Informasi Terpercaya Masa Kini

Perusahaan milik Keuskupan Maumere gusur ratusan rumah warga adat – ‘Kami tidak menyangka gereja bisa melakukan ini’

0 2

Ratusan keluarga dari Suku Soge Natarmage dan Goban Runut-Tana Ai memilih tetap tinggal di antara puing-puing reruntuhan bangunan yang hancur digusur PT Kristus Raja Maumere pada pekan lalu.

Mereka mendirikan ‘rumah darurat’ yang terbuat dari seng dan beratap terpal demi mempertahankan tanah ulayat mereka.

“Kami tetap bertahan di rumah yang sudah digusur ini, kami bertahan, karena kami punya tanah hak ulayat, kami tidak takut apabila ada preman yang kembali datang,” ujar Kepala Suku Soge, Ignasius Nasi.

Penggusuran ini merupakan buntut dari konflik lahan yang berlangsung bertahun-tahun antara masyarakat adat dengan perusahaan milik Keuskupan Maumere.

Direktur Utama PT Kristus Raja Maumere, Romo Epy Rimo, menyebut penggusuran itu sebagai ‘pembersihan’ sebab pihaknya sudah mengantongi hak mengelola tanah tersebut untuk pengembangan bisnis perkebunan kelapa.

Upaya ‘pembersihan’ itu, klaimnya, akan terus dilakukan dalam waktu dekat.

Menanggapi persoalan ini Sekretaris Komisi Keadilan, Perdamaian, dan Pastoral Migran-Perantau, Konferensi Waligereja Indonesia, Romo Marten Jenarut, mengatakan prinsip bisnis dalam gereja harus tetap dalam kerangka mendukung marwah gereja sebagai lembaga keagamaan.

“Pada prinsipnya ajaran sosial gereja menjunjung tinggi keadilan, kesejahteraan sosial, solidaritas, martabat manusia, dan keutuhan ciptaan,” papar Romo Marten.

‘Kami kaget gereja bisa melakukan ini’

Jejak penggusuran yang terjadi di Desa Nangahale pada Selasa (22/01) lalu masih terasa menyakitkan bagi ratusan keluarga dari Suku Soge Natarmage dan Goban Runut-Tana Ai.

Rumah yang mereka bangun dengan hasil jerih payah selama bertahun-tahun porak-poranda digilas ekskavator tanpa ampun.

Begitu pula kebun yang menjadi sumber hidup mereka.

Kepala Suku Soge Natarmage, Ignasius Nasi, menceritakan ratusan warga—yang kebanyakan para ibu—sempat mengadang alat berat yang hendak merobohkan rumah-rumah mereka.

Mereka mencegat ekskavator sambil berteriak: “Inikah perbuatan orang kudus?”

Tapi apa daya, jumlah dan kekuatan mereka kalah jauh.

Sebab tak hanya alat berat yang didatangkan, ada pula ratusan orang yang diduga dari PT Kristus Raja Maumere memakai ikat kepala sambil membawa parang, palu, dan linggis.

Segerombolan orang itu memaksa warga keluar dari rumah dan mengambil paksa hasil kebun.

Menurut Ignasius, aparat dari TNI-Polri serta Satpol PP juga berada di lokasi untuk mengawal proses penggusuran.

BBC News Indonesia hadir di WhatsApp.

Jadilah yang pertama mendapatkan berita, investigasi dan liputan mendalam dari BBC News Indonesia, langsung di WhatsApp Anda.

Sepekan setelah kejadian itu, ratusan keluarga masih bertahan di lokasi yang sama, tapi kali ini di antara puing-puing rumah yang luluh lantak.

Mereka mendirikan ‘rumah darurat’ yang terbuat dari seng dan beratap terpal demi mempertahankan tanah ulayat mereka.

“Kami tetap berada di rumah yang sudah digusur ini, kami tetap bertahan karena kami punya tanah hak ulayat, kami tidak pernah takut apabila ada preman yang kembali datang,” ucap Ignasius.

Ketika BBC News Indonesia ke sana, sejumlah warga dengan muka hampa sedang mengais barang-barang yang masih bisa dipakai, sebagian lagi sedang memasak, dan yang lain duduk dengan kepala menunduk di dekat rumah yang telah runtuh.

Baca juga:

  • Kisah ‘keberhasilan’ masyarakat adat Knasaimos di Papua, apa konsekuensinya dan bisakah ditiru masyarakat adat lain?
  • ‘Tidak ada lagi yang menggantikan kami’ – Sikerei, penjaga tradisi Mentawai yang perlahan hilang ditelan zaman

Ignasius berkata ratusan keluarga ini sudah tinggal di lokasi eks HGU tersebut sejak 2014. Persisnya ketika kontrak HGU yang dimiliki Keuskupan Agung Ende berakhir.

