Kelindan Antara Potensi dan Risiko, Tantang Danantara Sebagai SWF Indonesia
Salah satu nomenklatur lembaga baru di era Pemerintahan Prabowo-Gibran adalah Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara yang disingkat dan nantinya akan dikenal luas dengan nama ‘Danantara’
Mengutip situs resminya, Danantara.go.id, Danantara dibentuk untuk melaksanakan tugas dalam mengelola investasi strategis negara. Untuk menjalankan misinya, Danantara akan mendorong transformasi ekonomi Indonesia dengan menumbuhkan korporasi berskala dunia.
Pada saat bersamaan Danantara berkomitmen untuk mendukung pembangunan nasional dan menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Meskipun, sudah dibentuk, lantaran relatif baru, Danantara belum beroperasi sepenuhnya, karena payung hukum operasionalnya masih terus disempurnakan, untuk memastikan dalam pengelolaan investasinya kelak, memenuhi aspek legalitas dan kepatuhan terhadap regulasi.
Salah satunya kepatuhan terhadap Undang-Undang nomor 8 tahun 1995 tentang Pasar Modal
Sambil menunggu diresmikan setelah dasar hukumnya rampung, Danantara saat ini tengah mematangkan sejumlah perangkat institusi, diantaranya, struktur organisasi dan tata kerja (SOTK), harmonisasi program kerja tujuh BUMN, dan rancangan kerja untuk 100 hari kerja pertama pasca diluncurkan secara resmi oleh Presiden, yang waktu pelaksaaannya masih terus di godok.
Danantara Sebagai SWF
Berdasarkan Dokumen Danantara Sovereign Fund, Badan baru ini akan berfungsi dalam bentuk Sovereign Wealth Fund (SWF), yang menurut Kepala BPI Danantara, Muliaman Hadad akan seperti perusahaan investasi milik Pemerintah Singapura, Temasek.
“Sesuai namanya badan pengelola investasi. Nantinya ditugaskan mengelola investasi di luar APBN. End state-nya iya (seperti Temasek), mirip-mirip seperti itu,” katanya, seperti dilansir Kompas.com.
Dana kelolaan awal Danantara diperkirakan akan sebesar US$ 600 miliar atau Rp9.600 triliun dengan asumsi kurs US Dollar terhadap Rupiah Rp16.000.
Angka sebesar itu tentu saja sebagian besarnya tak berbentuk tunai, tapi berupa hak pengelolaan atas saham pemerintah di tujuh perusahaan milik negara dengan aset terbesar, yaitu Bank Mandiri, Bank Rakyat Indonesia (BRI), Bank BNI, PLN, Pertamina, Telkom, dan perusahaan holding pertambangan, Mind ID.
Selain tujuh BUMN tersebut, Indonesia Invesment Authority (INA) yang menjadi semacam SWF-nya Indonesia sejak berdiri pada tahun 2021. Pasca dibentuknya Danantara, seluruh aset dan dana kelolaan INA yang menurut situs resminya, Ina.go.id berkisar Rp163 triliun, akan dikonsolidasikan ke dalam BPI Danantara.
Jadi BPI Danantara nantinya bakal menjadi satu-satunya SWF di Indonesia, dengan dana kelolaan atau asset under management (AUM) yang sangat besar.
Uniknya Danantara ini, tak seperti organisasi SWF lainnya yang fungsinya linier hanya untuk menghasilkan keuntungan dari dana yang mereka investasikan.
Danantara juga diberi tugas lain yang cukup strategis yakni menjadi semacam superholding perusahaan BUMN, yang pastinya bakal penuh tantangan.
Asumsinya, jika semuanya berjalan sesuai rencana, dalam beberapa tahun ke depan, Danantara akan mengelola aset sebesar US$ 982 miliar atau senilai Rp15.712 triliun, apabila ini terjadi maka Danantara akan menjadi SWF nomor 4 terbesar di dunia.
Mengenal SWF
Terminologi Sovereign Wealth Fund mulai dikenal publik dunia secara luas sekitar tahun 2005, setelah Andrew Rozanov, pelaku serta pakar keuangan dan investasi Asal Amerika Serikat menulis artikel bertajuk ‘Who Holds The Wealth of Nations’ dalam Central Banking Journal.
Meskipun, praktik mengelola dana ala SWF sudah ada lebih dari satu abad lalu.
Menurut International Forum of Sovereign Wealth Fund (IFSW), SWF adalah dana investasi khusus yang dibuat atau dimiliki oleh negara untuk memegang atau menguasai aset-aset asing untuk tujuan jangka panjang.
Sementara Deutsche Bank Research berpendapat, sovereign wealth funds atau state investment funds adalah kendaraan finansial yang dimiliki oleh negara yang memiliki, mengelola atau mengadministrasikan dana publik dan menginvestasikannya ke dalam aset-aset yang lebih luas dan lebih beragam.
