Petualang Cinta Itu Bernama Eduard Douwes Dekker Sang Multatuli
[CUKILAN BUKU]
Jika berbicara tentang Eduard Douwes Dekker alias Multatuli, yang selalu diingat adalah buku monumentalnya, Max Havelaar. Tapi dari surat-surat surat-surat yang diterbitkan oleh istri keduanya, judulnya Liefdesbrieven, kita tahu bagaimana cerita asmaranya dengan beberapa wanita.
Cukilan Buku ini pertama tayang di Majalah Intisari edisi Mei 1988 dengan judul “Multatuli dan Wanita”
—
Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini
—
Intisari-Online.com – Eduard Douwes Dekker (1820-1887) menjadi lebih terkenal sebagai Multatuli setelah Max Havelaar diterbitkan tahun 1860. Buku itu hanya salah satu dari sekitar sepuluh buku yang pernah ditulisnya.
Dia juga menulis beberapa naskah sandiwara dan banyak karya tulis lain, selain surat-surat yang panjangnya cukup untuk mengisi buku kecil.
Surat sepanjang itu sering dikerjakannya sampai berminggu-minggu atau bahkan berbulan-bulan. Suratnya ada kalanya dijadikan dasar untuk menulis buku.
Surat yang ditulisnya tahun 1851 di Manado dan dikirimkannya kepada temannya, Kruseman, di Haarlem (Belanda), mirip sekali dengan buku Max Havelaar.
Sebelum Max Havelaar diterbitkan, Dekker sudah menulis ratusan surat. Everdine atau Eefje yang sering disuratinya pada 1845 dan 1846 adalah Everdine Huberte, barones van Wijnbergen — kelak menjadi istri pertama Dekker.
Mereka bertunangan pada tanggal 18 Agustus 1845 dan menikah pada 10 April 1846. Setelah menikah, Dekker menyebutnya Tine, nama yang juga muncul dalam Max Havelaar.
Dekker berkenalan dengan Tine ketika dia sedang menunggu lowongan baru di Batavia dan Buitenzorg, setelah mengalami masa sulit di Sumatera Barat. Tine anak yatim piatu yang miskin.
Bersama dua saudara perempuannya dia dibawa ke Jawa oleh wali mereka dan menetap di Parakan Salak. Mengapa Dekker sampai dipecat dari kedudukannya di Sumatera (menurut versi Dekker) akan dikemukakannya dalam salah satu suratnya kepada calon istrinya.
Ketika bertunangan Eefje sudah hampir berumur 26 tahun — setengah tahun lebih tua dari Dekker. Di Parakan Salak, Dekker belum mempunyai kesempatan untuk lebih mengenal tunangannya, sehingga lewat surat-suratnya dia ingin lebih memperkenalkan dirinya kepada calon istrinya itu.
Selain itu dia juga ingin mengemukakan pandangannya tentang Indonesia.
Dekker juga banyak menceritakan pengalamannya berkelana mencari lowongan. Tak heran kalau Dekker tidak terlalu disambut baik dalam keluarga Eefje. Soalnya, dia hanya pegawai negeri yang mendapat uang tunggu.
Surat dinding
Dalam salah sebuah suratnya dia bercerita tentang pengalamannya ke Purwakarta dari Buitenzorg.
“Saya meminta kuda dari pemerintah, karena kuda yang saya bawa dari Batavia sakit setiba di Buitenzorg. Setelah berjalan setengah pal, kuda pembantu saya jatuh. Saya minta dia mengembalikannya ke Buitenzorg.
Pembantu itu saya suruh naik kuda saya dan saya sendiri berjalan kaki meneruskan perjalanan. Jarak Buitenzorg-Karawang kalau ditarik garis lurus tidak terlalu jauh, tetapi jalannya berkelok-kelok. Kami berdua harus melewati Ciluar, Citeureup, Cileungsi dan Bekasi sebelum tiba di Karawang.
Sebetulnya saya berharap akan mendapat kuda yang lebih baik di kantor pemerintah di Citeureup. Ternyata di sana tidak ada orang.
Saya meminta secangkir teh kepada pembantu, tetapi dia tidak berani memberi. Sore hari saya tidak bisa meneruskan perjalanan lagi (waktu itu saya kurang enak badan).
