Inner Child dan Pentingnya Pemulihan pada saat Dewasa
Oleh: Aurellia Sahda Khairunnisa
Npm: 248110002
Dalam hidup ini, setiap individu pasti mempunyai banyak sekali pengalaman hidup dari masa kecil mereka yang pada akhirnya membentuk diri mereka yang sekarang. Namun, pengalaman setiap individu tak selamanya indah, ada yang masa kecilnya bahagia dan ada juga yang masa kecilnya terluka, takut, dan bahkan terabaikan yang pada akhirnya membekas dalam jiwanya. Inner Child atau bisa disebut sisi kekanak-kanakan yang masih tersimpan dalam jiwa orang dewasa yang menyimpan memori, perasaan, dan luka masa kecil.
Meski kita tumbuh menjadi dewasa, sisi Inner Child kita tetap ada, mempengaruhi cara kita merespon dunia dan hubungan kita dengan orang lain. Mungkin sebagian orang masih tidak paham dengan istilah “Inner Child” dan menganggap sepele hal tersebut. Dalam esai ini, saya akan membahas pentingnya mengenali dan merawat Inner Child dalam diri kita, serta bagaimana proses ini dapat membuka jalan menuju penyembuhan emosional dan pengembangan diri yang lebih baik.
Apa itu Inner Child? Inner Child merupakan hasil pengalaman masa kanak-kanak, baik positif maupun negatif, yang membentuk kepribadian seseorang saat ini. Namun, pengalaman inner child yang negatif seringkali menimbulkan inner child yang terluka atau dinamakan dengan luka batin dan tanpa disadari pada akhirnya akan meninggalkan kesan yang kuat pada diri seseorang. Hal ini juga dapat menyebabkan rasa sakit yang tersembunyi dan pada akhirnya mempengaruhi perilaku dan perilaku seseorang saat dewasa (Oktariani, 2024).
Inner Child disebabkan karena pengalaman masa lalu mereka yang buruk, ada yang mengalami hal buruk seperti pelecehan seksual, kekerasan fisik, merasa terabaikan, dan kebutuhan yang tidak terpenuhi. Faktor-faktor itulah yang menyebabkan Individu mengalami trauma dan terbawa hingga mereka beranjak dewasa, tapi sebagian Individu hanyak membiarkan Inner Child ini berlalu begitu saja tanpa menyadari bahwa hal tersebut dapat memengaruhi Individu saat mereka dewasa nanti.
Pola asuh orang tua juga dapat menimbulkan sisi Inner Child ini, ada Empat pola asuh orang tua yang akan kita bahas:
Demokratis (Authoritative)
Authoritative merupakan pola asuh yang mendorong anak-anak agar mandiri tetapi masih menetapkan batas-batas dan pengendalian atas tindakan-tindakan mereka (Marjuki, 2013).
Hubungan Authoritative ini masih memiliki hubungan yang hangat antar orang tua dan anak, orang tua masih bertanggung jawab kepada anak-anaknya hanya saja, masih berusaha menanamkan nilai-nilai kedisiplinan dan pengendalian yang tinggi terhadap anak-anaknya.
Pola asuh Authoritative ini salah satu pola asuh yang mendukung anaknya terhadap pendapatnya sendiri tentang masa depannya, tetapi kontrol terhadap sang anak akan tetap berlaku agar sang anak tidak menuju ke jalan yang salah.
Otoriter (Authoritarian)
Authoritarian pola asuh yang sangat mengontrol anak, tetapi tidak memiliki hubungan yang hangat atau cenderung menetapkan standar yang mutlak harus dituruti, biasanya disertai dengan ancaman-ancaman (Bahran Taib, 2020).
Pola asuh Authoritarian salah satu bentuk pola asuh yang dimana sang anak harus selalu patuh dan tunduk terhadap perintah dan peraturan yang telah dibuat oleh orang tuanya, tanpa memiliki kebebasan bertanya dan pendapat diri sendiri. Pada saat dewasa, sang anak tidak mempunyai keinginan bebas terhadap kemauannya dan masa depan yang telah diatur oleh orang tua dan bukan dari kemauan sang anak.
