Ikut “No Buy 2025 Challenge”, Apa Saja yang Sebaiknya Tidak Dibeli Tahun Depan?
KOMPAS.com – Tantangan No Buy 2025 atau No Buy Challenge 2025 menjadi hal yang ramai akan diterapkan masyarakat Indonesia mulai tahun depan.
No Buy 2025 Challenge menjadi aksi yang diserukan warganet lewat media sosial sebagai tanggapan dari kebijakan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) 12 persen mulai 1 Januari 2025.
No Buy 2025 adalah gerakan untuk mengurangi pengeluaran dan konsumsi berlebihan terhadap barang atau jasa. Tujuannya adalah menerapkan gaya hidup minimalis dan menyimpan uang.
Lalu, apa saja barang atau jasa yang harus berhenti dibeli pada tahun depan jika ingin menerapkan No Buy 2025?
Baca juga: Ramai-ramai Ajakan Frugal Living dan Kurangi Belanja untuk Memprotes PPN 12 Persen, Apa Dampaknya?
Daftar No Buy 2025
Perencana Keuangan dari Advisors Alliance Group Indonesia, Andi Nugroho menuturkan, terdapat daftar barang atau jasa yang bisa berhenti dibeli pada 2025 sesuai aksi No Buy 2025.
“Barang–barang atau hal-hal yang sebenarnya tidak terlalu kita butuhkan dan urgent dibeli,” ujarnya saat dihubungi Kompas.com, Selasa (31/12/2024).
Selain itu, Andi menyebut, barang atau jasa yang sebenarnya hanya keinginan sesaat atau efek FOMO dan FOPO pun tidak perlu dibeli lagi tahun depan.
Fear of Missing Out atau FOMO adalah fenomena psikologis yang menggambarkan perasaan seseorang yang takut ketinggalan tren sehingga merasa cemas jika tidak terlibat.
Fear of Other People’s Opinions atau FOPO berarti fenomena saat seseorang merasa takut dan khawatir terhadap pendapat orang lain tentang dirinya sehingga berusaha memenuhinya.
Andi menekankan, barang-barang mewah maupun terkena PPN 12 persen perlu dikurangi pembeliannya.
Contohnya, gawai, peralatan elektronik lain, kendaraan bermotor, tiket konser, pakaian mahal, tiket perjalanan, dan lain-lain.
Sebaliknya, dia tetap meminta masyarakat mengeluarkan uang untuk membeli barang atau jasa yang wajib dipenuhi. Barang dan jasa ini bisa tidak masuk daftar No Buy 2025.
Misalnya, membayar cicilan kredit atau utang, uang sekolah anak, membeli token listrik, membayar tagihan PDAM, dan sebagainya.
“Lalu, pengeluaran untuk membeli hal-hal yang sangat penting dan urgent dipenuhi. Contoh, beli ponsel baru karena yang lama rusak atau beli laptop baru untuk kebutuhan kuliah karena yang lama hilang,” lanjut Andi.
Dia menambahkan, mengeluarkan uang untuk ikut kursus atau pelatihan yang bisa menaikkan kemampuan dan meningkatkan penghasilan pun tidak masalah dilakukan pada 2025.
Selain itu, Andi menyarankan masyarakat memakai uang untuk mulai berinvestasi dan mempersiapkan dana pensiun pada tahun depan.
Baca juga: Ke Mana Larinya Uang Pajak yang Telah Dibayarkan Warga Negara?
Cara terapkan No Buy 2025
Andi menyebut, publik perlu mempertimbangkan fungsi barang atau jasa saat membuat daftar No Buy 2025. Daftar itu seharusnya hanya berisi barang atau jasa yang “diinginkan saja tapi kurang dibutuhkan”.
“(Pertimbangkan) apakah barang atau jasa tersebut harus kita beli sekarang juga atau masih bisa ditunda,” ujar dia.
Pikirkan pula apakah kebutuhan-kebutuhan lain yang bersifat wajib dan penting sudah terpenuhi sebelum membeli barang yang kurang berguna.
Agar bertahan menerapkan No Buy Challenge 2025, Andi mendorong masyarakat membuat tujuan yang ingin dicapai dan disiplin menjalankannya sehingga sanggup tidak membeli barang kurang penting.
“Jadi diri sendiri. Jangan terpengaruh dengan budaya FOMO, FOPO, serta gaya hidup yang berlebihan,” tambahnya.
Bila muncul keinginan hidup berlebihan atau tidak disiplin, dia mengajak publik memikirkan akibat terburuk yang akan terjadi seandainya keinginan membeli barang kurang penting itu dipenuhi.
Dia pun menyarankan rekening untuk menabung atau investasi serta membeli kebutuhan penting dipisah dengan rekening berisi uang yang masuk atau keluar sehari-hari.
“Hindari penggunaan kartu kredit, pinjaman online, ataupun membayar dengan paylater kecuali kita bisa sangat disiplin dalam mengatur pengeluaran,” tegas Andi.