‘Orang bilang wajah saya gosong seperti terkena azab’ – Kosmetik ilegal mengandung merkuri, mengapa susah diberantas?
Industri kosmetik tumbuh pesat di Indonesia, namun peredaran produk perawatan kulit (skincare) ilegal yang mengandung bahan-bahan berbahaya seperti merkuri dan hidrokuinon masih marak dan “susah diberangus”.
Nur Tya, 31 tahun, nampak semringah saat ditemui pada Desember 2024 silam. Sesekali ia membetulkan jilbab yang membingkai wajahnya.
Tak terlihat ada rasa kikuk atau rendah diri, meski nyaris seluruh permukaan kulit wajah Nur berwarna lebih gelap dari bagian kulit lainnya.
“[Dulu] saya merasa malu kalau bertatapan dengan orang, apalagi harus berkomunikasi. Mereka memandang aneh dan bertanya, ‘Wajahnya kenapa, kok gosong? Kena azab ya?’,” kenang Nur.
Sehari sebelumnya, Nur terbang dari Samarinda, Kalimantan Timur, ke Jakarta untuk menjadi salah satu pembicara dalam acara komunitas Melanin Hero.
Komunitas yang diinisiasi oleh sejumlah perempuan yang menjuluki diri “beauty enthusiasts”—yang memiliki minat tinggi terhadap dunia kecantikan—ini mengampanyekan perempuan Indonesia untuk mencintai warna kulitnya.
Nur tak pernah membayangkan bisa tampil di depan orang banyak dan mengembalikan lagi rasa percaya dirinya yang bertahun lalu sempat hilang gara-gara kosmetik abal-abal.
Semua berawal pada 2013, saat dia membeli paket krim siang dan malam dengan embel-embel bleaching cream di sebuah pasar tradisional di Samarinda.
“Tujuan saya beli saat itu bukan untuk [membuat kulit wajah] putih. Tapi karena kulit saya belang terkena sinar matahari, niatnya hanya ingin meratakan warna kulit,” papar Nur.
Dia tak menyadari kalau paket krim wajah seharga Rp150 ribu itu sudah masuk daftar kosmetik berbahaya yang dilarang Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) karena mengandung merkuri.
BBC News Indonesia hadir di WhatsApp.
Jadilah yang pertama mendapatkan berita, investigasi dan liputan mendalam dari BBC News Indonesia, langsung di WhatsApp Anda.
Nur mengaku kulit wajahnya memang tampak lebih rata dan memutih setelah pemakaian beberapa bulan.
Ia melanjutkan pemakaian selama dua tahun dan berhenti setelah merasa krim itu tak memberikan efek lagi di wajahnya.
Namun sejak itulah “tahun-tahun terburuk” di hidup Nur dimulai.
Takut bertemu orang
“Awalnya muncul flek hitam, bintik-bintik di bagian pipi,” kata Nur, yang mengakui jarang memakai tabir surya.
Padahal, ibu tunggal ini sehari-hari bekerja menjual barang-barang elektronik rumah tangga dari rumah ke rumah, sehingga kerap terpapar sinar matahari.
“Setelah dibiarkan setahun, flek itu semakin melebar dan menebal sampai ke seluruh wajah,” ungkap Nur.
Perasaan malu dan tak percaya diri mulai menderanya. Tatapan mata dan pertanyaan-pertanyaan orang soal kulit wajahnya yang ‘gosong’ membuat Nur malas ke luar rumah.
Selama bertahun-tahun, Nur mengaku kerap mengurung diri di dalam rumah. Untuk mengurangi interaksi dengan orang lain, Nur beralih berjualan daring.
Itu pun, sebut Nur, sesekali dia harus berhadapan dengan kurir yang menjemput barang-barang dagangannya untuk dikirimkan.
“Saya buka pintu sedikit, menyodorkan barang, tidak bertemu muka. Sangking takutnya bertemu orang lain dan menghadapi pertanyaan mereka tentang wajah saya,” aku Nur.