Permisif
Menurut Santrock, pola asuh Permisif terbagi menjadi dua, yaitu:
Pola asuh Permisif Indiifferent (tidak peduli)
Pola asuh Permisif Indiifferent atau tidak peduli, salah satu pola asuh yang mana sang orang tua tidak peduli kepada anaknya atau tidak akan ikut campur dalam kehidupan sang anak. Anak-anak yang memiliki orang tua yang mengandalkan konsep pola asuh ini berpendapat bahwa kehidupan orang tua lebih penting dari anaknya.
Pola asuh Indulgen (memanjakan)
Pola asuh Indulgen atau memanjakan adalah kebalikan dari pola asuh Permisif Indiifferent. Pola asuh Indulgen dimana orang tua sangat terlibat dalam kehidupan anak-anak mereka, tetapi mereka tidak memiliki aturan yang jelas kepada anak-anak mereka. Orang tua selalu menuruti perkataan anak-anak mereka dan mengabulkannya, dan akibatnya anak-anak mereka tidak bisa mengendalikan diri mereka dan selalu bergantung kepada orang tua mereka agar menuruti kemauan anak-anak mereka.(Farida Rohayani, 2023).
Inner Child tidak akan terjadi jika tidak memiliki penyebabnya, berikut beberapa penyebab yang menyebabkan adanya Inner Child, yaitu:
Kekerasan Fisik
Kekerasan fisik ialah, tindakan yang menghasilkan kerugian fisik dari orang tua atau orang yang bertanggung jawab, dan orang-orang yang memiliki kekuasaan. Adapun bentuknya adalah seperti memukul, menjambak, mendorong, melukai dalam bentuk tindakan fisik. Hal ini sering menjadi jalan pintas yang di lakukan oleh orang tua atau orang yang merasa memiliki kuasa lebih yang tidak bisa mengontrol emosinya.
Kekerasan Seksual
Kekerasan seksual ini bahkan dianggap sebagai tindakan yang melanggar hukum atau sesuatu yang di anggap tabu oleh masyarakat. Pelecehan seksual ini dilakukan terhadap anak antara dia dan orang dewasa yang memiliki tanggung jawab, kekuasaan, dan kepercayaan terhadap dirinya.
Adapun secara aktivitasnya adalah untuk memuaskan kebutuhan orang lain meliputi memegang, meraba alat vital, mempertontonkan alat vital, mengancam dan memaksa berbuat asusila, sampai kepada pemerkosaan.
Pengabaian atau Penelantaran
Seorang anak yang di abaikan secara emosional biasanya memiliki kepribadian pendiam atau menentang. Hal ini biasanya di akibatkan oleh orang tua yang tidak hadir secara emosional dan fisik. Misalnya saja orang tua hanya memberikan uang jajan saja, berharap anaknya cukup dengan dikasih uang saja tetapi tidak hadir secara langsung untuk sekedar menanyakan keadaan dan apa yang sedang di alaminya.
Kekerasan dalam Rumah Tangga
Seorang anak yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga memiliki dampak psikis yang dialaminya seperti rasa trauma yang berlebihan, memiliki rasa takut akibat dari kekerasan tersebut. Perkelahian antara orang tua, menjadi bahan pelampiasan orang tua, menjadi korban kekerasan fisik karena tidak menurut perintah orang tua, itulah yang menyebabkan rasa trauma yang tidak bisa dihilangkan dari jiwanya.
Kepribadian inilah yang akan membentuk jiwa anak yang lemah dan penakut sampai anak tersebut beranjak dewasa. Trauma psikologis yang dialami pada masa kanak-kanak cenderung akan terus dibawa sampai ke masa dewasa, lebih-lebih bila trauma tersebut tidak pernah disadari oleh lingkungan sosial anak dan dicoba disembuhkan. (Mardiyati, 2015).