Sebab mereka meyakini tanah ini adalah warisan leluhur mereka.

“Tanah ini… tanah warisan leluhur dari turun-temurun, sehingga kami kembali tinggal di sini,” jelas Ignasius.

Di lahan yang terletak di Desa Nangahale ini lah mereka lantas mendirikan rumah-rumah dan berkebun.

Total ada 150 kepala keluarga yang sebagian besar bekerja sebagai petani.

Konflik muncul kala PT Kristus Raja Maumere—perusahaan milik Keuskupan Maumere—hendak melanjutkan kontrak HGU di tanah tersebut.

Sependek ingatan Ignasius, sejak Desember tahun 2023 setidaknya sudah ada tiga kali upaya penggusuran dan semuanya terjadi perlawanan.

Baca juga:

  • Masyarakat adat O’hangana Manyawa di Halmahera terjepit industri nikel, citra primitif, dan dugaan kriminalisasi
  • Cara anak muda Mentawai menjaga tradisi – ‘Kami bukan orang-orang terbelakang’

Penggusuran yang terakhir pada pekan lalu adalah puncak kekecewaan mereka.

Imbasnya hubungan warga dengan gereja, jadi renggang. Bahkan masyarakat setempat tidak nyaman untuk beribadah di gereja.

Ada perasaan sesal dan sakit hati karena “Yesus Kristus tidak pernah mengajarkan perbuatan seperti ini,” tutur Ignasius.

“Kami tidak menyangka, kami kaget pihak gereja bisa melakukan ini. Bangunan rumah kami rusak, tanaman rusak, dan sumur air ditutup semua.”

“Saat ini kami pun belum bisa ke gereja, tapi kami tidak bisa lepas dengan agama.”

Anggota Dewan Nasional Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) di Sikka, John Bala, mengatakan penggusuran pekan lalu itu sebetulnya terjadi di beberapa lokasi: dua rumah di Utan Wair, seratus lebih unit di Pedan, Desa Nangahale dan lima lainnya di Wair Hek, Desa Likong Gete.

Jika dijumlahkan maka ada 450 jiwa yang terdampak.

Bagaimana silsilah tanah ini?

John Bala, Anggota Dewan Nasional Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) di Sikka, menuturkan masyarakat adat Suku Soge Natarmage dan Goban Runut-Tana Ai sudah mendiami wilayah di Desa Nangahale dan sekitarnya jauh sebelum kolonial Belanda menguasai tanah tersebut pada 1912.

Itu dibuktikan dari beberapa dokumen sejarah gereja Katolik di NTT dan Maumere.

Dokumen itu menyebutkan ada tiga stasi utama dalam Misi Dominikan di wilayah Maumere yakni Sikka, Paga, dan Krowe.

Dalam peta Stasi Misi dari zaman Dominikan yang dibuat oleh B.J.J. Visser, stasi Krowe ditempatkan di sekitar Nangahale –yang sekarang adalah lokasi konflik HGU dengan PT Kristus Raja Maumere.

“Jadi ada keyakinan bahwa itu tanah leluhur suku Soge dan Goban Runut,” ujar John Bala kepada BBC News Indonesia, Senin (27/01).

“Dan semestinya mereka mendapatkan tanah itu sebagai kewajiban negara untuk melayani kepentingan masyarakat adat dan petani yang tidak bertanah,” sambungnya.

John kemudian merujuk pada dokumen permohonan pembaruan HGU yang diajukan oleh PT Kristus Raja Maumere tertanggal 3 November 2013.

Katanya tertulis di situ, pada 1912 keluar surat keputusan dari pemerintah kolonial Belanda yang memberikan izin kepada perusahaan Amsterdam Soenda Compagny—yang berada di Amsterdam—untuk usaha penanaman kapas dan kelapa seluas 1.438 hektare.

Baca juga:

  • Rasi, warisan perjuangan masyarakat adat Cireundeu melawan Belanda
  • Masyarakat adat Besipae di NTT yang ‘digusur’ dari hutan adat Pubabu: Anak-anak dan perempuan ‘trauma’ dan ‘hidup di bawah pohon’

Tetapi perusahaan ini dilaporkan terus merugi gara-gara perkebunan kapasnya sering dibakar oleh rakyat.

