Ramai soal YONO, Mengapa Tren YOLO Mulai Ditinggalkan?
KOMPAS.com – Dengan perkembangan teknologi yang memudahkan masyarakat untuk berbelanja, gaya hidup You Only Live Once (YOLO) menjadi tren yang dianut banyak orang, terutama para generasi muda.
Filosofi ini mendorong individu untuk hidup tanpa penyesalan dan menikmati momen saat ini sepenuhnya. Salah satunya adalah dengan berbelanja apa yang diinginkan.
Namun, tren YOLO perlahan mulai bergeser. Kini semakin banyak orang yang memilih prinsip YONO (You Only Need Once), yang mengutamakan hidup sederhana, bijaksana, dan berorientasi pada kebutuhan daripada keinginan.
Baca juga: Tren YONO Gantikan YOLO, Apa Itu?
Menurut Pengamat Psikososial dan Budaya, Endang Mariani, ada beberapa hal yang menyebabkan bergesernya tren YOLO menjadi YONO. Berikut ulasannya.
1. Perubahan Nilai Sosial dan Budaya
Adanya pergeseran nilai sosial dan budaya menjadi salah satu alasan banyak orang mulai meninggalkan gaya hidup YOLO.
“Pergeseran ini diakibatkan oleh semakin banyaknya kritik terhadap konsumerisme dan hedonisme,” ujar Endang kepada Kompas.com, pada Rabu (08/01/2024).
Prinsip YOLO cenderung diasosiasikan dengan gaya hidup yang impulsif, konsumtif, dan mencari kesenangan, yang hanya dinikmati pada saat itu juga.
“Dia (penganut YOLO) merasa bahwa hidup hanya sekali dan harus dinikmati, jadi buat apa susah? Kalau punya uang, maka dia akan beli apa yang dia mau,” lanjutnya.
Tetapi bagaimana dengan penganut prinsip YOLO, yang tidak mampu memenuhi gaya hidup konsumtifnya?
“Mereka mulai mencari banyak cara demi mengikuti prinsip tersebut, misalnya dengan pinjaman online,” jelas Endang.
Dengan adanya kritik dan pandangan negatif terhadap gaya hidup hedon, masyarakat mulai beralih ke prinsip gaya hidup yang lebih rasional dan berkelanjutan, yaitu YONO.
2. Munculnya Tren Gaya Hidup Minimalis
Akibat adanya perubahan nilai-nilai tersebut, berbagai budaya dan tren yang menentang gaya hidup YOLO, mulai populer di masyarakat.
Baca juga: 3 Cara Menghentikan Belanja Impulsif dengan No Buy Challenge
“Tren gaya hidup minimalisme, yang mengutamakan kualitas dibanding kuantitas dan mengedepankan kesederhanaan sudah semakin populer,” ujarnya.
Tren ini mengajak masyarakat untuk membeli sesuatu yang memang benar-benar diperlukan dan tahan lama, daripada sekadar memenuhi hasrat impulsif.
“Mulai ramai juga prinsip Eudaimonisme, di mana seseorang lebih mengejar kebahagiaan hidup melalui aktualisasi diri, bukan lagi melalui pemanjaan indrawi,” tambahnya.
Menjadi seorang hedon juga bisa melelahkan, karena banyak yang harus dikejar. Oleh karena itu, masyarakat mulai berpikir ulang tentang apa yang benar-benar penting dalam hidup mereka.
3. Adanya Pengaruh Perkembangan Ekonomi
Ketidakstabilan ekonomi dan meningkatnya biaya hidup turut memengaruhi perubahan gaya hidup masyarakat.
“Orang-orang merasakan tekanan ekonomi yang semakin berat dan lebih sulit untuk mencari uang,” jelasnya.
Oleh karena itu, masyarakat mulai berpikir tentang realitas kehidupan dan mencari cara untuk hidup lebih terencana dan hemat.
Baca juga: 4 Cara Mengatasi FOMO demi Menerapkan No Buy Challenge 2025