Selanjutnya, saya akan membahasa dampak-dampak terjadinya Inner Child, yaitu:
Kesulitan untuk menjalin hubungan dengan orang lain
Individu yang pernah memiliki trauma cenderung sulit menjalin relasi dengan orang lain. Kesulitan memiliki hubungan ditandai juga dengan perilaku orang tersebut yang menunjukkan sifat membutuhkan atau manipulatif, hingga perilaku agresif dan kekerasan.
Memiliki perasaan bersalah yang berlebihan
Rasa bersalah adalah penyesalan atau beban tanggung jawab yang dihadapi orang setelah mereka melakukan kesalahan. Rasa bersalah adalah hal yang wajar. Kecuali jika perasaan ini muncul tanpa ada alasan yang jelas. Misalnya, ketika seseorang merasa bersalah ketika tidak melakukan kesalahan. Itu bisa menjadi pertanda masalah serius seperti depresi atau kecemasan. Bisa jadi hal tersebut juga adalah tanda inner child terluka akibat sering dibuat merasa bersalah di masa kecil. Serta, seseorang tidak pernah sembuh darinya.
Trust Issue
Jika pada pada saat masa kecil, seseorang sering di bohongi, di manipulasi oleh seseorang individu akan memiliki perasaan seperti “Apakah dia berbohong?” individu cenderung tidak mempercayai seseorang karna masa lalumu. Hal tersebut berupa mekanisme bertahan dari rasa sakit dan merasa kecewa karena dikhianati oleh seseorang.
Childfree
Inner Child yang belum sembuh dan belum dimaafkan akan sulit membuka diri dan menerima hal yang melukainya. Individu yang sudah berdamai dengan Inner Child-nya tetap ingin memiliki anak meskipun semasa kecilnya memiliki pengalaman yang kurang menyenangkan.
Childfree dapat menghalangi terwujudnya keluarga harmonis karena keturunan sering dianggap sebagai salah satu elemen penting yang menyatukan dan memperkuat ikatan dalam keluarga. Kehadiran anak membawa dinamika kasih sayang, pengorbanan, dan kebersamaan yang mendalam, serta menciptakan peluang untuk saling melengkapi dan bekerja sama (Abdul Rahman Ramadhan, 2024).
Ada beberapa cara yang bisa dilakukan untuk menyembuhkan Inner Child:
Menulis
Dari menulis kita bisa mengungkapkan segala rasa yang dipendam dalam diri mulai rasa sakit, kenangan buruk, dan segala macam emosi lainnya bisa dicurahkan dalam tulisan. Meski dalam proses tersebut kita membutuhkan ingatan luka yang telah dialami dan merasakan kembali luka itu, namun setelah menuangkannya dalam sebuah tulisan perasaan kita akan lebih tenang dan lega sehingga mampu mencoba menerima segala macam rasa dan berdamai dengan luka tersebut.
Membuka diri
Dalam proses menyembuhkan inner child akan banyak lika-liku yang harus dijalani. Menjadi diri sendiri merupakan kunci dari membuka diri, karena tiap orang memiliki sisi kualitasnya masing-masing. Kualitas tersebut akan redup karena tidak adanya rasa percaya diri. Sehingga dari hilangnya rasa percaya diri, maka akan sulit seseorang dalam membuka diri. Selain itu berbagi cerita ke orang yang dipercayai merupakan bentuk dari membuka diri. Serta megevaluasi dan menerima semua yang telah terjadi di masa lalu dengan berpikir terbuka dan keluar dari zona nyaman.
Melakukan sesi Ho’oponopono pribadi
Ho’oponopono ini merupakan metode terapi penyembuhan diri berasal dari Hawaii. Ho’oponopono adalah kebiasaan leluhur Hawaii yang secara tradisional digunakan untuk memperbaiki diri, membangun suatu keharmonisan, dan memperbaiki kesalahan. Metode ini diciptakan oleh Morrnah dan dipopulerkan oleh Dr. Ihaleakala Hew Len (Bodin et al., 2016). Dalam proses penyembuhan terapi ini, dibutuhkannya ruang untuk diri sendiri melakukan self-talk seperti menggunakan empat frase kunci Ho’oponopono yakni “I’m sorry, please forgive me, thank you, I love you”.
