sunan Bonang, dengan syarat Raden Said harus menunggu Sunang Bonang di tepi sungai sambil memegang tongkatnya.

Penantian Raden Said di tepi sungai itulah yang membuatnya disebut Sunan Kalijaga, artinya menjaga kali (sungai). 

Sunan Kalijaga Memiliki 3 Istri

Berdasarkan sejarah, Sunan Kalijaga memiliki 3 istri, Dewi Sarah, Siti Zaenab dan Siti Hafsah. Berikut informasi selengkapnya: 

  • Dari pernikahannya dengan Dewi Sarah, ia dikaruniai 3 orang anak, Raden Umar Said (Sunan Muria), Dewi Rukayah, dan Dewi Sofiah.
  • Dari pernikahannya dengan Siti Zaenab (putra Sunan Gunung Jati), ia memiliki 5 orang anak, yaitu Ratu Pembayun, Nyai Ageng Panenggak, Sunan Hadi, Raden Abdurrahman, dan Nyai Ageng Ngerang.
  • Saat menikah dengan Siti Khafsah, nama anaknya tidak jelas. Siti Khafsah dikenal sebagai putri dari Sunan Ampel.

Sunan Kalijaga diperkirakan berusia lebih dari 100 tahun, ia hidup antara pertengahan abad ke-15 hingga akhir abad ke-16. Dengan rentang usia tersebut, ia turut menyaksikan runtuhnya Kerajaan Majapahit pada tahun 1478. 

Selain itu, Sunan Kalijaga juga berperan dalam perencanaan pembangunan Masjid Agung Cirebon dan Masjid Agung Demak. Sunan Kalijaga wafat sekitar tahun 1680 pada usia 131 tahun dan dimakamkan di Desa Kadilangu, Demak.

Wilayah Dakwah Sunan Kalijaga

Sunan Kalijaga menjadikan Jawa Tengah sebagai pusat dakwahnya, dengan metode perjalanan dari satu daerah ke daerah lain. Ia menyebarkan ajaran Islam ke wilayah barat dan selatan Demak. 

Di sebelah barat, ia berdakwah hingga pesisir utara Pulau Jawa, melewati Juwana, Pati, Jepara, Semarang (Pandan Arang), Kendal, Pekalongan, Tegal, hingga Cirebon.

Sementara di selatan, ia menyebarkan Islam ke Kartasura, Pajang, dan Klaten, melalui Salatiga dan Boyolali. Dakwahnya yang terus berpindah dari satu tempat ke tempat lain membuatnya dikenal luas sebagai seorang pendakwah keliling di tanah Jawa.

Pada abad ke-15, Pulau Jawa masih berada di bawah kekuasaan Kerajaan Majapahit yang menganut agama Siwa-Buddha, sebuah perpaduan antara Hindu dan Buddha.

Kerajaan Majapahit berkuasa sejak tahun 1294 hingga 1527 Masehi. Oleh karena itu, ketika Islam mulai disebarkan oleh para Wali Songo, banyak masyarakat Jawa yang belum mengenal agama Islam.

Pada masa Sunan Kalijaga, sebelum runtuhnya Majapahit, masyarakat Jawa masih berada dalam peradaban yang kental dengan pengaruh Hindu-Buddha serta kepercayaan animisme dan dinamisme. 

Kepercayaan ini telah mengakar kuat dan memengaruhi berbagai aspek kehidupan masyarakat, termasuk budaya, adat istiadat, serta ritual keagamaan. Bahkan setelah agama Hindu-Buddha masuk, unsur animisme dan dinamisme tetap bertahan dan berbaur dengan budaya yang ada.

Pengaruh Hindu-Buddha yang berkembang sejak abad ke-8 M hingga kejatuhan Majapahit pada awal abad ke-16 M meninggalkan warisan budaya yang sangat kuat dalam masyarakat Jawa. 

Kepercayaan mistis tetap menjadi bagian utama dari kehidupan masyarakat, dan mereka masih setia pada ajaran lama yang diwariskan turun-temurun. Selain itu, perilaku sosial masyarakat pada masa itu juga banyak yang tidak terpuji, seperti perampokan, pembunuhan, perjudian, pencurian, serta konsumsi minuman keras.

Keadaan ini menjadi tantangan besar bagi Sunan Kalijaga dalam menjalankan dakwahnya. Melihat kondisi tersebut, para Wali Songo, termasuk Sunan Kalijaga, menyadari bahwa perubahan kepercayaan tidak bisa dilakukan secara drastis.