Tiga tahun memendam permasalahan kulit sendiri, Nur memutuskan mencari bantuan profesional.
Pada 2019, Nur mendatangi sejumlah dokter kulit di Kota Samarinda, namun ia tak mendapatkan jawaban yang memuaskan.
“Ada dokter yang bilang kulit saya sulit disembuhkan, bahkan ada dokter yang berkata ini tidak bisa disembuhkan,” kenang Nur.
Satu dokter lain, kata dia, memvonis Nur menderita okronosis—sebuah kondisi kelainan kulit yang ditandai dengan munculnya pigmentasi atau flek berwarna biru kehitaman atau keabu-abuan.
Nur yang mengaku sudah habis puluhan juta rupiah untuk berkonsultasi, lagi-lagi merasa harapannya pupus.
Di benak Nur, tak mungkin lagi kulit wajahnya kembali seperti semula.
“Saya menatap cermin setiap hari, untuk memastikan kalau saya bisa menerima diri saya dengan baik, sebelum menunjukkan kepada orang banyak bahwa saya tidak apa-apa,” tutur Nur.
Krim murah yang merusak
Pada 2022, tuntutan ekonomi membuat Nur memutuskan untuk bergabung dengan program affiliate di media sosial TikTok.
Di platform itu, dia mempromosikan produk rumah tangga hingga perias wajah, dan mendapatkan komisi bila berhasil menarik pembeli.
Namun dengan menjadi affiliator, Nur harus membuat konten video yang menampilkan wajahnya.
Mulanya Nur merasa jengah, namun belakangan ia justru merasa keberadaannya di media sosial menjadi ajang untuk berbagi pengalaman.
“Ternyata konten saya bisa berguna, supaya orang lain tidak mengalami hal serupa seperti saya,” katanya.
Setidaknya lebih dari 150 orang mengirimkan pesan untuk Nur, bercerita tentang kondisi kulit wajah mereka yang bernasib sama seperti wajah Nur setelah memakai krim abal-abal.
Dari media sosial pula, Nur bertemu dengan dokter Maria Francisca atau dr Ika, content creator di TikTok dengan jutaan pengikut.
Dr Ika yang rutin membagikan tips dan edukasi tentang kosmetik dengan bahan berbahaya meyakini perubahan warna kulit Nur diakibatkan penggunakan kosmetik bermerkuri.
Keduanya kemudian bertemu secara langsung. Dari hasil pemeriksaan, dr Ika mengatakan optimistis kondisi kulit wajah Nur bisa diobati—meski butuh waktu lama.
“Pesan dr Ika, kulit saya ini bisa jadi bukan okronosis, melainkan terpapar sinar matahari. Masih ada harapan untuk sembuh,” ujar Nur dengan senyum mengembang.
Paparan sinar matahari yang intens, kata dr Ika kepada Nur, membuat kulit menjadi lebih gelap. Apalagi setelah memakai krim yang mengandung merkuri, tambahnya.
“Merkuri itu bisa merusak [lapisan] kulit, seperti eksfoliasi. Itu mengapa, kulit terlihat licin, seperti efek glowing,” kata dr Ika, seraya kembali menekankan bahwa bahan ini sangat beracun untuk manusia.
Dr Ika memang tak menjanjikan kulit Nur bisa cepat kembali seperti sedia kala.
“Minimal kulitnya sehat,” tukasnya.
Ia rutin mengecek kondisi kulit wajah Nur dan menyediakan produk-produk perawatan wajah yang aman bagi Nur secara cuma-cuma.
Setahun setelah pertemuan pertama dengan dr Ika, perjalanan Nur untuk menjadikan kulit wajahnya sehat masih terus berlangsung.
“Sebenarnya kulit bisa menyembuhkan diri sendiri, tapi kita harus bantu melindungi dari paparan sinar UV, polutan, dan radikal bebas,” terang dr Ika.