Sedangkan menurut Robert M. Kimmit, mantan Menteri Keuangan Amerika Serikat di era Presiden George Bush Jr, mendefinisikan SWF sebagai sekumpulan besar modal yang dikendalikan oleh pemerintah dan diinvestasikan dalam pasar swasta internasional atau kendaraan investasi pemerintah yang didanai dengan aset-aset mata uang asing dan dikelola secara terpisah dari cadangan devisa resmi.
Jadi pada dasarnya, SWF adalah dana abadi yang dimiliki dan dikelola atas nama negara yang diinvestasikan dalam instrumen keuangan seperti deposito untuk mendapatkan bunga, saham demi memperoleh gain atau dividen, dan instrumen bentuk lain serta jenis pendapatan sah lainnya.
Dana pokok SWF lazimnya berasal dari anggaran pemerintah, dari penerimaan migas atau hasil tambang dan ekstraksi alam lainnya serta penerimaan lain yang sah.
Nah dana pokok ini, tak boleh diganggu gugat, diambil atau digunakan untuk kebutuhan lain diluar investasi. Dana yang boleh digunakan atau diambil hanya dari hasil keuntungan investasi dana pokok.
Secara umum, dalam pembentukannya SWF memiliki tujuan spesifik yang telah ditetapkan. Menurut International Working Group of Sovereign Wealth Fund, ada 5 tipe SWF merujuk pada tujuan atau mandat investasinya tersebut.
Pertama, SWF yang dibentuk dan didirikan untuk kebutuhan ‘dana darurat’ yang berfungsi sebagai mekanisme penyangga. Dana darurat ini berasal dari surplus fiskal, berkat windfall profit dari produksi komoditas alam seperti minyak bumi, gas, mineral dan lainnya.
Kedua, pembentukan SWF untuk kebutuhan dana generasi mendatang, sehingga lebih siap menghadapi berbagai tantangan biasanya dana kelolaannya berasal dari sumber daya alam yang tak dapat diperbaharui seperti minyak dan gas, menjadi aset keuangan yang bisa diperbaharui
Ketiga, untuk kebutuhan dana strategis pembangunan yang menggabungkan tujuan keuangan dengan misi ekonomi sebuah negara, yang diharapkan berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi domestik, sekaligus menjadi katalis bagi masuknya investasi asing.
Keempat, SWF bisa ditujukan sebagai sarana untuk membangun sistem pensiun negara.
Kelima, sebagai strategi politik ekonomi terutama melalui investasi ke obligasi pemerintah, institusi lain yang memiliki kapasitas strategis dan penting dalam perekonomian negara.
Dalam pengimplementasiannya SWF memiliki tiga tipe.
Pertama, SWF didirikan melalui identitas atau badan hukum terpisah dengan kapasitas penuh untuk melakukan kegiatan, dan semua itu diatur lewat undang-undang khusus.
Kedua, SWF yang berbentuk entitas korporasi atau badan usaha milik negara yang tunduk pada undang-undang perseroan atau aturan tentang SWF bila ada.
Ketiga, yang hanya berbentuk sekumpulan aset tanpa identitas hukum tertentu. Kumpulan aset tersebut bisa dimiliki langsung oleh pemerintah atau bisa juga dikelola oleh bank sentral
Namun apapun tipenya, dalam menjalankan operasionalnya, SWF berpatokan pada prinsip dasar, berupa standar yang telah ditetapkan secara global, yakni Prinsip Santiago, serupa Standar Basel dalam dunia perbankan.
Prinsip Santiago adalah seperangkat pedoman internasional yang secara khusus mengatur tata kelola dan praktik terbaik dalam pengelolaan SWF.
Prinsip ini bertujuan untuk memastikan bahwa SWF dikelola secara transparan, akuntabel, dan bertanggung jawab.
SWF Global Dalam Angka.
Berdasarkan data GlobalSWF, dana kelolaan atau asset under management (AUM) SWF di seluruh dunia hingga November 2024 mencapai lebih dari US$ 13 triliun.
Norges Bank Investment Management yang merupakan unit aset manajemen dari bank sentral Norwegia, yang dalam operasional bertindak atas nama Government Pensiun Fund Global (GPFG) menjadi SWF yang memiliki dana kelolaan terbesar di dunia, sebesar US$ 1.8 triliun atau senilai Rp28.800 triliun.
Sementara di posisi kedua, China Invesment Corporation milik Pemerintah China yang mengelola dana sebesar US$ 1,33 triliun atau setara Rp21.312 triliun
Menyusul kemudian, SWF asal China lain, SAFE-IC dengan dana kelolaan sebesar US$ 1,23 triliun, Abu Dhabi Invesment Authority (A DIA) milik Pemerintah Kerajaan Uni Emirate Arab (UAE) yang mengelola dana senilai US$1,11 triliun.
Dari kawasan Asia Tenggara, The Goverment of Singapore Invesment Corporation (GIC) yang memiliki mandat untuk mengelola dana cadangan negara Singapura yang sebesar US$ 847 miliar atau Rp13.552 triliun, berada di urutan ke tujuh.
Sedangkan SWF Singapura lainnya yang sistemnya bakal menjadi rujukan Danantara berada di peringkat 11 dengan dana kelolaan sebesar US$288 miliar atau Rp4.060 triliun.