(Ellyana Ilsan Eka Putri, 2022)
Terdapat beberapa kebiasaan yang harus di hindari karena dapat membentuk luka Inner Child pada anak:
Membentak anak saat melakukan kesalahan
Jika seorang anak melakukan kesalahan, jangan pernah membentak anak dengan nada yang tinggi karena dengan cara tersebut bisa berdampak negative pada perkembangan emosional dan psikologis anak. Seperti memiliki rasa takut dan bukan mempelajari kesalahannya, dan tidak memiliki rasa percaya diri.
Mengancam anak agar menurut
Mengancam anak agar menurut juga bukanlah pendekatan yang sehat atau efektif dalam mendidik. Meskipun mungkin terdengar seperti cara yang cepat untuk membuat anak patuh, ada sejumlah alasan mengapa ancaman tidak disarankan dalam pola asuh. Seperti menururunkan rasa harga diri anak, membangun hubungan yang negative, dan mengurangi rasa aman dan kepercayaan.
Menggunakan kekerasan untuk menyelesaikan masalah
Menggunakan kekerasan untuk menyelesaikan masalah, baik secara fisik maupun verbal, adalah pendekatan yang sangat merugikan dan berbahaya, terutama ketika diterapkan dalam pola asuh terhadap anak. Kekerasan dapat membawa dampak negatif yang jangka panjang bagi anak dan hubungan orang tua-anak.
Jika tidak dimulai dari sekarang, saat ini juga Inner Child akan menjadi mimpi buruk yang sulit untuk dilupakan. Lalu, apa yang harus orang tua lakukan?
Belajar untuk bisa berdamai dengan masa lalu, dan coba untuk menerima sisi Inner Child yang terdapat dalam diri kita. Memang sangat susah setiap Individu untuk bisa berdamai dengan masa lalu, tetapi jika ini merupakan Langkah yang baik untuk masa depan anak-anak nanti agar tidak mengalami hal yang sama seperti masa lalu yang buruk. Memahami inner child memang tidak selalu mudah karena setiap orang memiliki kondisi yang berbeda. Jadikanlah pengalaman kurang baik di masa lalu sebagai pelajaran untuk menjadi orang tua yang lebih baik di masa kini.
REFERENSI
Abdul Rahman Ramadhan, R. R. (2024, July). Konsepsi Al-Qur’an sebagai Self Healing terhadap Inner Child dalam Terwujudnya Keluarga Harmonis. Al-Maktabah: Jurnal Studi Ilmu Al-Quran, Hadis dan Tafsir, 1, 17-35.
Bahran Taib, D. M. (2020, October). Analisis Pola Asuh Otoriter Orang Tua Terhadap Perkembangan Moral Anak. Jurnal Pendidikan Guru Pendidikan Anak Usia Dini, 3, 129-137.
Ellyana Ilsan Eka Putri, A. D. (2022, December). GAYA PENGASUHAN ORANGTUA UNTUK KESEHATAN INNER CHILD ANAK. INCARE : International Journal of Educational Resources., 3, 377-387.
Farida Rohayani, W. M. (2023, June). Pola Asuh Permisif dan Dampaknya Kepada Anak Usia Dini (Teori dan Problematika). Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini, 5, 25-38.
Mardiyati, I. (2015). DAMPAK TRAUMA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA TERHADAP PERKEMBANGAN PSIKIS ANAK. Jurnal Studi Gender dan Anak, 26-35.
Marjuki. (2013, June). Pengaruh jenis-jenis pola asuh orang tua, konformitas, kecerdasan , usia, dan gender terhadap kemandirian emosional pada remaja tuna rungu total. Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta , 1-140.
Oktariani. (2024). Mengenal Inner Child, Menangani Luka Batin Untuk Hidup Produktif. Jurnal Pengabdian, Pemberdayaan Dan Penyuluhan Kepada Masyarakat, 3, 71-75.
Surianti. (2022, September). Inner Child: Memahami dan Mengatasi Luka MasaKecil. MIMBAR: Media Intelektual Muslim & BimbingAn Rohani, 8, 10-18.