Karena kondisi demikian, pada 1926 perkebunan tersebut dijual oleh perusahaan Belanda kepada Apostolishe Vicariaat Van de Kleine Soenda Hilanden atau Keuskupan Agung Ende senilai 22.500 gulden.

Perjanjian jual beli dibuat dengan akte penyerahan tanggal 10 Mei 1926 di hadapan Assisten Residen van Flores, Karel Christian van Haaster.

Selanjutnya pada 1956, Keuskupan Agung Ende mengajukan permohonan kepada pemerintah swapraja Sikka untuk mengembalikan sebagian tanah konsesi seluas 783 hektare di Nangahale dengan alasan: telah diduduki dan diusahakan oleh rakyat.

Tapi sisanya, tetap dikelola oleh Keuskupan Agung Ende.

Pascakemerdekaan, sesuai aturan UU Pokok Agraria, pemerintah menetapkan perkebunan itu sebagai Hak Guna Usaha (HGU) melalui Surat Keputusan Kepala Badan Pertanahan nomor 4/HGU/89 tertanggal 5 Januari 1989.

Keuskupan Agung Ende lantas mengajukan permohonan HGU atas tanah perkebunan Nangahale seluas 879 hektare, dan dikabulkan.

Penerima HGU ini adalah perusahaan bentukan Keuskupan Agung Ende, yakni PT Perkebunan Kelapa Diag (Dioses Agung Ende) dengan jangka waktu selama 25 tahun dan berakhir pada 31 Desember 2013.

Ketika Keuskupan Maumere berpisah dari Keuskupan Agung Ende, konsesi HGU PT Perkebunan Kelapa Diag diserahkan kepada PT Kristus Raja Maumere (Krisrama) yang dinaungi oleh Keuskupan Maumere.

Baca juga:

  • Hak atas tanah di IKN nyaris dua abad, ‘masyarakat adat akan jadi gelandangan di masa depan’
  • RUU Konservasi: Mengapa masyarakat adat perlu dilibatkan dalam konservasi hutan?

Pada 2013—sebelum berakhirnya masa HGU PT Diag—PT Kristus Raja Maumere mengajukan permohonan pembaharuan HGU ke Kementerian ATR/BPN.

Tapi, usulan itu ditunda karena ada keberatan dari masyarakat adat Soge Natarmage dan Goban Runut yang mengeklaim telah menduduki tanah tersebut.

“Dari silsilah itu jelas tanah HGU PT Kristus Raja Maumere berasal dari tanah milik masyarakat adat Soge Natarmage dan Goban Runut. Tanah ini diambil oleh kolonial Belanda kemudian disewakan kepada perusahaan kolonial Belanda,” kata John.

“Hingga seterusnya dijual kepada misi gereja Katolik ketika itu.”

“Waktu itu yang berlaku hukum kolonial Belanda yang sama sekali tidak mengakui hak-hak masyarakat adat.”

Perjuangan merebut tanah adat

Perjalanan masyarakat adat Suku Soge Natarmage dan Goban Runut-Tana Ai merebut kembali tanah mereka tidak muncul tiba-tiba.

Sejak 1912 tercatat sudah ada perlawanan.

Lalu pada Agustus 2000, masyarakat adat Soge Natarmage yang berada di Utan Wair melakukan reclaiming tanah HGU di Nangahale.

Dan sebulan setelahnya, terjadi penangkapan terhadap tujuh orang warga karena dituduh mencuri asam di lokasi HGU. Namun beberapa hari kemudian dibebaskan atas desakan masyarakat dan LSM.

Tahun-tahun setelahnya, masyarakat adat Soge Natarmage bergabung dengan Suku Tana Ai dan komunitas lainnya untuk melakukan aksi demonstrasi ke DPRD Kabupaten Sikka.

Mereka juga tak gentar atas larangan pemda maupun keuskupan yang melarang pembukaan ladang di dalam kawasan HGU.

Pada November 2015, perwakilan masyarakat adat Soge Natarmage dan Goban Runut berangkat ke Jakarta untuk menemui pejabat Kementerian ATR/BPN. Niat mereka hendak mengadukan nasib serta menuntut hak-hak sebagai penduduk asli.

Perjalanan lima hari itu dengan biaya sendiri, kata John Bala.

Sesampainya di Jakarta, mereka ditemani sejumlah LSM bertemu pihak kementerian. Pejabat kementerian menyampaikan permohonan pembaharuan HGU PT Kristus Raja Maumere akan ditinjau ulang.

