Tradisi Natal dan Tahun Baru warga keturunan Portugis di Kampung Tugu – ‘Ada harga yang harus dibayar kalau kita ingin mempertahankan sesuatu’
Menjelang Natal dan Tahun Baru, warga keturunan Portugis yang tersisa di Kampung Tugu, Jakarta Utara, melestarikan tradisi unik mereka di tengah gempuran modernitas. Rangkaian tradisi itu digelar sejak malam Natal hingga hari Minggu pertama tahun baru.
“Feliz Navidad… Feliz Navidad.”
Arthur James Michiels bersenandung menyanyikan lagu Natal “Feliz Navidad” sambil memainkan bas betot di sebuah rumah tua di Semper Barat, Cilincing, Jakarta, pada Kamis (19/12).
Feliz Navidad adalah sebuah ungkapan dalam bahasa Spanyol yang artinya “Selamat Natal”.
Sesekali, pria berusia 55 tahun itu menghentikan aktivitasnya kala anggota kelompok musik Krontjong Toegoe yang lain memberikan masukan soal irama lagu yang mereka mainkan.
Grup musik yang dikomandoi Arthur itu tengah berlatih lagu-lagu yang akan mereka bawakan saat perayaan Natal dan Tahun Baru di Kampung Tugu.
Arthur Michiels adalah keturunan ke-10 keluarga Michiels, salah satu keluarga keturunan Portugis yang tersisa di Kampung Tugu.
Saat ini masih terdapat sekitar 150 keluarga keturunan Portugis di Kampung Tugu.
Komunitas itu melestarikan tradisi Natal dan Tahun Baru yang unik secara turun temurun.
BBC News Indonesia hadir di WhatsApp.
Jadilah yang pertama mendapatkan berita, investigasi dan liputan mendalam dari BBC News Indonesia, langsung di WhatsApp Anda.
Tradisi Natal dan Tahun Baru di Kampung Tugu
Lisa Michiels mengenang ketika dirinya menjalankan tradisi malam Natal di Kampung Tugu.
“Pada malam Natal, setelah beribadah di gereja, kita meletakkan bunga-bunga di makam keluarga,” ujar Lisa kepada wartawan Amahl Azwar yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.
“Biasanya orang lain berziarah pada pagi atau siang hari, tapi kalau di Kampung Tugu, kita taruh kembangnya malam-malam,” ujar Lisa, yang juga merupakan manajer Krontjong Toegoe.
Setelah menaruh bunga, anggota keluarga akan kembali ke rumah untuk makan malam dan beribadah singkat.
Pada pukul 12 malam, setelah berdoa bersama, mereka akan jalan dari rumah ke rumah untuk mengucapkan selamat hari Natal pada malam itu juga menggunakan bahasa Kreol Portugis.
Ucapan Natal dalam bahasa Kreol Tugu adalah: “Binti singku dia Disember, masdudi nas sior ja ti mundu. Libra nos pekado unga noti di kinta fera. Assi klar koma dia anji ni nos siordialegria.”
“Pada tanggal 25 Desember, Tuhan kita telah lahir untuk menebus dosa kita. Di hari Kamis malam yang cerah dan bersih, Tuhan memberikan suka cita besar.”
Lisa, yang kini berusia 49 tahun, mengakui tradisi jalan dari rumah ke rumah untuk mengucapkan selamat hari Natal pada malam Natal kini sulit untuk dilakukan dalam kehidupan modern karena Kampung Tugu sudah berubah pesat.
“Supaya adat dan tradisinya tidak hilang, kita satukan di Roemah Toegoe perayaannya.”
Roemah Toegoe adalah rumah keluarga Michiels yang dibangun sejak 1750-an dan kini menjadi embrio museum sejarah keturunan Portugis di Kampung Tugu.
“Ibadah Natal diiringi musik keroncong gaya Tugu dan ada narasi-narasi dalam bahasa Kreol Portugis,” ujarnya.
Tradisi ini diberi nama Malam 24 dan dijalankan selama tiga tahun terakhir.
