Informasi Terpercaya Masa Kini

Gigihnya Dulrasu, Jalan Kaki dari Magrib hingga Subuh Jual Sapu Ijuk

0 5

SUMENEP, KOMPAS.com – Adzan Maghrib baru usai berkumandang. Suasana di perempatan jalan Sludang, Desa Kolor, Kecamatan Kota, Kabupaten Sumenep, Jawa Timur, terasa begitu lengang.

Sesekali, suara kendaraan yang melintas seolah memecah kesunyian dan cahaya lampu jalan yang temaram.

Mayoritas pengendara yang melintas adalah mereka yang hendak menunaikan ibadah ke masjid dan musalla. Hal itu tampak dari baju muslim yang mereka kenakan.

Walakin, di sisi utara jalan perempatan Sludang, yang berada tepat di sisi barat kantor Pemkab Sumenep, Dulrasu (73), baru saja menaruh pikulan bambunya yang membawa sapu ijuk yang terbuat dari serabut kelapa.

Warga Desa Larangan Barma, Kecamatan Batu Putih ini, baru saja dicegat oleh pengendara motor matik, pasangan suami istri, yang hendak membeli dagangannya.

Baca juga: Berjualan Sejak 1980, Ini Kisah Bisnis Legendaris Es Campur Ko Acia

“Biasanya saya bawa 30an buah sapu ijuk. Harga Rp 10.000 yang kecil. Kalau yang besar Rp 15.000,” kata Dulrasu.

Kemandirian dan kegigihan Dulrasu sepertinya layak diteladani. Meski usianya sudah senja, dan sudah berjualan sapu ijuk sejak tahun 1977, dia pernah tidak ingin merepotkan kerabat, bahkan kedua anak kandungnya.  

Setiap dua malam sekali, suami Muambiya (65) ini menawarkan sapu ijuk yang dibawanya kepada warga di pusat kota.

Dia berkeliling dari perumahan ke perumahan, mengucapkan salam dari pintu ke pintu untuk menawarkan sapu ijuk yang dikulaknya dari desa. “Ya harus laten dan sabar Mas,” ungkap dia.

Biasanya, menjelang sore, bapak dua anak ini berangkat menumpang kol -sebutan umum untuk angkutan kota, biasanya mobil jenis Mitsubishi L300, dengan membawa barang dagangannya.

Setelah menempuh perjalanan selama 40 menitan, Dulrasu turun di tugu ayam jago di jalan Iman Bonjol, Desa Pamolokan, Kecamatan Kota, dengan membayar ongkos  Rp 10.000.

Baca juga: Kuliner Pentol Jadul “Kelet” Legendaris Cak Leman, Ada sejak 1999

Lalu, dari sana dia mulai berjalan kaki menjajakan sapu ijuknya di sekitar Desa Pamolokan, Bangkal, Kolor, Kelurahan Bangselok, Karangduwak, Kepanjin, Pajagalan dan Desa Pabian.

Dulrasu berkeliling hingga subuh tiba. “Kalau jualan siang sepi. Enakan malam. Biasanya sampai subuh,” kata dia.

Selepas adzan subuh, biasanya dia kembali menunggu kol di tempat yang sama, tugu ayam jago di Desa Pamolokan. Dia kembali menyiapkan uang Rp 10.000 untuk membayar ongkos pulang. 

Setiap kali berjualan, biasanya separuh dari puluhan sapu ijuk yang dibawanya laku. Sedikitnya, 4-5 sapu terjual. Namun, jika sedang beruntung, semua sapu ijuknya terjual habis, meski jarang terjadi. 

“Kadang dapat (hasil) Rp. 50.000,- ya kadang kurang, sekitar itu,” sambung dia.

  Berangkat maghrib pulang subuh

Hingga hari ini, demi memenuhi kebutuhan hidup bersama keluarga, Dulsaru memilih tetap berjualan sapu ijuk. Berangkat jelang maghrib dan pulang usai adzan subuh.

Setiap dua malam sekali, dia harus berangkat ke pusat kota, menjajakan sapu ijuk kepada warga yang dia temui di jalan, atau yang mau membuka pintu saat dia mengucapkan salam.

Karena keterbatasan ekonomi inilah, dia hanya bisa menyekolahkan kedua anaknya cuma sampai lulus sekolah dasar (SD).

Dulsaru merasa seakan dijauhi oleh Negara. Selama 48 tahun berjualan, dia nyaris tak pernah tersentuh bantuan dari Pemerintah.

Sejak masih lajang, sekitar tahun 1962, dia sudah belajar berjualan dengan berjalan kaki hingga ke kabupaten lain. Namun sejak itu pula dia tidak pernah menerima bantuan usaha atau sejenisnya.

Baca juga: Kisah Elo, Mahasiswa Disabilitas yang Aktif Berorganisasi, Gigih Wujudkan Mimpi

Seingat Dulrasu, baru empat kali dia menerima bantuan berupa uang tunai senilai Rp 500 ribu yang dia terima di pendopo kecamatan Batu Putih.

“Katanya saya masuk lansia mas, terakhir bulan 10 lalu (Oktober 2024) kalau tidak salah,” ungkap dia.

Sekitar tahun 2004 silam, Dulrasu menambahkan, rumahnya pernah difoto oleh pegawai Dinas. Saat itu, data KTP dan kartu keluarga miliknya juga dicatat oleh mereka. Namun puluhan tahun berlalu, tidak ada sepeser pun bantuan yang tiba.

Meski begitu, Dalrasu mengaku tidak pernah dendam dan tak juga benci. Sebab dia meyakini semua hal dalam hidupnya sudah diatur oleh Sang Ilahi. “Harapan saya tetap sehat dan tetap bisa jualan, itu saja,” kata dia. 

Leave a comment