Perawatan kulit pun sebenarnya relatif sederhana, cukup dibersihkan dan dirawat dengan produk-produk dasar dengan bahan yang aman dan cocok.
Jika diestimasi, total nilai perawatan yang Nur jalani selama dua tahun terakhir bisa mencapai Rp20 juta.
“Krim abal-abal harganya murah, hasilnya instan, tapi akhirnya merusak wajah. Butuh puluhan juta untuk menyembuhkannya,” ucap dr Ika.
Apa itu merkuri dan bagaimana mendeteksinya dalam skincare?
Di media sosial, semakin banyak ahli kecantikan dan akun-akun pemengaruh yang memberikan edukasi tentang kosmetika berbahaya maupun overclaim—klaim yang berlebihan, tidak akurat atau menyesatkan..
Dalam beberapa tahun terakhir, nama-nama seperti DosenSkincare, dr Incognito, hingga DokterDetektif (Doktif) menjadi acuan netizen untuk memilih produk skincare yang aman.
Merkuri atau air raksa (Hg) adalah satu-satunya logam yang berbentuk cair dan berwarna keperakan.
Ia pernah digunakan secara luas dalam berbagai bidang, seperti pada termometer dan baromoter untuk mengukur suhu dan tekanan, hingga bahan pembuatan lampu.
Penggunaan merkuri dalam kosmetik dapat dirunut sejak abad ke-15. Royal Museum Greenwich mencatat Ratu Elizabeth I dari Inggris memakai ramuan campuran sulfur, terpentin, dan merkuri untuk memutihkan bintik hitam atau freckles.
Molekul kecil ini bila dipakai dalam skincare dapat menghambat pembentukan melanin atau zat warna tubuh.
“Padahal melanin penting untuk tubuh kita karena menjaga dari paparan sinar matahari,” terang Endang Lukitaningsih, ahli farmasi dari Universitas Gajah Mada.
Jika digunakan secara terus-menerus pada permukaan kulit, merkuri bisa meresap melalui pori-pori, masuk ke DNA, dan terperangkap di dalam tubuh.
“Akhirnya fungsi tubuh yang dibawa DNA itu akan menjadi abnormal, misalnya memicu kanker,” lanjut Endang.
Dokter Ika—yang telah mengumpulkan puluhan merek krim abal-abal yang dicurigai mengandung merkuri—bilang kita bisa mendeteksi kandungan berbahaya ini dalam kosmetik berbentuk krim dengan melihat teksturnya.
Ciri-ciri skincare mengandung merkuri antara lain:
- Krim kental dan terasa kelat. Merkuri yang merupakan logam tidak bisa menyatu dengan krim, sehingga harus ditambahkan bahan pengental.
- Sekilas bila disentuh—gunakan sarung tangan medis untuk menyentuhnya—akan terasa seperti keju mozzarela.
- Jika krim ini dioleskan ke kulit atau wajah, akan terasa sangat berminyak.
Tes di laboratioum akan mengonfirmasi secara pasti apabila kosmetik tertentu mengandung merkuri. Namun Endang berkata yang dilakukan dr Ika dan sejumlah ahli kecantikan juga penting agar masyarakat lebih berhati-hati dalam memilih kosmetik yang aman.
‘Ada penawaran dan permintaan’
Merek krim wajah yang dipakai oleh Nur pada 2013 lalu hingga kini masih dengan mudah bisa dibeli di pasaran, baik di toko-toko tradisional maupun lokapasar.
Dalam laman Cek Produk BPOM yang bisa menjadi acuan produk-produk kosmetik dengan kandungan berbahaya atau tak berizin edar, krim itu dilabeli mengandung merkuri dan telah dilarang sejak 2011.
Di laman yang sama, BPOM mendata ada 947 produk kosmetika atau perawatan tubuh yang dilarang beredar karena mengandung satu atau lebih dari 26 bahan berbahaya, mulai dari merkuri, hidrokuinon, timbal, hingga asam retinoat.