Selain perayaan Natal, warga keturunan Portugis di Kampung Tugu juga memiliki tradisi unik dalam perayaan Tahun Baru, yakni Rabo-rabo yang digelar tiap 1 Januari.
Kata rabo dalam bahasa kreol Portugis berarti “ekor”.
Tradisi Rabo-rabo dilakukan dengan menyambangi warga Kampung Tugu dari rumah ke rumah dengan lantunan musik keroncong.
“Grup musik keroncong datang ke satu rumah, bernyanyi, mengucapkan Selamat Tahun Baru. [Kemudian] berpindah ke rumah selanjutnya,” jelas Arthur.
“Nah, [keluarga] rumah [tersebut] harus mengikut dalam rombongan. Semakin lama semakin panjang… akhirnya mengekor,” tutur Arthur.
Pada masa lampau, ketika Kampung Tugu masih terbilang sepi dan jarak antar kepala keluarga masih jauh-jauh, tradisi Rabo-rabo bisa berlangsung sampai tujuh hari dan tujuh malam.
Selain itu, “biasanya [keluarga] didatangi menyuguhkan minuman terlalu keras. Jadi, peserta banyak yang tumbang [sehingga] harus lanjut besok,” ujar Arthur.
“Tapi kalau [sekarang] ini, dalam satu hari harus selesai.”
Setelah Rabo-rabo, warga keturunan Portugis di Kampung Tugu merayakan Mande-mande, yang biasa digelar pada hari Minggu pertama pada tahun baru.
Mande-mande berasal dari kata mandat, yang dalam bahasa Portugis berarti perintah, amanat, atau komando.
“Perintah ini perintah apa? Ya, perintah untuk berbuat baik,” ujar Arthur.
Orang-orang Tugu meyakini siapa pun yang akan memasuki tahun yang baru harus memiliki hati yang bersih.
Maka dari itu, mereka semua akan saling memaafkan di satu rumah yang sudah disepakati.
Alunan musik keroncong juga menemani tradisi Mande-mande ini. Cara memaafkannya adalah dengan mencorengkan bedak cair ke muka orang yang dimaafkan.
“Kalau dulu mungkin pakai tepung,” ujar Arthur.
“Itu artinya ‘kesalahan kamu telah saya maafkan’.”
Sama seperti tradisi Rabo-rabo, kesibukan orang-orang zaman sekarang membuat perayaan Mande-mande tak bisa dilakukan berlama-lama.
Sejarah keturunan Portugis di Kampung Tugu
Guru Besar Musikologi Institut Seni Yogyakarta, dalam bukunya Krontjong Toegoe yang diterbitkan pada 2011, kontak pertama Portugis dengan bangsa Indonesia di Pulau Jawa terjadi pada 1513.
Kala itu, armada dagang Portugis di bawah pimpinan Tomé Pires singgah di pelabuhan Sunda Kelapa, dalam pelayaran dari Malaka ke Maluku untuk mencari rempah-rempah.
Sejak 1511 Malaka memang telah diduduki oleh Portugis dengan bentengnya A Famosa yang dibangun oleh Afonso de Albuquerque.
Kehadiran orang Portugis di Sunda Kelapa lambat laun membentuk permukiman baru di sekitar pelabuhan, yang dihuni oleh kelompok mestizo, peranakan Portugis dengan perempuan pribumi.
Menurut peraturan kolonial Portugis kala itu, pribumi yang berasal dari mana pun dapat diterima sebagai orang Portugis dan berhak memakai nama Portugis apabila menjadi Katolik.
Pada 1641, kongsi dagang Belanda di Hindia Belanda, Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) berhasil merebut kekuasaan Portugis di Malaka, dengan membawa sejumlah tawanan perang ke Batavia.
Sebagian besar dari tawanan perang itu adalah orang Bengali dan Coromandel yang direkrut sebagai serdadu Portugis di Malaka.
Di Batavia, VOC memperlakukan tawanan serdadu Portugis sebagai budak dan melarang mereka beribadah secara Katolik. VOC kemudian menawarkan pembebasan mereka dengan syarat berpindah ke agama Kristen Protestan.
Setelah para tawanan Portugis itu menjadi pengikut Gereja Reformasi, mereka kemudian dibebaskan dari perbudakan dan kewajiban membayar pajak.
