Informasi Terpercaya Masa Kini

Menelaah Industri Fesyen: Sejauh Mana Laki-Laki Memegang Kendali

0 1

Fesyen selalu menjadi ruang penuh inovasi dan kreativitas tanpa batas dengan tren yang bergulir super cepat.

Menariknya, di balik gemerlap pergelaran fashion show dan ajang red carpet dengan warna-warni selebritas berbusana glamor, terdapat ironi yang acap kali luput dari perhatian.

Siapa sangka, industri yang produknya mayoritas menargetkan pasar dari kalangan perempuan ini masih banyak dipimpin oleh laki-laki?

Kuatnya kehadiran laki-laki di industri fesyen tak hanya berkaitan dengan sosok-sosok kreatif di balik jenama fesyen, melainkan juga level pemimpin di perusahaan ritel fesyen terkemuka.

Laporan Tracking Female Leadership in the Apparel Industry oleh Pricewaterhouse Coopers (PwC) pada 2019 menyebutkan 78 persen pelajar di sekolah fesyen ternama adalah perempuan. Perempuan juga banyak yang bekerja di toko-toko pakaian.

Sayangnya, hanya 12 persen perempuan yang menduduki posisi CEO di perusahaan ritel fesyen.

Di satu sisi, perempuan adalah kelompok demografi yang mendominasi pengambil keputusan dalam pembelian produk-produk fesyen.

Di laporan yang sama disebutkan, sebanyak 80 persen pembelian produk fesyen dilakukan oleh perempuan, tak hanya untuk dirinya sendiri melainkan juga untuk pasangan dan anak.

Idealnya, dengan besarnya andil perempuan dalam pembelian produk-produk fesyen, maka keterwakilan mereka di industri ini juga harus lebih besar dibandingkan laki-laki, bukan?

Situasi ini bukan kebetulan, akan tetapi dibentuk oleh kondisi historis sosial dan budaya yang mengawali industri fesyen sedari lama.

Menilik sejarahnya, laki-laki telah menjadi penentu pakaian yang dikenakan oleh perempuan sejak zaman kuno.

Hal ini dapat dikaitkan dengan kedudukan sosial laki-laki yang kerap diposisikan sebagai pemimpin di berbagai lini kehidupan.

Pada kemudian hari, dominasi laki-laki terus berlanjut karena mereka memiliki akses lebih baik ke pendidikan, informasi, dan peluang bisnis.

Seiring dunia mode mulai berkembang menjadi industri modern, persisnya pada abad ke-19, seorang laki-laki asal Inggris, Charles Frederick Worth, mulai dikenal dan diakui sebagai figur desainer fesyen yang berpengaruh di Eropa.

Dielu-elukan sebagai Father of Haute Couture, Worth membangun jaringan industri fesyen di Paris melalui rumah mode House of Worth pada 1858.

House of Worth berupaya untuk memenuhi kebutuhan busana mewah dan megah kalangan bangsawan dan kaum elite.

Memasuki abad ke-20, desainer perempuan mulai unjuk gigi. Dimulai oleh Jeanne Paquin yang membuka butik pertamanya, Jeanne Paquin’s Maison de Couture, pada 1891 di Paris, disusul oleh Jeanne Lanvin, Ann Lowe, Coco Chanel, dan Elsa Schiaparelli.

Namun demikian, sampai hari ini, figur perempuan di industri fesyen masih cenderung dibayang-bayangi oleh popularitas laki-laki. Laki-laki masih menjadi penggerak utama di balik industri fesyen perempuan.

Terlebih dari itu, mengutip situs Istituto Marangoni, mulai nampak tren dari kalangan rumah mode yang riwayatnya selama ini dimiliki atau dipimpin oleh perempuan, kini dikepalai oleh direktur kreatif laki-laki.

Sebut di antaranya label mode asal Italia, Blumarine, yang dinakhkodai oleh sang pendiri Anna Molinari dan putrinya Rossella Tarabini.

Tahun lalu, selama satu musim, mereka menunjuk Walter Chiapponi sebagai direktur kreatif laki-lakinya yang kedua, setelah Nicola Brognano.

Pada Paris Fashion Week awal tahun ini, Seán McGirr tampil perdana sebagai direktur kreatif rumah mode Lee Alexander McQueen. McGirr menggantikan Sarah Burton yang sudah 13 tahun lamanya memimpin di sana.

Menurut laporan Shattering the Glass Runway yang diterbitkan oleh McKinsey bersama Glamour dan Council of Fashion Designers of America (CFDA) pada 2018, terdapat sejumlah penyebab ketimpangan gender di industri fesyen.

Salah satunya disebabkan oleh rendahnya kesadaran laki-laki tentang isu ini. Lebih dari 50 persen laki-laki peserta survei menganggap tidak ada ketidaksetaraan gender di industri fesyen. Akibatnya, tindakan untuk mengatasi masalah tersebut sangat minim.

Penyebab lainnya berkaitan dengan perspektif dan pengalaman perempuan.

Lebih banyak partisipan perempuan yang menganggap pengembangan karier di perusahaan fesyen lebih sulit karena ketidakjelasan jenjang karier bagi mereka.