Selain merkuri, hidrokuinon adalah senyawa organik lain yang paling sering dipakai produsen skincare ilegal sebagai bahan pemutih kulit karena bisa menghambat produksi melanin.
Pemakaian hidrokuinon, kata dr Ika, harus dengan resep dokter dan dosis ketat. Penggunaan berkepanjangan bisa menyebabkan efek samping, seperti okronosis.
Jika bahan-bahan ini sangat berbahaya, mengapa masih banyak kosmetik abal-abal beredar di pasaran?
Menurut Kepala BPOM, Taruna Ikrar, produk-produk ini masih ada karena besarnya “penawaran dan permintaan” di tengah pasar kosmetik yang besar di Indonesia.
Riset Statista menyebut, pendapatan industri kecantikan dan perawatan pribadi di Indonesia diperkirakan mencapai hingga Rp157 triliun pada 2025, dengan pertumbuhan tahunan diprediksi sebesar 4,51%.
Peluang ini, sebut Ikrar, kemudian dimanfaatkan oleh para produsen krim abal-abal.
“Mereka tidak berpikir tentang legalitas, tidak perduli dengan merkuri atau hidrokuinon yang dilarang. Yang penting mempunyai efek cepat [memutihkan] dan dapat untung,” tukasnya saat ditemui BBC News Indonesia pada Desember 2024.
Akhir tahun lalu, BPOM menyita 235 jenis kosmetik ilegal dengan jumlah lebih dari 200.000 kemasan. Total nilai ekonominya ditaksir mencapai Rp8,9 miliar.
Sebagian besar kosmetik ilegal yang disita BPOM itu berasal dari China, ungkap Taruna.
Pada 17 Januari lalu, BPOM mengumpulkan sejumlah pemengaruh industri kosmetik dalam sebuah forum diskusi.
Dalam forum itu, Kepala BPOM Taruna Ikrar mengatakan mengapresiasi langkah para influencer ‘membongkar’ praktik kosmetik ilegal dan produk-produk yang overclaim.
Namun, dia juga mengimbau supaya laporan semacam ini melalui jalur resmi.
“Jangan langsung diumumkan ke masyarakat, karena yang memiliki otoritas untuk mengumumkan [kosmetik ilegal] adalah BPOM,” kata Taruna.
Pernyataan Taruna ini sempat disanggah salah satu peserta.
“Itu bermanfaat, karena publikasi hasil uji independen [bisa] menjadi tekanan kepada BPOM untuk menindaklanjuti indikasi produk overclaimed atau berbahaya,” ucap Syafik Amry atau @dosenskincare.
“Tidak perlu menekan BPOM untuk mengumumkan hasil uji lab independen, tanpa ditekan pun kami bertindak,” Taruna menanggapi.
Taruna juga menampik tuduhan instasinya kurang tegas melakukan pengawasan dan penertiban. BPOM, sebut dia, secara berkala menyita kosmetik-kosmetik ilegal dan melanjutkan ke ranah hukum.
“Bukan kami tidak bertindak, tapi kami memiliki keterbatasan sumber daya manusia,” kata Taruna.
Kritik lain muncul dari berbagai kalangan, termasuk praktisi kecantikan seperti dr Ika, soal hukuman yang dianggap ringan untuk para produsen dan penjual kosmetik abal-abal.
Taruna menyebut, sepanjang 2024 BPOM telah menangani 282 kasus terkait kosmetik ilegal, sebanyak 91 di antaranya berlanjut ke ranah hukum.
Namun, Mahkamah Agung mencatat ada setidaknya 22 putusan hukum terkait kosmetik ilegal dalam kurun waktu sama.
Dari daftar putusan itu, kebanyakan pelaku divonis satu bulan kurungan dan hanya satu pelaku diganjar satu tahun penjara.
Padahal, menurut UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, pelaku yang memproduksi dan mengedarkan kosmetik tidak memenuhi standar dapat dikenakan penjara paling lama 12 tahun atau denda paling banyak Rp5 miliar.