Mereka disebut sebagai kelompok merdequas, atau mardijkers menurut lafal Belanda.
Kata tersebut berasal dari istilah Sanskrit maharddhika, yang secara harafiah ‘orang yang dimerdekakan’.
Setelah bersedia berpindah agama, VOC kemudian memberikan mereka sebuah areal permukiman baru diluar kota Batavia, yang sekarang ini dikenal sebagai wilayah Kampung Tugu.
Dalam tesisnya Krontjong Toegoe sejarah kehadiran komunitas dan musiknya di Kampung Tugu, Cilincing, Jakarta Utara, Victor Ganap menyebut warga Kampung Tugu adalah keturunan dari sekelompok laskar laut Portugis asal Goa yang melarikan diri dari Maluku bersama keluarga mereka asal Pulau Banda, dan terdampar di pantai Cilincing.
“Akibat terisolasi dari kehidupan kota, mereka mengusir kesepian dengan bermain musik dan menyanyikan lagu-lagu Portugis,” ujar Victor dalam penelitiannya.
Musik mereka kemudian menjadi cikal bakal genre musikal Krontjong Toegoe.
Nama keluarga warga Kampung Tugu memiliki kesamaan dengan nama-nama Portugis atau Belanda.
Pada 2021, Balai Arkeologi Provinsi Jawa Barat mencatat ada enam dari 25 nama keluarga yang masih tersisa yakni Abrahams, Andries, Cornelis, Michiels, Broune, dan Quiko.
Baik Rabo-rabo maupun Mande-mande sudah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 2019.
Sebelumnya, Krontjong Toegoe yang sudah lebih dulu menyandang gelar warisan budaya pada tahun 2016.
Yang paling baru, bahasa Kreol Tugu ditetapkan sebagai warisan budaya oleh pemerintah pada tahun 2024.
Bahasa Kreol Tugu adalah bahasa hasil perpaduan budaya Portugis dan Melayu di tanah Betawi. Bahasa ini awalnya berfungsi sebagai bahasa rahasia di lingkungan orang Tugu.
“Waktu itu Malaka [adalah koloni] Portugis, tapi karena Portugis tidak mau mengajarkan [bahasa Portugis], masyarakat harus belajar sendiri,” jelas Arthur.
“Akhirnya bahasa itu menjadi bahasa Kreol. Oleh generasi selanjutnya, bahasa Kreol ini sendiri menjadi bahasa Ibu.”
Penuturnya yang terakhir, Oma Mimi Abrahams, meninggal dunia pada 2012.
Bahasa Kreol Tugu kini hanya tersisa melalui lagu-lagu lawas Krontjong Toegoe.
Arthur menjelaskan bahasa Kreol Tugu lambat laun ditinggalkan karena penggunaannya dilarang Belanda.
“Beruntung saya dan teman-teman yang lain masih main keroncong dan menyanyikan lagu-lagu berbahasa Kreol.”
“Dari situ, saya mulai mempelajari kata per kata. Kalau sudah terkumpul banyak, paling tidak bisa dijadikan buku saku,” ujarnya.
Data dari organisasi Ikatan Keluarga Besar Tugu, terdapat 150 keluarga atau sekitar 1.200 orang di Kampung Tugu.
Sebanyak 300 keluarga lainnya tersebar di wilayah Jabodetabek.
Rumah tua tempat lahirnya Krontjong Toegoe
Kini, Kampung Tugu mengalami banyak perubahan setelah menjadi kawasan industri.
Banyak warga keturunan Portugis di sana memilih menjual tanah mereka dan pindah ke wilayah lain.
Namun, keluarga Michiels memutuskan bertahan di tengah gempuran modernitas di rumah keluarga mereka yang dibangun sejak 1750-an.
Rumah ini diwariskan Lukas Andries kepada anak perempuannya, Arend Julinse Michels, pendiri Krontjong Toegoe.
Kelompok musik ini dia dirikan pada 1988 silam.
Rumah yang berfungsi sebagai sanggar musik Krontjong Toegoe itu kemudian direnovasi pada 2020.