Baca juga:

  • Sorbatua Siallagan, kakek yang dituduh ‘menduduki’ hutan konsesi Toba Pulp Lestari divonis dua tahun penjara dan denda Rp1 miliar
  • Ditangkap saat lelap, tiga anggota masyarakat adat Sihaporas jadi tersangka kasus dugaan pengeroyokan pekerja PT TPL

Kementerian, klaim John, juga memerintahkan Kepala Kantor BPN Provinsi NTT untuk melakukan penelitian ulang tanah bekas HGU yang dimohonkan PT Kristus Raja Maumere.

Serta, meminta perwakilan masyarakat adat kembali berdialog dengan perusahaan.

“Tapi dialog itu tidak pernah dilakukan sampai ada penerbitan konsesi HGU,” ujar John.

Namun perlawanan masyarakat adat tak berhenti.

Berkali-kali mereka mencegat aparat dan Satpol PP untuk melakukan pengukuran dan penanaman pilar tanda batas oleh PT Kristus Raja Maumere bersama pegawai kementerian ATR/BPN di lokasi.

Mereka juga menghalangi pegawai BPN NTT yang hendak melakukan pemeriksaan tanah sebagai syarat keluarnya HGU.

Meskipun penerbitan HGU baru untuk PT Kristus Raja Maumere akhirnya tetap keluar pada 20 Juli 2023 seluas 325,682 hektare.

Dan pada 29 Juli 2024, masyarakat melakukan perlawanan atas pembersihan lahan dengan cara merusak plang yang bertuliskan ‘Tanah ini Milik PT Krisrama, Keuskupan Maumere’.

Atas aksi itu, delapan orang dilaporkan ke polisi dan ditetapkan sebagai tersangka.

Proses persidangan masih berlangsung hingga saat ini di Pengadilan Negeri Maumere.

Baca juga:

  • ‘Kami mau makan dari mana? Alam kami sudah rusak habis’

Sialnya, ungkap John, di persidangan yang berlangsung pada Selasa (22/01) dengan agenda pembacaan eksepsi delapan terdakwa, perusahaan menggusur rumah-rumah warga.

“Perlawanan [mencegah penggusuran] itu agak terlambat karena sebagian besar warga datang ke pengadilan untuk memberikan dukungan,” ujar John.

“Jadi perlawanan mencegah itu baru bisa dilakukan sore hari, ketika mereka pulang ke kampung yang jaraknya 30 kilometer.”

Sementara yang tersisa di kampung, sambungnya, hanya orang tua, para istri, dan anak-anak.

Apa langkah yang akan ditempuh warga?

Masyarakat adat Suku Soge Natarmage dan Goban Runut-Tana Ai, klaim John Bala, menilai penerbitan SK HGU Nomor 01/BPN.53/7/2023 tentang Pembaharuan HGU PT Krisrama di Nangahale “cacat secara administrasi” karena tidak memenuhi syarat.

“Syarat terbit HGU baru itu kan tanah harus berstatus clean and clear, artinya tanah itu tidak boleh ada konflik atau keberatan dari pihak lain. Ini keberatan masyarakat dianggap bukan konflik?” ujarnya.

Atas dasar itulah, lanjut John, warga akan tetap bertahan di lokasi sembari menempuh langkah-langkah berikutnya.

Salah satunya, mengajukan keberatan kepada Kementerian ATR/BPN atas penerbitan SK HGU kepada PT Krisrama.

Pijakan keberatan tersebut merujuk pada diktum keenam dalam SK itu yang menyatakan “apabila di atas tanah yang diberikan HGU terdapat permasalahan, penguasaan, dan atau kepemilikan pihak lain di kemudian hari maka PT Krisrama wajib menyelesaikan masalah tersebut sesuai ketentuan yang berlaku”.

Lalu, diktum sepuluh menyebutkan “pejabat yang berwenang bisa mencabut izin HGU apabila pemegang hak tidak memenuhi syarat yang ditetapkan dalam diktum keenam”.

Untuk membuktikan adanya persoalan dalam HGU, kata John, mereka akan membeberkan segala peristiwa yang terjadi. Termasuk upaya penggusuran yang belakangan terjadi.

Baca juga:

  • ‘Aku hampir mati perjuangkan tanah ini, sekarang tidak akan takut’ – Perempuan Desa Ria-Ria melawan di Food Estate Sumatra Utara
  • ‘Ini tanah nenek moyang kami, bukan tanah TNI AU’ – Puluhan tahun sengketa lahan dengan militer, warga di Majalengka lakukan ‘perlawanan kultural’

“Gusur atau pembersihan itu tidak ada dalam mekanisme peraturan yang berlaku. Penggusuran bisa dilakukan setelah ada perintah eksplisit dari pengadilan setelah proses perdata.”