“Kewenangan itu bukan di BPOM, tapi kami bisa meminta jaksa untuk menuntut dengan hukuman yang setimpal, sesuai dengan aturan yang ada,” lanjut Taruna.
Tapi Taruna juga berpesan agar tindakan hukum tak lantas “membunuh nyamuk dengan basoka”, karena pemerintah juga “tidak ingin menghancurkan usaha rakyat”.
Pasar gelap kosmetik ilegal
Pada 1950-an, sebuah insiden keracunan merkuri terbesar dalam sejarah terjadi di Kota Minamata, Jepang.
Limbah dari sebuah pabrik pupuk yang mengandung merkuri mencemari air laut, lalu masuk ke rantai makanan melalui ikan dan kerang yang dikonsumsi penduduk setempat.
Akibatnya, ribuan orang menderita penyakit serius dengan gejala seperti kerusakan sistem saraf, tremor, kebutaan, kelumpuhan, hingga kematian.
Tragedi ini melahirkan Konvensi Minamata yang membatasi atau melarang penggunaan merkuri.
Indonesia meratifikasi konvensi ini melalui UU Nomor 11 Tahun 2017 tentang Pengesahan Minamata Convention on Mercury.
Pemerintah Indonesia juga mengendalikan peredaran merkuri dengan mengatur sistem perdagangan impor merkuri dengan Peraturan Presiden Nomor 21 Tahun 2019 tentang Aksi Nasional dan Penghapusan Merkuri.
Hingga kini, merkuri masih diimpor ke Indonesia sebagai sediaan bahan kimia untuk industri non kosmetik seperti bahan katalisator kimia.
“Seharusnya rantai distribusi merkuri sampai ke industri yang diperbolehkan saja, tapi ini ada yang diselewengkan sedikit demi sedikit,” ujar ahli farmasi Endang Lukitaningsih.
Untuk mengilustrasikan betapa mudahnya bahan berbahaya seperti merkuri sampai ke tangan masyarakat awam, BBC News Indonesia menelusuri sejumlah platform lokapasar untuk menemukan sejumlah penjual paket ‘bahan baku untuk meracik sendiri’ kosmetik di rumah.
Salah satu penjual menawarkan paket kiloan bahan baku dan resep seharga Rp6 juta. Target pasarnya adalah industri rumahan. Penawaran serupa dengan harga beragam berseliweran di lokapasar.
Tak jelas dari mana para penjual ini mendapatkan bahan baku tersebut, namun bila kosmetik diproduksi secara rumahan, bisa jadi produk yang nantinya dijual tak sesuai standar ijin edar.
Selain yang masuk secara resmi, merkuri dan kosmetik dengan kandungan berbahaya juga masuk Indonesia melalui ratusan “jalur gelap”.
BPOM mengungkap, setidaknya ada 53 jalur gelap di Batam untuk menyelundupkan bahan baku dan produk-produk ilegal. Belum lagi indikasi ratusan jalur gelap di perbatasan Malaysia di Kalimantan.
“Jalur-jalur gelap itu jauh dari jangkauan BPOM. Sudah ada beberapa kriteria penindakan yang diambil, tapi jarang ada penindakan sampai ke sarana produksi,” tuduh Endang.
Menanggapi kritikan ini, Taruna mengatakan pihaknya tak bisa bertindak sendiri.
“Harus lintas sektoral. Tahun 2025 ini kami fokus menindak jalur bahan baku kosmetik ilegal,” janjinya.
Saling tuding pemilik brand dengan maklon
Pengujung 2024 lalu, BPOM Makassar bersama Kepolisian Daerah (Polda) Sulawesi Selatan mengungkap dugaan kosmetik yang mengandung bahan berbahaya pada tiga perusahaan skincare di Kota Makassar.
Tiga orang ditetapkan sebagai tersangka, yakni pemilik MH Cosmetic, Mira Hayati, pemilik Raja Glow, Agus Salim, dan suami pemilik Fenny Frans, Mustadir Daeng Sila.