Dengan dana keloaan mencapai US$600 miliar, peringkat Danantara akan berada persis di bawah GIC.
Perjalanan SWF di Indonesia.
Sejatinya, Indonesia termasuk terlambat dalam membentuk pengelola SWF. Berdasarkan catatan Kementerian Keuangan, gagasannya memang sudah ada sejak tahun 2007 dengan mendirikan Pusat Investasi Pemerintah (PIP) melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) nomor 52/PMK.1/2007.
Pembentukan PIP, mengacu pada tipe kedua SWF yang berbentuk korporasi seperti Temasek milik Pemerintah Singapura.
Sayangnya, setelah 8 tahun berdiri dengan modal awal Rp4 triliun, pada tahun 2015, PIP harus dilikuidasi untuk kemudian berubah bentuk menjadi sebatas Badan Layanan Umum di bawah Direktorat Jenderal Perbendaharaan Negara Kementerian Keuangan, karena investasinya cenderung tak berkembang akibat dikelola terlalu birokratis.
Pada tahun 2020 Pemerintah Indonesia, mencoba membangun kembali SWF, kali ini dengan magnitude lebih besar karena lahir berdasarkan aturan yang lebih tinggi dari sekedar peraturan setingkat menteri, yakni dengan payung hukum Peraturan Pemerintah nomor 74 tahun 2020 tentang Lembaga Pengelola Investasi yang merupakan aturan pelaksana dari Undang-Undang Cipta Kerja.
Berdasarkan aturan tersebut,lahirlah Indonesia Invesment Authority (INA) pada tahun 2021, dengan modal awal yang berasal dari APBN sebesar US$ 5 miliar atau setara dengan Rp75 triliun
INA memiliki empat sektor utama, yaitu infrastruktur dan logistik, infrastruktur digital, layanan kesehatan, dan energi ramah lingkungan.
Setelah berjalan 4 tahun dana kelolaannya terus berkembang mencapai Rp163 triliun.
Namun dengan terbentuknya Danantara, nantinya INA akan dikonsolidasikan ke dalam Badan baru ini, sehingga namanya tak lagi eksis, melebur menjadi Danantara.
Asa dan Tantangan Danantara
Danantara, sebagai lembaga pengelola investasi negara, memiliki potensi besar untuk menjadi titik balik bagi transformasi BUMN di Indonesia.
Jika dikelola dengan baik, Danantara dapat meniru kesuksesan Temasek, yang berhasil meningkatkan kinerja perusahaan-perusahaan portofolionya secara signifikan.
Penunjukan pemimpin berpengalaman seperti Muliaman Darmansyah Hadad dan Kaharuddin Djenod merupakan langkah strategis.
Namun, keberhasilan Danantara sangat bergantung pada otonomi yang diberikan oleh pemerintah. Bebas dari intervensi politik dan birokrasi yang berlebihan adalah kunci agar Danantara dapat mengambil keputusan-keputusan strategis yang berorientasi pada kinerja jangka panjang.
Transparansi dan akuntabilitas menjadi sangat penting. Penerapan prinsip-prinsip tata kelola perusahaan yang baik, seperti memperhatikan aspek lingkungan, sosial, dan tata kelola (ESG), serta penerapan standar global seperti SDGs, akan meningkatkan kepercayaan publik dan memastikan penggunaan dana negara secara efektif dan efisien.
Selain mengejar keuntungan finansial, Danantara juga harus fokus pada penciptaan nilai tambah bagi masyarakat dan negara. Investasi yang dilakukan harus memberikan dampak positif terhadap perekonomian, lingkungan, dan sosial.
Meskipun memiliki potensi besar, Danantara juga menghadapi tantangan seperti resistensi terhadap perubahan dari dalam BUMN, tekanan politik, dan kompleksitas birokrasi.
Untuk mencapai kesuksesan, Danantara perlu fokus pada pengembangan sumber daya manusia di BUMN, mendorong inovasi dan pengembangan bisnis baru, serta menjalin kolaborasi yang kuat dengan sektor swasta. Dengan pendekatan yang komprehensif dan berkelanjutan, Danantara dapat menjadi motor penggerak transformasi BUMN dan berkontribusi signifikan pada kemajuan Indonesia.
Penutup.
Danantara hadir sebagai harapan baru bagi perekonomian Indonesia. Dengan potensi dana kelolaan yang sangat besar dan dukungan pemerintah, Danantara memiliki peluang emas untuk menjadi salah satu Sovereign Wealth Fund terbesar dan paling berpengaruh di dunia.
Namun, keberhasilannya sangat bergantung pada kemampuan untuk mengatasi berbagai tantangan, seperti intervensi politik, kompleksitas birokrasi, dan risiko investasi.
Implementasi prinsip-prinsip tata kelola perusahaan yang baik, pengembangan sumber daya manusia yang kompeten, serta kolaborasi yang erat dengan berbagai pihak terkait menjadi kunci keberhasilan Danantara dalam mewujudkan visi Indonesia sebagai negara maju.