Saya pun berhenti di rumah seorang pribumi. Di situ saya diberi air hangat dan nasi. Saya tidur beberapa jam di atas balai-balai.
Waktu akan meninggalkan tempat itu, saya memberi bon yang bisa diberikannya kepada Van Rees di Bogor (saya tidak membawa uang). Saya meneruskan perjalanan walaupun saya basah kuyup kehujanan.
Saya berharap bisa tidur di Cileungsi. Pukul 19.00 saya tiba di sebuah rumah yang indah, setelah menyeberangi rawa dan sawah.
Saya meminta pembantu menyampaikan kepada majikannya bahwa ada seorang tuan yang datang untuk bermalam. Setelah duduk lama di depan, pembantu itu kembali dan berkata:
‘Maaf Tuan, nyonya sendirian di rumah. Dia tidak bisa menerima Anda.’
‘Tolong katakan kepada Nyonya bahwa saya sangat lelah dan agak sakit. Saya sudah berjalan 26-28 pal dan tidak tahu harus bermalam di mana. Saya bisa tidur di atas tikar di belakang.’ Namun, jawaban yang saya terima sama seperti tadi.
Hati saya panas. Saya katakan kepada pembantu itu bahwa saya ingin menulis pesan kepada Tuan Arnold.
Pesan itu akan saya tulis di dinding. Pembantu itu mungkin mengira saya sinting. Saya minta dia memegang lampu supaya saya bisa menulis saja di atas tiang dengan huruf besar-besar. Saya berpesan supaya tiang itu jangan dia bersihkan sebelum tuannya membaca.
Saya malu terhadap pembantu saya. Seorang pribumi mendekati saya (mungkin mandor penjaga). Dia menawarkan saya untuk tidur di rumahnya.
Di situ saya masih sempat membaca buku (yang selalu saya bawa) di bawah sinar lampu teplok. Setelah makan nasi, saya tidur di atas balai-balai. Pukul 04.00 saya berangkat lagi.
Malam harinya saya sampai di Cikarang dan tidur di rumah penduduk lagi. Pukul 04.00 kami berangkat.
Karena banyak berjalan dan karena kulit sepatu mengeras oleh panas, kaki saya melepuh. Saya terpaksa meneruskan perjalanan dengan kaki telanjang. Kami kemudian sampai di jalan besar Batavia-Karawang.
Kami beristirahat di tempat tuan tanah Van de Braeke, di Gedong Gede. Letaknya di pinggir Sungai Citarum, di perbatasan Batavia-Karawang.
Sebetulnya tuan rumah sedang pergi, tetapi saya diterima dan diberi kuda yang baik. Kami menyeberangi sungai dengan getek sambil membawa kuda. Satu setengah jam kemudian saya sampai di Karawang.
Rumah residen di Purwakarta masih 29 pal dari situ. Saya meneruskan perjalanan sejauh 7 pal ke Gintung. Malam itu saya ditawari menginap di rumah kontrolir kelas tiga, Dupui, biarpun hanya ada istrinya di rumah.
Rupanya Ny. Dupui mendapat instruksi lebih baik daripada Ny. Arnold. Tawaran itu saya terima dengan senang hati, karena dua alasan: pertama karena saya merasa perlu beristirahat sejenak; kedua saya ingin melihat kebun kayu manis di situ.
Kebetulan administratur sebuah perkebunan swasta di sekitar situ, Tuan Ruhle, harus ke Purwakarta keesokan harinya, sehingga saya bisa ikut. Jalan dari Gintung ke Purwakarta lebar dan lumayan halus.
Karena kami naik bendi yang ditarik dua ekor kuda, kami cepat sampai. Saya pergi ke tempat asisten residen, tetapi dia sedang sakit. Dia tidak bisa menemui saya, tetapi memberi perintah kepada pembantunya untuk menunjukkan kamar saya yang sudah rapi.”
(Dekker akan ditempatkan sebagai pegawai negeri dengan uang tunggu di situ).
Cateau yang malang
“Sekarang sedikit laporan tentang siapa saja yang tinggal di Purwakarta. Saya telah berkunjung ke komis, Tuan Permentier. Dia berkeluarga. Di rumahnya tinggal juga seorang wanita muda Nona (Cateau) Teunisz, putri seorang kapten infanteri pensiunan. Sepintas lalu dia kelihatan cantik, tetapi moga-moga dia jelek pada siang hari. Kalau tidak, sulit bagi saya untuk tidak memacarinya. Jika pun terjadi, saya akan memberi laporan secara terus terang.”