Polisi juga melarang peredaran enam jenis produk yang mereka produksi. Ketiganya diduga melanggar UU Perlindungan Konsumen dan UU Kesehatan.
Jika terbukti bersalah, Kepala BPOM Makassar Hariani memastikan ketiganya akan dikenai sanksi.
“Kami bisa membatalkan sertifikasi CPKB (Cara Pembuatan Kosmetik yang Baik) mereka, dengan begitu mereka tidak bisa memproduksi kosmetik seperti itu lagi,” kata Hariani kepada BBC News Indonesia.
Sedikitnya ada 12 aspek sistem mutu yang harus dipenuhi pengusaha skincare untuk mendapatkan sertifikasi CPKB, mulai dari bangunan dan fasilitas pabrik yang layak hingga pengawasan mutu produk.
Pada Selasa (20/01), polisi melakukan penahanan terhadap Mustadi, sementara Mira dan Agus belum ditahan karena alasan kesehatan.
Dalam keterangan sebelumnya, Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Sulsel Kombes Dedi Supriyadi menyatakan berkas perkara salah satu kasus ini harus dikirimkan ke Kejaksaan Tinggi Banten.
Pengacara Fenny Frans, Andi Raja Nasution, mengatakan kliennya melakukan kerjasama dengan sebuah maklon yang berlokasi di Tangerang, Banten.
Sampel yang dites BPOM dan terbukti mengandung merkuri itu, kata Andi, diproduksi oleh maklon itu.
“Kami tidak pernah tahu secara teknis bahan-bahan apa saja yang terkandung di dalam produk kosmetik tersebut,” ungkap Andi.
Maklon adalah istilah yang digunakan dalam industri manufaktur untuk merujuk pada layanan kontrak produksi yang dilakukan oleh pihak ketiga.
Pemberi subkontrak—dalam hal ini adalah pengusaha skincare—memesan kepada maklon untuk dibuatkan produk. Biaya yang harus dikeluarkan bergantung pada jasa yang dipesan.
Maklon bisa memproduksi dengan formulasi dari pengusaha, bisa juga menyediakannya untuk klien.
Jasa lain yang bisa diberikan maklon mencakup sertifikasi sesuai ketentuan Indonesia, seperti serifikat halal, izin BPOM, hingga hak paten kosmetik.
“Untuk bisa mendapatkan nomor BPOM, maklon yang resmi harus punya surat kontrak yang jelas. Tentu, bahan-bahannya harus sesuai seperti yang diatur BPOM,” kata Endang.
Kementerian Perindustrian menyebut, maklon menjadi salah satu unsur yang mendorong pertumbuhan industri kosmetik Indonesia.
Keberadaan mereka mempermudah pengusaha skincare lokal, sehingga mereka tak perlu membuat pabrik sendiri.
Plt. Dirjen Industri Kimia, Farmasi dan Tekstil, Kementerian Perindustrian, Reni Yunita, mengatakan persyaratan maklon sangat ketat. Produk yang dihasilkan maklon juga otomatis sudah memiliki izin edar.
“Semakin banyak maklon, justru semakin mempermudah para pelaku usaha,” ujar Reni.
Namun di lapangan, bermunculan maklon-maklon ilegal yang justru menyumbang peredaran kosmetika berbahaya ke masyarakat.
“Itu yang harus kita berangus, meskipun sulit melacaknya,” tukas Reni.
‘Penyusup’ dalam industri kosmetik
Menurut Endang Lukitaningsih, industri kosmetik sebenarnya tidak begitu rumit. Yang terpenting, perusahaan pemroduksi dan maklon sudah memiliki sertifikat Cara Pembuatan Kosmetik yang Baik (CPKB).
Dengan begitu, kata dia, BPOM bisa mengawasi proses pembuatan CPKB hingga pengawasan berkala terhadap perusahaan kosmetik.
