Konsumen Ogah Klaim Pengembalian PPN 12%: Mahalan Ongkosnya
Kebijakan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen terus menuai respons dari masyarakat. Sejumlah konsumen mengaku tidak tertarik untuk mengajukan klaim pengembalian atas kelebihan bayar PPN yang mereka alami, meskipun prosedur tersebut tersedia. Alasannya? Ongkos untuk mengajukan klaim dinilai lebih mahal dibandingkan nilai pajak yang bisa dikembalikan.
Wibi, seorang karyawan swasta di Jakarta, berbagi pengalamannya saat berbelanja kebutuhan sehari-hari di sebuah supermarket.
“Saya, belanja di Superindo kena PPN 12 persen,” kata Wibi kepada kumparan, Selasa (7/1).
Wibi dengan tegas menolak, ketika ditanya apakah ia tertarik untuk mengajukan pengembalian pajak atas kelebihan bayar.
“Enggak. Superindo-nya di Cikampek. Mahal ongkosnya ketimbang kembaliannya,” ujarnya.
Meski sempat ditanya lagi apakah akan berubah pikiran jika supermarket itu berada di Jakarta, Wibi tetap bergeming. “Tetep enggak,” tegasnya.
Keengganannya itu bukan tanpa alasan. Ia mengungkapkan pengalaman pribadi yang kurang menyenangkan terkait administrasi perpajakan.
“Ada pengalaman kurang enak sama administrasi pajak-pajakkan. Waktu bikin NPWP entah gimana prosesnya, penghasilan dari satu kerjaan doang dicatatnya penghasilan rutin. Setelah beberapa tahun jadi dipanggil kantor pajak. Pas lapor SPT lampirin pembayaran zakat penghasilan, administrasinya bikin pusing. Sempat ada lebih bayar juga, akhirnya enggak diambil. Yang lebih PPN juga dikasih aja lah ke negara,” tutur Wibi.
Berbeda dengan Wibi, Fadhil, seorang karyawan swasta di Timor Leste, membagikan pengalamannya membeli teh hangat di Bandara Soekarno-Hatta.
“Aku beli teh anget di Soetta Terminal 1 Gate 4, kena PPN 12 persen. Jadi tuh aku tanya masnya di kasir, ‘PPN-nya udah 12 persen, mas?’ katanya udah. Total aku beli teh anget Rp 11 ribu,” ungkap Fadhil.
Fadhil mengaku terkejut saat diberi tahu bahwa kelebihan bayar PPN bisa diminta kembali. Namun, ia langsung menolak ide tersebut.
“Hah, emang bisa ya? Aku juga nggak berminat buat minta pengembalian. Aku sekarang di Timor Leste, kemahalan ongkosnya kalau minta pengembalian. Nggak seberapa buat dapetin berapa rupiah,” ujarnya.
Fadhil juga mengutarakan pandangannya mengenai dampak PPN 12 persen bagi masyarakat kelas menengah atas. Menurutnya, kenaikan ini berpotensi memberatkan mereka yang membeli barang di kisaran harga nanggung mewah.
“PPN 12 persen ini sebenarnya memberatkan kelas menengah atas. Karena beli barang yang nanggung mewah jadinya pajaknya lumayan. Misal barang 100 jutaan, kena pajaknya dari 11 juta naik ke 12 juta. Jadinya yang kasihan mereka yang usaha di bidang ini, jualannya bisa berkurang,” jelas Fadhil.
Ia juga menyoroti efek domino kebijakan ini terhadap pengusaha muda yang baru merintis bisnis kecil-kecilan. “Setahuku kan banyak anak-anak muda yang sekarang profesional kerah putih muda mulai belajar-belajar jadi pengusaha kecil-kecilan. Jangan discourage mereka dengan PPN 12 persen ini,” tambahnya.
Cara Pengembalian Dana jika Telanjur Kena PPN 12 Persen
Sebelumnya, Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak Kementerian Keuangan Suryo Utomo menjelaskan mekanisme pengembalian dana atau restitusi jika masyarakat telanjur terkena tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12 persen.
Suryo mengatakan pemerintah telah bertemu dengan Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo). Pemerintah dan Aprindo sepakat konsumen bisa menyerahkan struk pembelian kepada toko untuk mendapatkan pengembalian dana.
“Caranya seperti apa? Ini kan business to consumer, jadi mereka [pembeli] kembali dengan menyampaikan struk yang sudah dibawa selama ini,” kata Suryo dalam konferensi pers APBN KiTa, Senin (6/1).
Suryo menyebut proses pengembalian dana dilakukan ke penjual karena DJP belum menerima setoran pajak. Pungutan pajak baru disetorkan kepada DJP pada akhir bulan berikutnya oleh pelaku usaha.
“Pajaknya kan belum disetorkan kepada kami di pemerintah. Karena kan habis dipungut disetorkan kepada kami di akhir bulan berikutnya, jadi kira-kira begitu,” tutur Suryo.