Selain itu, lebih sedikit perempuan yang menerima masukan, saran, dan mentoring atau bimbingan dalam pengembangan karier mereka daripada laki-laki.

Satu hal lagi yang menjadi penyebabnya adalah tuntutan perempuan sebagai orang tua yang membuat mereka lebih banyak menghadapi tantangan dalam berkarier.

Aturan perusahaan yang kurang mendukung dan tidak fleksibel juga membuat perempuan semakin kesulitan menyeimbangkan tugasnya untuk karier dan keluarga.

Meski begitu, menurut Andandika Surasetdja, desainer fesyen pendiri brand MORAL dan Creative Director Jakarta Fashion Week (JFW), isu gender di industri fesyen sudah mulai mendapat sorotan untuk menuju ke arah lebih baik.

“Fesyen adalah dunia yang tidak pernah tunduk pada aturan patriarki. Kalau laki-laki terlihat lebih mendominasi, itu mungkin karena sejarah memberi mereka akses lebih dulu ke pendidikan dan jaringan bisnis. Tapi, sekarang? Permainan sudah berubah.”

Dalam beberapa dekade terakhir, perempuan semakin mengambil peran penting di industri fesyen dan membawa perspektif baru yang segar ke dunia ini.

Belakangan ini pula, startup fesyen dan jenama yang didirikan oleh perempuan maupun dipimpin oleh perempuan mulai bermunculan.

Sebut di antaranya jenama ME+EM dari Inggris, desainer kelahiran Albania Nensi Dojaka, sampai desainer Josephine Bergqvist dan Livia Schück asal Swedia yang mengutamakan prinsip upcycle dalam produk-produknya untuk jenama Rave Review.

Menurut Andandika, kesetaraan sangat penting karena perempuan memiliki pengertian yang mendalam terhadap kebutuhan perempuan sendiri.

“Karya desainer perempuan itu seperti percakapan dengan sahabat dekat: hangat, intim, dan penuh pengertian. Mereka menciptakan busana dengan pendekatan from women, for women. Mereka mengerti kebutuhan, memahami lekuk tubuh, dan memperhatikan detail kecil yang sering terlewat. Hasilnya adalah busana yang tidak hanya cantik, tapi juga terasa nyaman, relevan, dan personal,” jelas Andandika.

Pada waktu sama, Andandika mengingatkan bahwa kualitas sebuah karya fesyen tak tergantung pada gender semata.

Menurut Andandika, dunia fesyen dapat dianalogikan seperti palet warna sehingga tidak ada yang lebih unggul, melainkan perspektif yang berbeda. Justru dari perbedaan itulah dunia fesyen terus berkembang secara dinamis.

Indonesia, sebagai salah satu negara dengan perkembangan fesyen yang pesat, telah menunjukkan langkah maju dalam merangkul kesetaraan gender di industri fesyen.

Jakarta Fashion Week, salah satu platform mode terbesar di Asia Tenggara, menjadi cerminan dari inklusivitas ini.

“Di Indonesia, fesyen adalah ruang yang bebas dan inklusif; panggung untuk semua suara, baik dari sisi desain, cerita, maupun perspektif yang beragam. Jakarta Fashion Week adalah bukti nyata bagaimana keberagaman itu dirayakan,” jelas Andandika.

“Dalam tiga tahun terakhir, kami memastikan runway JFW menjadi cerminan kondisi masyarakat: perancang mode perempuan, laki-laki, dan bahkan yang melampaui batasan gender tradisional, semuanya mendapat tempat untuk bersinar,” lanjutnya.

Menurutnya, hal ini tidak terlepas dari pemikiran bahwa konsumen masa kini memiliki kepedulian lebih terhadap nilai-nilai dari sebuah brand fesyen, termasuk keberagaman dan inklusivitas.

Apabila dulu konsumen cenderung memilih pakaian hanya berdasarkan kecocokan gaya, saat ini mereka juga mempertimbangkan nilai-nilai tersebut, termasuk menghargai cerita dan prinsip di balik sebuah karya fesyen.

Kondisi inilah yang membuka peluang besar untuk meningkatkan kesetaraan dan inklusivitas di industri fesyen, baik pada hari ini maupun masa mendatang.

Tidak bisa dimungkiri, upaya mencapai kesetaraan gender di industri fesyen masih perlu untuk terus diperjuangkan.

Meski begitu, saat ini sudah mulai banyak inisiatif dilakukan dengan semakin terbukanya akses bagi pecinta fesyen untuk mengembangkan karier, program pendidikan yang inklusif, dan konsistensi penyelenggaraan ajang-ajang fesyen.

Langkah-langkah inilah yang berpotensi membuka pintu kemajuan bagi sosok-sosok kreatif berbakat dari berbagai latar belakang.

Kita sebagai konsumen juga memiliki peran dalam mendorong perubahan ini.

Dengan mendukung produk-produk dari jenama, pendiri, maupun desainer yang mencerminkan nilai-nilai inklusivitas, artinya kita sudah ikut membantu membentuk ekosistem dalam industri fesyen yang semakin berkeadilan.

Leave a comment