Dalam surat berikutnya dia menulis sbb:
“Saya sungguh kasihan kepada gadis itu. Tambah lama dia tambah jelek di mata saya. Saya hanya ingin membantunya. Coba pikir. Ke mana dia harus pergi dan pada siapa bisa meminta bantuan? (Rupanya Cateau tidak disukai nyonyanya, Red,). Saya tidak bisa mengajaknya berjalan-jalan, karena cuaca buruk. Saya ingin bertanya tentang masa depannya.“
“Pada kesempatan mengobrol berikutnya Cateau bercerita bahwa dia sudah meminta keluarga lain untuk mau menampungnya, tetapi dia tidak mendapat jawaban. Dia meminta bantuan kepada seorang nyonya lain yang juga menolak. ‘Percayalah, Everdine, saya bilang kepadanya bahwa saya sudah bertunangan, supaya dia jangan mempunyai harapan yang bukan-bukan.“
Dalam surat tanggal 29 Oktober 1845, Dekker antara lain menulis:
“Cateau diusir Ny. P dan harus pergi tanggal 20 November. Dia tidak tahu harus ke mana. Sekarang dia minta pertimbangan saya.” (Supaya tidak dicurigai Everdine, Dekker menyembunyikan surat-surat yang ditulisnya kepada Cateau, Red).
Namun, permulaan November Cateau sudah bentrok dengan Ny. P, sehingga dia diusir saat itu juga. Ke mana dia harus pergi? Ayahnya ada di Batavia, tetapi belum bisa menerimanya.
“Dia meminta nasihat saya. Saya serba sulit, karena takut memberi terlalu banyak perhatian. Begitu saja, saya sudah dituduh berpacaran dengannya. Saya berterus terang kepada Permentier bahwa tuduhan itu tidak benar. Mereka tidak percaya. Karena itu dari luar saya sekarang berpura-pura jauh, tetapi saya terus mendapat surat dari Cateau yang menceritakan keadaannya.“
Surat cakar ayam
“Sebagian suratnya tidak bisa saya baca, karena seperti cakar ayam. Rupanya dia tidak mendapat pendidikan yang cukup. Andaikata saya tidak agak jatuh cinta kepadanya saya akan segan membaca surat-surat picisan seperti itu. Anda bisa mengerti perasaan saya. Dengan susah payah keluarga P bisa dibujuk agar memperlakukannya dengan baik, selama dia masih di situ. Namun, dia tetap harus pergi.“
“Dalam surat terdahulu saya meminta pengertianmu dalam hal Cateau. Alasannya karena waktu itu ada kemungkinan saya harus mengantarkannya ke Batavia. Untung akhirnya tidak perlu. Andaikata benar nama baiknya akan tercemar, ayahnya sendiri akan menuduhnya yang bukan-bukan. Asisten residen (pria tua) beberapa hari lagi akan membawanya dan saya bebas dari krisis. Di mana Cateau akan tinggal di Batavia, dia sendiri belum tahu.“
Bekalnya hanya buku
“Tanggal 27 November Cateau masih ada di Purwakarta. Dia tidak jadi pergi dengan asisten residen. Dia menunggu kesempatan lain untuk ke Batavia, yang jarang ada. Akhir-akhir ini hubungannya dengan keluarga tempat dia tinggal bertambah panas. Dia diminta pergi secepat mungkin. Kalau ia bertanya apa kesalahannya, dia mendapat jawaban, ‘Pokoknya, saya benci.‘”
Akhirnya tanggal 10 Desember Cateau berangkat juga. Dia akan diantarkan Permentier dengan bendi sampai ke Gedong Gede. Dari situ dia akan naik tandu ke Batavia.
“Bayangkan Cateau tidak bisa berbahasa Melayu dan tidak mempunyai uang. Jarak Gedong Gede-Batavia hampir 50 pal. Entah di mana dia harus menginap di perjalanan. Dia tidak mau menerima uang, tetapi hanya meminta buku untuk dibaca di perjalanan.“
Setelah Permentier pulang, ternyata Cateau bertemu dengan Tuan Dupui yang waktu itu kebetulan berada di Gedong Gede bersama istrinya. Cateau diajak ke Gintung, 20 pal dari Purwakarta.