“Pemeriksaan dengan mengumpulkan sampel produk yang dijual,” kata Endang. Bila ditemukan ada kandungan berbahaya, tindakan hukum dilakukan pada produsen.
Namun, Endang juga menambahkan, banyaknya jenis produk kosmetik di pasaran membuat metode pemeriksaan sampel kurang efektif.
“Sekarang produknya banyak, dan bisa jadi sampel [yang diambil] tidak mewakili suatu produk secara keseluruhan,” kata dia.
Kosmetik juga sekarang menjadi komoditas ‘fast moving’ atau peredarannya sangat cepat. Jika stok yang dijual sudah habis dibeli masyarakat, kata Endang, “jejaknya sudah tidak ada”.
Praktik kosmetik ilegal sudah terjadi dalam beberapa dekade terakhir, menurut Endang.
Bermula dengan modus memalsukan produk kosmetik, namun lama-kelamaan dengan menambahkan bahan-bahan berbahaya yang bisa memberi efek instan pada kulit.
Endang khawatir, pada masa mendatang masyarakat akan sulit membedakan mana produk yang berbahaya dan mana yang aman.
“Ini seperti uang palsu. Semakin canggih diproduksi, sehingga kita tidak bisa lagi membedakan,” ujarnya.
Belum lagi, menurut Endang, kesadaran untuk melaporkan efek samping kosmetik nyaris tidak ada.
“Masyarakat yang mengalami efek buruk kosmetik bingung harus lapor ke mana,” kata Endang, sambil menambahkan regulasi kosmetik tak seketat obat.
Apalagi, efek samping kosmetik bisa terjadi secara periodik, baru terasa lama setelah pemakaian. Seperti yang terjadi pada Nur Tya.
Sebagai orang awam, Nur tak tahu-menahu soal jalur gelap kosmetik ilegal maupun masalah maklon nakal. Dia pun tak pernah menyangka secepuk krim yang dibeli di pasar bisa merusak wajahnya hingga menahun.
“Rasa marah dan kecewa itu ada. Tapi sebagai penyintas kosmetik abal-abal, saya hanya berharap yang terjadi pada saya, tidak terjadi ke orang lain.”
Produksi video oleh jurnalis video Anindita Pradana, Dwiki Marta, dan Oki Budhi. Wartawan Darul Amri di Makassar berkontribusi untuk artikel ini.
Baca juga:
- Kosmetik bermerkuri ‘ilegal’ dan ‘berbahaya’ masih beredar di lokapasar, mengapa sulit diberantas?
- Di balik meledaknya bisnis kecantikan yang peduli pada kesehatan mental, komunitas, dan Bumi
- Rahasia di balik kesuksesan produk kecantikan Korea
Baca juga:
- Sejumlah tips kecantikan di TikTok disebut ‘berbahaya’ oleh pakar kesehatan
- Mengapa industri kecantikan bergairah dan siapa yang mempengaruhi tren ini?
- Kosmetik dari industri minyak sawit berkelanjutan, bisakah jadi solusi?
Baca juga:
- ‘Jerawat kronis mengilhamiku untuk membangun perusahaan perawatan kulit sendiri’
- Dari kulkas hingga kosmetik: Sertifikasi halal untuk tren bisnis atau kapitalisasi agama?
- Apakah zaman sekarang make-up pria jadi populer?
Baca juga:
- Pemutih kulit: Bisa sebabkan kerusakan kulit dan ginjal, mengapa jutaan perempuan tetap memakainya?
- Tercemar merkuri, kerang hijau dari Teluk Jakarta ‘sebabkan kanker’
- Traktat polusi merkuri ditandatangani
Baca juga:
- Kylie Jenner: Bagaimana bintang remaja ini mendirikan kerajaan kosmetik
- Krim Fair & Lovely akan ganti nama setelah dianggap ‘sebabkan stereotip negatif pada warna kulit gelap’
- Amankah tabir surya yang kita pakai?