Masyarakat Jawa yang masih terikat dengan ajaran Hindu-Buddha akan sulit menerima Islam jika disebarkan secara langsung tanpa pendekatan yang bijaksana.

Itu sebabnya, Sunan Kalijaga dan para wali lainnya merumuskan strategi dakwah yang lebih halus dan progresif agar ajaran Islam dapat diterima secara perlahan tanpa menimbulkan penolakan yang besar dari masyarakat.

Metode Dakwah Sunan Kalijaga1. Menggunakan wayang sebagai media dakwah

Sunan Kalijaga menjadikan wayang sebagai sarana untuk menyebarkan ajaran Islam. Pada masa itu, wayang sangat populer di kalangan masyarakat. Ia bahkan merantau ke wilayah Pajajaran dan Majapahit untuk berperan sebagai dalang.

Saat menggelar pertunjukan, Sunan Kalijaga tidak meminta imbalan apa pun, kecuali agar penonton mengucapkan dua kalimat syahadat. 

Melalui kesenian wayang, ia menyampaikan nilai-nilai tasawuf serta memperkenalkan ajaran Islam yang tercermin dalam tokoh Yudistira dan Bima.

2. Melakukan pendekatan kepada masyarakat

Sunan Kalijaga menerapkan strategi dakwah kultural dengan cara berinteraksi dengan berbagai lapisan serta golongan masyarakat. Dalam kehidupan sosialnya, ia tidak membedakan asal-usul maupun status seseorang. 

Sikap dan perilakunya bahkan sempat menimbulkan anggapan di kalangan masyarakat bahwa ia terlalu berbaur dengan kelompok yang dianggap kurang baik hingga mereka berpikir “sok campur dengan orang-orang jelek, sok campur dengan orang-rang abangan,”.

Namun, Sunan Kalijaga tetap menerima semua golongan masyarakat Jawa tanpa terkecuali. Tujuan utamanya adalah memahami serta mendekatkan diri dengan masyarakat Jawa. 

Melalui pendekatan ini, ia berhasil membangun simpati yang pada akhirnya mempermudah proses penyebaran Islam di Jawa. Strategi ini juga menjadikannya dikenal luas di berbagai kalangan masyarakat.

3. Akulturasi, mengubah sesajen menjadi selamatan

Salah satu metode dakwah Sunan Kalijaga adalah mengganti tradisi sesajen dengan selamatan. Sebelum Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-15, masyarakat Jawa menganut kepercayaan animisme dan dinamisme, yang mana melibatkan pemujaan terhadap roh gaib dan leluhur.

Pada masa itu, masyarakat mempersembahkan sesajen berupa bunga, terong pahit, kemenyan, buah-buahan, ayam goreng, dan telur rebus sebagai bentuk penghormatan kepada roh. 

Sesajen ini biasanya ditempatkan di sudut rumah, di bawah tempat tidur, di kaki pohon besar, di perempatan jalan, atau di pinggir jembatan, dan dibiarkan hingga dimakan hewan atau membusuk.

Dalam dakwahnya, Sunan Kalijaga tidak langsung menolak tradisi yang telah mengakar di masyarakat. Sebagai gantinya, ia memasukkan nilai-nilai Islam melalui proses Islamisasi. 

Ia mengganti istilah ‘sesajen’ dengan ‘selamatan’ yang berasal dari kata dalam Islam dan bermakna kedamaian, kebahagiaan, serta kemakmuran. Selain adanya perubahan istilah, maknanya pun diubah. 

Jika sebelumnya sesajen dipersembahkan untuk roh gaib atau dewa, maka dalam ajaran Sunan Kalijaga, selamatan diwujudkan dalam bentuk sedekah berupa makanan yang diberikan kepada masyarakat, khususnya mereka yang membutuhkan, seperti fakir miskin, kerabat, dan anak yatim.

4. Tembang Lir-Ilir

Sunan Kalijaga memanfaatkan tokoh wayang dan syair Jawa sebagai media dakwah. Dalam pewayangan yang berasal dari ajaran Hindu, ia mengisahkan cerita Ramayana dan Mahabharata. 

Namun, untuk mendapatkan penerimaan dari masyarakat, ia tidak menyampaikan kisah dalam bentuk aslinya, melainkan menggantinya dengan unsur-unsur Islami agar menjadi sarana penyebaran Islam.