Mendengar berita itu Dekker berangkat ke Gintung dengan kuda. Baru dua jam berjalan, turun hujan lebat. Waktu itu Dekker membawa uang kertas f 1.100 untuk kontrolir di Gintung. Takut uang kertas itu rusak, Dekker berhenti di warung tempat kuli-kuli berteduh. Dia meminta uangnya dibungkus dengan daun.
Setiba di Gintung, Cateau senang melihat Dekker datang, tetapi Ny. Dupui, gadis Indo tulen, kelahiran Karawang, hampir tidak menyapanya.
“Ketika saya mendapat kesempatan berbicara berdua dengan Cateau, saya bertanya apakah saya bisa membantu. Dia menjawab bahwa dia perlu uang. Saya berangkat dini hari supaya saya bisa sampai pagi-pagi. Setelah berpakaian lengkap saya mengetuk pintu Cateau. Saya menciumnya dan untuk pertama kali saya tahu bahwa saya harus menyerahkannya kepada nasib. Saya yakin dia tidak peduli, biarpun dia terharu. Saya tidak pamit kepada orang lain lagi.“
Ingin menjadi bandit
“Saya sudah sering menulis bahwa saya sedih karena ketimpangan antara kemauan dan kekuasaan saya. Saya bisa main Rodolphe, andaikata saya mempunyai uang. (Buku kesayangan Dekker ialah Les Mystere de Paris karya Eugene Sue. Rodolphe adalah peran utama dalam buku itu, yang selalu berbuat benar menurut keyakinannya sendiri).
Sekarang apa yang bisa saya perbuat. Di mana-mana saya melihat kesengsaraan, tetapi tidak bisa membantu. Melihat ketidakadilan, tetapi tidak bisa menghukum. Di mana-mana ada penindasan, tetapi saya tidak bisa membela.
Mengapa saya harus merasakan nasib orang lain tanpa bisa membantu? Andaikata tujuan menghalalkan cara, saya akan menjadi bandit, supaya bisa berkuasa dan kekuasaan itu akan saya pakai untuk tujuan baik.“
Sebetulnya bisa dimengerti kalau keluarga Everdine berkeberatan anak asuhnya menikah dengan Dekker, biarpun Dekker orang yang berterus terang. Kalau suratnya diberi tanda salib, itu berarti dia sedang mabuk dan hal itu sering terjadi.
Dalam surat-suratnya kepada Everdine maupun wanita pengagum lain, Dekker sering menceritakan hubungannya dengan para wanita lain. Sampai-sampai para nyonya Belanda keberatan kalau pembantu ‘impornya’ terlalu banyak mengobrol dengan Dekker yang dianggap mata keranjang.
Everdine ternyata masih mempunyai uang di Belanda. Menjelang pernikahannya, Dekker menyarankan agar uang itu dikirim ke Indonesia (Hindia Belanda).
Rupanya hal itu ditentang oleh sanak keluarga Everdine. Dekker marah, karena tidak dipercaya. Dalam salah satu suratnya dia minta Everdine jangan percaya pada omongan orang lain.
Konon hubungannya dulu dengan Caroline Versteegh bubar gara-gara omongan orang lain. Saking marahnya, Dekker memaki-maki ayah Caroline yang datang ke Batavia. Kemudian Dekker menyesal, tetapi sudah terlambat.
Kas tekor
Dalam surat-suratnya kepada Tine dia berusaha meyakinkan tunangannya itu bahwa dia bisa dipercaya dalam soal keuangan.
“Mungkin saya lebih tahu nilai uang daripada orang yang selalu hidup berkecukupan. Ketika saya mengalami masa sulit di Batavia, saya tidak pernah meminta bantuan kepada orang lain, walaupun saya hidup di antara orang-orang yang berada.
Selama 28 bulan saya harus hidup dari penghasilan yang kurang dari 30 gulden sebulan. Waktu itu saya bisa tetap bisa menjadi anggota Societeit Harmonie dan mempunyai abonemen opera.
Betul saya mempunyai utang, tetapi saya berterus terang. Ketika saya berangkat dari Natal (Sumatera, Red.), saya menjual seluruh milik saya, yang saya beli dengan harga sekitar f 600.
