Mengenal Indo Bharat Rayon, Penjerat Sritex ke Jurang Pailit
Bisnis.com, JAKARTA – PT Sri Rejeki Isman Tbk atau Sritex (SRIL) kalah dalam upaya hukum melawan gugatan pailit di tingkat kasasi.
Adapun, Sritex beserta anak perusahaan lainnya yaitu, PT Sinar Pantja Djaja, PT Bitratex Industries, dan PT Primayudha Mandirijaya, resmi dinyatakan pailit oleh Pengadilan Negeri (PN) Niaga Semarang lewat putusan PN Semarang atas perkara nomor 2/Pdt.Sus-Homologasi/2024/PN Niaga Smg.
Pemohon perkara tersebut yaitu PT Indo Bharat Rayon yang mengajukan pembatalan putusan PN Semarang No. 12/Pdt.Sus PKPU/2021.PN.Niaga.Smg pada 25 Januari 2022 terkait Pengesahan Rencana Perdamaian (Homologasi), dengan pihak termohon lantaran lalai dalam memenuhi kewajiban pembayaran.
Baca Juga : Wamenaker Duga Ada ‘Tangan Setan’ di Balik Kepailitan Sritex
Sritex berupaya untuk berkelit dari jerat pailit dengan mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA). Namun, MA menolak permohonan kasasi Sritex. Sidang putusan kasasi Sritex berlangsung pada Rabu (18/12/2024).
Sementara itu, Wakil Menteri Ketenagakerjaan Immanuel Ebenezer Gerungan menduga adanya sosok yang bermain di balik kepailitan Sritex. Namun sayangnya, dia tak menjelaskan siapa sosok yang dimaksud.
Baca Juga : : Pailit Sritex Inkrah, Misi Penyelamatan Pekerja Berlanjut
“Kami menduga, dugaan dalam proses kepailitan ini ada ‘tangan setan’ yang bermain, itu harus dicatat,” kata Immanuel dalam konferensi pers di Kantor Kementerian Ketenagakerjaan, Jakarta, Senin (23/12/2024).
Namun demikian, Immanuel menyampaikan bahwa pihaknya menghormati setiap keputusan hukum yang telah ditetapkan oleh Mahkamah Agung.
Baca Juga : : Nasib Sritex Setelah Dinyatakan Pailit, Airlangga: Kami Restrukturisasi
“Kami tetap menghormati keputusan yang sudah menjadi hak lembaga hukum,” ujarnya.
Profil Indo Bharat Rayon
Indo Bharat Rayon merupakan salah satu lini usaha yang terafiliasi dengan konglomerasi bisnis asal India, Aditya Birla Group. Perusahaan ini berdiri dan mulai beroperasi pada 1980.
Melansir laman resmi perusahaan, lokasi pabrik Indo Bharat Rayon (IBR) berada di Purwakarta di Jawa Barat. PT IBR memulai produksi komersial pada 1986 dengan kapasitas sederhana sebesar 16.500 tpa.
Adapun, perseroan terus mengembangkan lini bisnisnya dan saat ini pabrik tersebut memiliki kapasitas terpasang lebih dari 200.000 tpa. IBR mengklaim telah menjadi produsen Viscose Stable Fiber alias VSF terbesar kedua di dunia di satu lokasi.
PT IBR memproduksi berbagai macam VSF dalam spesifikasi rekayasa untuk aplikasi tekstil dan non-woven. Perusahaan tersebut juga memproduksi bahan kimia seperti natrium sulfat anhidrat dan asam sulfat. Natrium sulfat anhidrat banyak digunakan dalam industri deterjen, kaca, pewarnaan tekstil, dan pulp serta kertas di pasar domestik maupun luar negeri.
Saat ini, IBR tidak hanya menikmati pangsa pasar domestik yang dominan tetapi juga melayani berbagai macam pelanggan di AS, Eropa, Turki, Jepang, Korea, Cina, Maroko, Filipina, Malaysia, dan lokasi global lainnya di segmen tekstil dan non-woven.
Dalam laporan tahunan Sritex (SRIL) tahun 2014, Indo Bharat Rayon bersama dengan PT South Pasific Viscose disebut sebagai dua pemasok serat rayon terbesar di Indonesia.
Grup Sritex sejatinya juga telah memiliki pabrik serat rayon sendiri yakni PT Rayon Utama Makmur (RUM), hanya saja operasional perusahaan ini selalu terganjal oleh persoalan bau limbah produksi yang banyak diprotes warga Sukoharjo.
Sementara itu, Direktur Keuangan Sritex Welly Salam mengatakan, PT IBR merupakan salah satu kreditur utang dagang perseroan. Namun, tidak terdapat nama IBR pada laporan keuangan perseroan.
Alasannya, lanjut Welly, karena seluruh kreditur yang termasuk sebagai utang dagang tercantum dalam utang usaha dengan pihak ketiga. Setelah adanya putusan pailit, SRIL masih memiliki sisa utang sebesar Rp101,3 miliar (Rp101.308.838.984) kepada IBR.
“Perseroan masih memiliki nilai utang tersisa sebesar Rp101,3 miliar kepada IBR, yang mana berdasarkan laporan keuangan konsolidasian per 30 Juni 2024, mencerminkan 0,38% dari total liabilitas perseroan,” ujar Welly dalam keterangannya di laman Bursa Efek Indonesia (BEI), dikutip Sabtu (26/10/2024).
Menurutnya, IBR merasa tidak menerima pembayaran kewajiban Grup Sritex berdasarkan Putusan Homologasi sejak Juli 2023, yakni pembayaran secara cicilan bulanan sejumlah US$17.000, dan/atau akan dilunaskan secara penuh pada tanggal jatuh tempo.
“Grup Sritex memandang bahwa ketentuan tersebut tidak bersifat kumulatif dan pada faktanya Grup Sritex telah melakukan sejumlah pembayaran yang lebih daripada ketentuan minimum yang ditentukan Putusan Homologasi,” jelasnya.
Berdasarkan laporan keuangan 2023, Sritex memiliki total liabilitas US$1,6 miliar. Total itu mencakup liabilitas jangka pendek US$113 juta dan liablitas jangka panjang US$1,49 miliar.
Liabilitas jangka pendek Sritex termasuk utang jangka pendek US$11 juta, utang usaha jangka pendek US$31,86 juta, dan surat utang jangka menengah US$5 juta.
Adapun, liabilitas jangka panjang Sritex didominasi oleh utang bank US$858,04 juta, obligasi neto US$371,86 juta, dan utang usaha jangka panjang kepada pihak berelasi US$92,51 juta.
Manajamen Sritex menyampaikan SRIL telah mencatat rugi neto pada 2023 sebesar US$174,84 juta. Pada saat yang sama, SRIL melaporkan defisit dan defisiensi modal pada masing-masing sebesar US$1,16 miliar dan US$954,82 juta.