Beberapa kali proses renovasi rumah terganggu karena terdampak banjir di tengah pembangunan Kampung Tugu menjadi kawasan industri.
Rumah itu kemudian diberi nama Roemah Toegoe—menggunakan ejaan lama—dan diresmikan pada 24 Desember 2023.
Sekarang, rumah ini menjadi embrio museum sejarah keturunan Portugis di Kampung Tugu.
Selain foto-foto lawas dari para leluhur Michiels, terdapat barang-barang antik seperti gramofon, mebel, dan alat-alat musik khas Krontjong Toegoe yang dipajang.
Salah satunya adalah gitar kecil berdawai lima, macina.
Selain macina, Krontjong Toegoe juga menggunakan alat-alat musik yang diadaptasi dari Portugis seperti gitar berdawai lima dengan ukuran sedang (prounga) dan besar (jitera).
Arthur Michiels, keturunan ke-10 keluarga Michiels, mengomandoi Krontjong Toegoe saat ini.
Arthur menjelaskan ciri khas dari Krontjong Toegoe yang langsung dapat ditangkap pendengar awam adalah penggunaan rebana—disebut pandeiro—atau alat musik tabuh seperti jimbe yang tidak digunakan grup keroncong lain.
Bagi Arthur, bukan hal yang aneh apabila mereka memainkan lagu populer seperti Feliz Navidad karya musikus Puerto Rico, José Feliciano.
“Lagu-lagu yang dibawakan Krontjong Toegoe tidak mesti lagu keroncong. Saya berprinsip: semua lagu adalah lagu keroncong,” ujar Arthur.
Arthur mengatakan keturunan keluarga Michiels yang tersisa di Kampung Tugu menjadikan rumah leluhur ini sebagai museum, warisan bagi generasi selanjutnya.
Bagi penerus keluarga Michiels, Arthur dan Lisa, semua ini mereka lakukan demi menjaga tradisi Tugu supaya tidak pupus.
“Tidak banyak orang seperti keluarga kami yang masih mau bertahan di tempat ini. Sudah enggak nyaman. Debu, berisik, dan seterusnya,” ujar Arthur.
“Tapi mau bagaimana lagi? Ada harga yang harus dibayar kalau kita ingin mempertahankan sesuatu.”
Baca juga:
- Mengapa Ukraina ubah perayaan Natal dari awal Januari ke 25 Desember?
- Kisah tentang iman dan kesuburan di sebuah kapel Betlehem
- Sekte Kristen kuno yang menjadikan perempuan sebagai pendeta
Baca juga:
- Apa saja tradisi selain Natal yang digelar setiap bulan Desember?
- ‘Kami sudah mengenal Natal sebelum nenek moyangmu menganut Kristen’ – Dampak lagu amal yang menstereotipe rakyat Ethiopia selama puluhan tahun
- Saturnalia: Tradisi Romawi kuno yang tergantikan oleh Natal, namun masih diperingati di sebuah kota di Inggris
Baca juga:
- Anak muda Batak Toba mengikuti tradisi ‘mangongkal holi’, apa pentingnya membongkar kubur leluhur?
- Belanda pulangkan benda bersejarah Kerajaan Singasari dan Kerajaan Badung Bali – ‘Kami ingin artefak itu dipulangkan ke tempat asal, bukan di Jakarta’
- Kisah di balik kode pos Indonesia yang terinspirasi lagu Dari Sabang Sampai Merauke
- Gereja ortodoks Rusia: ‘Mungkin kami harus hormati agama yang lebih dulu datang ke Indonesia’
- Kota Santa Claus, kota dengan semangat Natal sepanjang tahun.
- Malam Kudus, lagu Natal paling disukai di dunia, diciptakan 200 tahun lalu sebagai pesan perdamaian
- Basuluak, tradisi ‘mengasingkan diri’ selama Ramadan di Sumatra Barat yang kian memudar
- ‘Tidak ada lagi yang menggantikan kami’ – Sikerei, penjaga tradisi Mentawai yang perlahan hilang ditelan zaman
- Lukisan hewan tertua di dunia ditemukan di Sulawesi Selatan