Beberapa gelintir orang Eropa dan para pemuka pribumi di Sumatera membeli barang-barang saya dengan harga jauh lebih tinggi, sehingga saya menerima f 2.469. Saya mencatat kebaikan hati mereka dan akan membalasnya sekali waktu.
Anda mungkin akan bertanya mengapa saya perlu uang? Saya kecurian. Apakah saya kehilangan uang itu karena kecerobohan? Saya kalap, ketika membaca iklan dalam koran bahwa bekas pacar saya menikah dengan orang lain.
Kas sebanyak f 100.000 saya serahkan begitu saja kepada seorang juru tulis pribumi. Kemudian saya dituduh mencuri ketika uang di kas tidak cocok dengan catatan. Jenderal Michiels menyarankan agar saya meminta ampun dan menyebutkan siapa yang menerima uang itu. Saya menolak. Saya diskors.
Setahun saya hidup di Padang dari hasil penjualan pakaian saya. Saya kelaparan, tetapi tidak mau meminta ampun dan tidak mau menyebut nama siapa pun.
Saya diancam akan dituntut sebagai kriminal. Saya tetap tutup mulut. Andaikata Gubernur Jenderal Merkus masih hidup, saya akan mendapat penghargaan. Dia tahu segalanya.
Dia berada di Surabaya ketika dia menerima surat saya yang terakhir. Langsung datang perintahnya untuk mencabut tuntutan terhadap saya.
Saya pun boleh berangkat ke Jawa. Saya bahkan mendengar dari sumber yang bisa dipercaya bahwa dia akan pergi sendiri ke Sumatera, tetapi dia keburu meninggal.
Sekarang persoalan itu sudah beres. Saya sudah membayar kekurangan uang kas dan saya dijanjikan akan mendapat tempat baru. Kedudukan baru itu telah saya usahakan dengan pergi ke sana-kemari, menulis surat dan melamar. Selama itu saya hidup dalam keterbatasan. Sekarang saya dituduh tidak tahu nilai uang.“
Dekker baru bisa menikahi Everdine ketika dia mendapat kedudukan tetap. Mereka menikah tanggal 10 April 1846 dan sebulan kemudian, 18 Mei, dia diangkat menjadi komis di kantor residen di Bagelen, Purworejo, Jawa Tengah.
Lahirnya korps wanita ala Dekker
Namun, pernikahan itu tidak mengakhiri “petualangannya”. Setelah Buku Max Havelaar dan Minnebrieven diterbitkan, banyak gadis yang ingin berkenalan secara pribadi dengan penulisnya.
Hal seperti itu sering terjadi pada penulis roman dan sajak melankolis. Penggemarnya saling berkenalan dan diikutsertakan dalam Legioen voor Insulinde (Legiun untuk Hindia Belanda), semacam korps wanita yang harus membantunya dalam rencana mengubah Hindia Belanda.
Salah seorang penggemarnya itu adalah Maria Frederika Cornelia Hamminck Schepe, yang umurnya hampir dua puluh tahun lebih muda dari Dekker.
Gadis yang kemudian disebut Mimi itu rupanya tidak mudah dirayu begitu saja menjadi anggota legiun seperti gadis-gadis lain. Dekker harus berjuang lebih keras untuk membujuknya dibandingkan waktu dia harus menaklukkan Everdine.
Mimi ingin mempertahankan kebebasannya. Dia ingin dialah yang memegang prakarsa. Ditambah lagi ayah Mimi sama sekali tidak setuju putrinya berhubungan dengan Dekker.
Namun akhirnya, Januari 1866 Dekker dan Mimi pergi juga ke Jerman. Mereka tinggal beberapa tahun di sana dan akhirnya menentukan masa depan sendiri.
Mimi mendapat warisan dari ibunya, tetapi uang itu digunakan untuk mengadu nasib di Kasino Homburg. Secara finansial rezekinya tidak bertahan lama, tetapi hubungan Mimi dan Dekker bertahan seumur hidup.
Komune yang gagal
Pada April tahun 1866, tahun Dekker memboyong Mimi ke Jerman, Tine “mengungsi” ke rumah seorang teman wanita di Italia, karena ia diburu-buru penagih utang di Brussel dan Amsterdam.