Selain wayang, Sunan Kalijaga juga menggunakan seni suara sebagai bagian dari dakwahnya. Beberapa karyanya yang terkenal antara lain tembang Dandanggula dan Lir-Ilir. Lirik Tembang Lir-Ilir adalah sebagai berikut:

Lir – ilir, lir – ilir Tandure wis sumilir 

Tak ijo royo-royo tak senggo temanten anyar 

Cah angon-cah angon penekno blimbing kuwi Lunyu – lunyu yo penekno kanggo mbasuh dodotira 

Dodotira – dodotira kumitir bedah ing pinggir 

Dondomono jlumatono kanggo sebo mengko sore Mumpung padang rembulane, mumpung jembar kalangane

Yo suarako…. Sura iyo …

5. Grebeg dan Sekaten

Dalam upaya menyebarkan Islam, Sunan Kalijaga memperkenalkan perayaan yang dikenal masyarakat Jawa sebagai Grebeg. Lalu, ada pula tradisi Sekaten yang diyakini berasal dari kata ‘sekati’ dan merujuk pada dua perangkat gamelan.

Ide menggabungkan budaya Grebeg dengan Sekaten muncul ketika Sunan Kalijaga berupaya mengajak masyarakat datang ke masjid, yang bertepatan dengan perayaan Maulid Nabi Muhammad. 

Selain menyuguhkan pertunjukan gamelan dan tarian, ia juga mengajak masyarakat untuk menghias kompleks masjid. Awalnya, banyak yang ragu untuk hadir, tetapi seiring berjalannya waktu, mereka mulai masuk ke dalam masjid dan diminta mengucapkan dua kalimat syahadat.

6. Gamelan sebagai media alat musik untuk berdakwah

Sunan Kalijaga memanfaatkan gamelan sebagai sarana dakwah saat melakukan pertunjukan dan berbagai acara. Ia bahkan menciptakan gamelan dengan tabuhan khasnya sendiri agar lebih diterima oleh masyarakat. 

Selain sebagai hiburan, gamelan juga berfungsi untuk menarik orang datang ke masjid. Alat musik tradisional ini juga digunakan dalam perayaan Grebeg dan Sekaten untuk menarik perhatian masyarakat.

Selain gamelan, Sunan Kalijaga menggunakan tembang sebagai metode dakwahnya. Beberapa lagu ciptaannya yang terkenal adalah Rumekso Ing Wengi dan Lir-Ilir.

Tembang Rumekso Ing Wengi berisi doa malam setelah salat tahajud. Sunan Kalijaga mengubahnya karena masyarakat Jawa pada saat itu masih kesulitan menghafal doa dalam bahasa Arab.

Selain itu, ia juga menciptakan tembang Lir-Ilir dan Gundul-Gundul Pacul yang mengandung pesan moral dan petuah kehidupan.

7. Membangun masjid

Sunan Kalijaga bersama para wali lainnya membangun masjid dengan arsitektur khas Jawa yang dipengaruhi oleh gaya Hindu-Buddha, bukan dengan gaya Arab atau Persia.

Ciri khas arsitektur Jawa dalam masjid ini terlihat pada atapnya yang bertingkat atau bertumpuk menyerupai punden berundak serta adanya pintu khusus di pelataran sebagai akses masuk.

Salah satu jasa besar Sunan Kalijaga adalah mendirikan Masjid Demak, yang menjadi masjid pertama di Jawa. Masjid yang dibangun pada tahun 1477 M ini masih menjadi tujuan kunjungan umat Islam dari berbagai daerah di Nusantara. 

Selain berfungsi sebagai pusat keagamaan utama di Jawa, masjid ini juga berperan penting dalam penyebaran Islam hingga ke wilayah pedalaman. Selain itu, banyak karya-karya dan peninggalan Sunan Kalijaga, di antaranya yaitu :

  • Sokoguru Masjid Demak yang terbuat dari tatal.
  • Gamelan Nagawilaga.
  • Gamelan Guntur Madu.
  • Gamelan Nyai Sekati.
  • Gamelan Kyai Sekati.
  • Wayang Kulit Purwa.
  • Baju Takwa.
  • Tembang Dhandanggula.
  • Kain Batik Motif Garuda.
  • Syair Puji – Pujian Pesantren.

Demikian ulasan mengenai metode dakwah Sunan Kalijaga serta kisah hidupnya. Intinya adalah Sunan Kalijaga menggunakan budaya dan kesenian untuk mengajarkan agama Islam kepada masyarakat. 

Baca juga:

  • 8 Rekomendasi Film Bertema Sejarah Islam, Wajib Tonton!
  • 25 Nabi dan Mukjizatnya dalam Islam
  • Apa itu Hasad? Penjelasan Hasad, Penyebab, dan Dampaknya Menurut Islam
Leave a comment