NASA Ungkap Asal Cahaya Misterius di Arktik pada Malam Hari, Apa Itu?
KOMPAS.com – Kawasan Arktik di Kutub Utara dikenal dengan iklim beku berselimut salju yang tidak ramah bagi manusia.
Namun, selama beberapa tahun terakhir, wilayah yang biasanya dingin ini menghangat sekitar empat kali lebih cepat daripada bagian lain planet Bumi.
Kondisi itu menguak permukaan lain dari Kutub Utara Bumi, yang memungkinkan manusia membangun peradaban baru.
Dan baru-baru ini, Badan Penerbangan dan Antariksa Amerika Serikat (NASA) juga menangkap cahaya misterius yang menghiasi Arktik pada malam hari.
Cahaya apakah itu?
Baca juga: Ratusan Tahun Berlalu, Identitas Pelaut Ekspedisi Arktik Franklin Terungkap dari Gigi
Cahaya misterius di Arktik pada malam hari
Dilansir dari NASA Earth Observatory, Senin (9/12/2024), tim peneliti berhasil memotret pencahayaan tak biasa di permukaan Arktik dengan memanfaatkan data dari Program Satelit Meteorologi Pertahanan Amerika Serikat (AS).
Cahaya tersebut merupakan bukti peningkatan aktivitas dan pembangunan industri di wilayah Arktik, seiring suhunya yang menghangat.
Tim menemukan, pencahayaan buatan di Arktik meningkat sebesar 5 persen setiap tahun, antara tahun 1992 dan 2013.
Selama rentang waktu 21 tahun itu, 605.000 kilometer persegi lanskap Arktik berubah dari gelap gulita menjadi terang.
“Hanya 15 persen dari area Arktik yang bercahaya selama periode penelitian berisi permukiman manusia seperti rumah atau gedung apartemen,” kata Zhuosen Wang, anggota tim peneliti dan ilmuwan di Goddard Space Flight Center NASA.
Hal itu menunjukkan, sebagian besar cahaya buatan di sana berasal dari aktivitas industri, bukan pembangunan perkotaan atau perumahan.
Pembangunan industri yang dimaksud sendiri mencakup industri ekstraktif, seperti pengeboran minyak dan gas serta pertambangan.
Baca juga: Misi Penelitian Terbesar di Kutub Utara Berakhir, Ini Temuan Ilmuwan
Aktivitas industri di Kutub Utara meningkat
Dikutip dari Newsweek, Senin, studi oleh peneliti NASA ini menemukan perbedaan mencolok di seluruh wilayah Arktik.
Tim peneliti menemukan, wilayah ekstraksi minyak dan gas di Rusia utara, negara bagian Alaska di AS, dan Arktik Eropa merupakan titik panas untuk cahaya buatan.
Sementara itu, area Arktik di wilayah Kanada, sebagian besar masih gelap tanpa cahaya.
Arktik di kawasan Rusia mengalami peningkatan area terang terbesar, yakni 439.048 kilometer persegi selama periode penelitian.
Terutama, peningkatan cahaya di Khanty-Mansi seluas 114.426 kilometer persegi dan Yamal Nenets seluas 107.837 kilometer persegi.
Khanty-Mansi, daerah rawa yang luas di dataran Siberia bagian barat, merupakan rumah bagi Samotlor, salah satu ladang minyak terbesar di dunia.
Meskipun Khanty-Mansi mengalami perluasan aktivitas manusia yang signifikan selama periode penelitian, tim juga menemukan beberapa penurunan di area yang bercahaya.
“Industri ekstraktif mengikuti fase siklus hidup perluasan dan penyusutan. Itulah sebabnya kita melihat pengurangan cahaya buatan di beberapa tempat yang bergantung pada minyak, gas, atau pertambangan, tanpa permukiman manusia dan diversifikasi ekonomi yang signifikan,” kata Wang.
Pada 2013, total area bercahaya di wilayah ekstraksi minyak dan gas di area Arktik Rusia adalah 339.000 kilometer persegi, hampir seukuran Jerman.
Sementara, total area bercahaya di Arktik Eropa adalah 159.000 kilometer persegi, sedangkan Arktik Amerika Utara seluas 49.000 kilometer persegi.
Tim peneliti juga mengidentifikasi tambang yang digunakan untuk mengekstraksi mineral lain, seperti Tambang Red Dog di Alaska, Amerika Serikat.
Tambang tersebut diakui sebagai produsen seng terbesar kedua di dunia pada 2018.
Baca juga: Rusia Temukan Cadangan Minyak 511 Miliar Barel di Antarktika, Ancam Masa Depan Benua Beku?
Identifikasi perubahan aktivitas industri
Seluruh data dari Program Satelit Meteorologi Pertahanan AS digunakan sebagai dasar untuk analisis lebih lanjut oleh tim peneliti NASA.
Selanjutnya, tim Black Marble NASA yang dipimpin oleh Wang bekerja dengan data yang lebih baru dan beresolusi lebih tinggi dari instrumen Visible Infrared Imaging Radiometer Suite pada satelit NASA-NOAA (Administrasi Kelautan dan Atmosfer Nasional AS).
Meskipun data ini dapat mendeteksi sumber cahaya redup, tim menghadapi beberapa tantangan, seperti perlunya menyaring cahaya alami dari aurora dan salju yang diterangi Bulan.
“Dengan menyediakan wawasan real-time dan beresolusi tinggi, kami akan dapat mengidentifikasi perubahan aktivitas industri dengan lebih baik,” ujar Wakil Direktur Bidang Atmosfer di Goddard Space Flight Center NAS, Miguel Roman.
Dia pun menambahkan, “Analisis ini dapat membantu memastikan pengelolaan sumber daya yang bertanggung jawab dan melindungi ekosistem yang sangat penting bagi stabilitas lokal dan global.”