Beberapa tahun kemudian (dengan uang Mimi lagi) Dekker mencoba mendirikan semacam komune di Den Haag. Dekker tetap terombang-ambing antara cinta membara terhadap Mimi dan cinta penuh kasih sayang terhadap Everdine serta anakanaknya.
Eksperimen di Den Haag itu gagal. Tak lama kemudian Mimi dan Dekker kembali ke Jerman. Tine serta anak-anaknya menuju ke Italia. Setelah Tine meninggal tahun 1874, Dekker menikah dengan Mimi, yaitu pada tanggal 1 April 1875.
Eduard Douwes Dekker meninggal tahun 1887. Saat itu Mimi telah hidup bersamanya lebih dari dua puluh tahun. Mimi baru meninggal 43 tahun kemudian.
Setelah suaminya meninggal, Mimi tetap mengabdi pada Multatuli. Tahun 1890 dia mulai menerbitkan surat-surat Multatuli.
Ketika surat-surat itu baru terbit, banyak yang mengkritik tindakannya. Soalnya, surat-surat itu sangat pribadi dan ada orang yang namanya disebut dengan jelas.
Yang dimuat singkatannya pun bisa diurut siapa orangnya dan mereka masih hidup. Dua anak Douwes Dekker agak menyesalkan bahwa surat-surat kepada ibu mereka diterbitkan tanpa izin mereka, namun mereka tidak pernah menuntut ibu tiri mereka ke depan pengadilan.
Ada cukup matahari di lapangan
Tujuan Mimi menerbitkan surat-surat itu adalah untuk menjunjung tinggi nama suaminya. Namun, Mimi pasti bukan janda penulis satu-satunya yang memanipulasi tulisan warisan suaminya.
Yang terutama dilakukan Mimi adalah memanipulasi posisinya sendiri terhadap Multatuli. Surat-surat yang ditulis dalam masa mereka masih pacaran tidak ada (antara Agustus 1863 dan Mei 1864).
Mungkin dia ingin menyembunyikan peran aktifnya. Selain itu dia juga mencoret keterlibatan wanita-wanita lain dalam kehidupan Multatuli. Soalnya, juga dalam surat-suratnya kepada Mimi, Dekker tidak menyembunyikan wanita-wanita lain dalam hidupnya.
Yang tetap dipertahankan adalah Tine. Namun, Tine memang tidak berbahaya bagi Mimi. Dengan coretan-coretan itu Multatuli kelihatan lebih munafik dalam soal cinta daripada sebenarnya.
Pada saat dia menulis surat cinta berapi-api kepada Mimi, banyak orang tahu bahwa dia menjalin hubungan intim dengan Charlotte de Graaff dan Franciska Post.
Dalam masa itu dia juga dekat dengan Marie Anderson, Sietske Abrahamsz, Mathilde, Mina Deiss dan mungkin juga dengan saudara Mimi, Annette, dan beberapa gadis lain yang juga termasuk dalam Legioen voor Insulinde.
Sebetulnya Multatuli dalam surat-suratnya kepada Mimi cukup berterus terang tentang hubungannya dengan wanita lain.
Misalnya dengan siapa dia berjalan-jalan di bawah bulan purnama. Namun, terhadap mereka Dekker juga berterus terang bahwa dia mencintai Mimi dan membicarakan segala sesuatu dengannya.
Nama yang banyak dicoret Mimi ialah Marie Anderson. Mungkin karena bekas teman itu kemudian mempunyai hubungan agak tegang dengan Mimi.
Namun, dalam dalam buku Uit Multatuli’s leven (Dari Kehidupan Multatuli), yang ditulis tahun 1901 oleh Marie Anderson, wanita itu mengatakan bahwa dia tidak pernah cemburu terhadap Mimi.
“Ada cukup matahari di lapangan,” katanya.
Beberapa ratus surat yang ditulis Multatuli kepada Marie antara tahun 1865-1866 rupanya dimusnahkan. Selama hidupnya Multatuli dan Marie berteman karena Marie juga tinggal di Jerman. Marie sering mengunjungi Multatuli dan Mimi.
Dari kumpulan surat-surat itu kita mungkin bisa lebih menilai Eduard Douwes Dekker yang sebenarnya, yang pada tahun lalu genap seabad meninggalkan dunia ini.