“Jadi enggak bisa gusur hanya karena sudah diberikan pengumuman di gereja, pengumuman oleh pemda, dan somasi.”

Ia berharap dengan bukti-bukti tersebut, pemerintah mencabut SK HGU.

Adapun upaya itu akan dilakukan dalam waktu dekat sembari mengumpulkan data-data di lapangan.

Apa kata perusahaan dan KWI?

Direktur Utama PT Kristus Raja Maumere, Romo Epy Rimo, menyebut penggusuran itu sebagai ‘pembersihan’ sebab pihaknya sudah mengantongi hak untuk mengelola tanah tersebut untuk pengembangan bisnis perkebunan kelapa seluas 325 hektare yang ditandai dengan penerbitan sepuluh sertifikat tanah eks HGU.

Karenanya, kata dia, upaya ‘pembersihan’ itu akan terus dilakukan dalam waktu dekat.

“Kemudian ada satu poin yang perlu kami lakukan adalah pembersihan lokasi untuk kami buat peremajaan kembali, karena kelapa-kelapa yang ada pada kami sekarang itu, usianya sudah usut…”

“Karena itu perlu ada peremajaan sesuai dengan bagian dari rencana strategi pendapatan hak untuk kami melakukan mengembangkan kembali bisnis perkebunan kelapa,” papar Romo Epy.

Direktur PT Pelaksana PT Kristus Raja Maumere, Romo Robertus Yan Faroka, juga membuat klaim bahwa ‘pembersihan’ ini telah melalui prosedur yang berlaku.

Proses tersebut dimulai dari pengumuman di gereja, pengumuman oleh pemda, pendekatan perorangan, dan somasi hukum.

Tapi sejumlah warga yang disebutnya ‘okupan’ mengabaikan imbauan-imbauan tersebut. Beberapa warga, katanya, secara sukarela mengosongkan pondok-pondok mereka.

“Yang diviralkan kemarin hanya segelintir orang yang diminta bertahan oleh beberapa LSM dan aktor intelektual untuk kepentingan diri mereka sendiri,” ucapnya seperti dilansir Tempo.co.

Baca juga:

  • Mengapa rencana pembukaan 20 juta hektare hutan untuk lahan pangan ‘untungkan korporasi dan rugikan warga’? – Kesaksian Orang Rimba yang tersisih dari hutan leluhur

Merespons persoalan konflik lahan ini, Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) menyarankan masyarakat adat Suku Soge Natarmage dan Goban Runut-Tana Ai mengajukan gugatan hukum ke pengadilan jika merasa lahan HGU yang diberikan kepada PT Kristus Raja Maumere atau Krisrama cacat administrasi.

Sekretaris Komisi Keadilan, Perdamaian, dan Pastoral Migran-Perantau KWI, Romo Marten Jenarut, mengatakan opsi lain yang bisa dilakukan warga adalah mengajukan permohonan kepada Badan Pertanahan Nasional untuk membatalkan HGU tersebut.

Namun dalam perkara ini, ia seakan menyiratkan bahwa KWI tidak memiliki kewenangan apa pun.

“KWI bukan atasannya Keuskupan Maumere atau Keuskupan Maumere bukan subordinasi dari KWI. KWI hanya menjadi koordinator program-program tingkat keuskupan di seluruh Indonesia…”

“Pihak-pihak yang terkait masalah ini adalah PT Krisrama dengan beberapa masyarakat adat. Bentuk-bentuk pilihan penyelesaian masalah selalu diawali dengan dialog dan musyawarah,” ucap Romo Marten Jenarut kepada BBC News Indonesia (27/01).

Baca juga:

  • Sembilan petani yang dituduh mengancam proyek Bandara VVIP IKN dilepaskan dari rutan – ‘Kami hanya menuntut hak kami’

Kendati demikian dia mengatakan prinsip bisnis dalam gereja harus tetap dalam kerangka mendukung marwah gereja sebagai lembaga keagamaan.

“Pada prinsipnya ajaran sosial gereja menjunjung tinggi keadilan, kesejahteraan sosial, solidaritas, martabat manusia, dan keutuhan ciptaan,” papar Romo Marten.

Sementara itu, Kepala Suku Soge, Ignasius Nasi, berharap pemerintah berpihak pada masyarakat adat, bukan gereja atau perusahaan. Sebab tugas negara, katanya, sebagai pengayom yang memberikan perlindungan kepada warganya.

Wartawan Arnold Welianto di NTT berkontribusi untuk laporan ini.

Leave a comment