Fenomena Gaya Hidup Slow Living di Tengah Ketidakpastian Ekonomi
Auliya (23) memilih untuk menerapkan gaya hidup slow living di tengah kondisi ketidakpastian ekonomi saat ini. Di tengah rutinitasnya yang padat, ia acap kali meluangkan waktu lebih banyak untuk kegiatan-kegiatan yang sederhana. Mulai dari menikmati waktu berkualitas sendiri, berolahraga, atau sekadar menikmati secangkir kopi dengan teman-temannya.
“Saya lebih banyak meluangkan waktu di luar. Biasanya sebelum atau setelah kerja main dulu di luar. Ini lebih untuk menghibur diri aja di tengah rutinitas pekerjaan,” ujar wanita asal Tangerang Selatan tersebut kepada Tirto, Selasa (10/12/2024).
Slow living adalah mindset menjalani hidup lebih bermakna dengan memprioritaskan hal yang paling berharga bagi diri kita. Sering kali, hal ini berarti memprioritaskan waktu secara tepat untuk hal-hal paling berarti dalam hidup. Tujuan utamanya mencari keseimbangan dalam kehidupan kerja, sosial, dan pribadi.
Contoh lain dari slow living adalah hidup dalam kesederhanaan. Artinya tidak perlu mengejar atau memiliki sesuatu berlebihan yang sebenarnya tak diinginkan. Contoh paling sederhana ketika seseorang memutuskan membeli sesuatu dengan kesadaran penuh (mindful).
Dalam urusan kepemilikan barang misalnya, Auliya sendiri lebih memilih harga yang lebih terjangkau namun dengan kualitas yang tetap bagus. Karena bagi dia, yang dilihat adalah fungsi kegunaanya bukan seberapa mahal atau murah barang tersebut.
“Membeli barang secukupnya, sesuai dengan kebutuhan, menghindari membeli barang yang kurang berguna seperti aksesoris dan sebagiannya,” ujar Auliya.
Senada dengan Auliya, Puput mulai belajar dan menerapkan konsep slow living belakangan ini. Ia mulai belajar untuk menerapkan pola hidup yang sederhana atau minimalis. Hal Ini dimulai dengan membeli barang-barang sesuai dengan apa dibutuhkan.
“Insyaallah pas ada uangnya ya pas bisa beli kebutuhannya, gitu aja,” ujarnya kepada Tirto, Selasa (10/12/2024).
Sebagai pekerja Jakarta, dikenal dengan ritme kehidupan yang cepat dan penuh tekanan, Puput juga mulai menyadari pentingnya keseimbangan antara pekerjaan dan waktu bersama keluarga. Untuk menjaga kesehatan mentalnya, perempuan tinggal di Bekasi itu meluangkan waktu bersama suami dan anak-anaknya saat libur.
“Paling enggak ya seminggu sekali, meluangkan waktu bersama keluarga di luar saat weekend, karena anak kan sudah sekolah dan kami orang tuanya juga bekerja. Ke mana? Biasanya sih paling dekat kayak olahraga pagi jogging ke luar rumah aja,” ujar dia.
Baca juga:
- Fenomena Lipstick Effect: Mendorong Utang, Menggerus Tabungan
- Nestapa Rakyat di 2025: Ekonomi Tak Pasti, Banyak Iuran Menanti
Menjaga Kesehatan Mental dan Fisik Peneliti Next Policy, Dwi Raihan, melihat fenomena slow living adalah gaya hidup yang lebih lambat dan lebih menekankan kualitas daripada kuantitas. Gaya hidup ini sebenarnya sudah ada sejak lama, namun mulai tren kembali terutama saat pandemi hingga saat ini.
Slow living tidak hanya menjadi pilihan dalam menjalankan gaya hidup. Namun juga karena suatu kondisi. Misalnya kondisi saat pandemi, ketersediaan lapangan pekerjaan, biaya hidup yang terus naik, pendapatan yang tidak mampu mengimbangi kenaikan tersebut, memaksa sebagian pekerja menjalankan slow living.
“Jakarta sebagai pusat ekonomi dan bisnis memaksa orang untuk bekerja cepat dan mobilitas yang tinggi. Ditambah, selalu dihadapkan masalah kota seperti polusi dan macet. Tentu ini berdampak bagi kesehatan fisik dan mental. Maka, slow living memberikan solusi atau meminimalisir masalah tersebut,” ujar Raihan kepada Tirto, Selasa (10/12/2024).
Bagi pekerja Jakarta, kata Raihan, gaya hidup ini tentu saja berdampak positif bagi kesehatan mental. Dengan menerapkan gaya hidup ini, mereka terhindar dari stress, cemas bahkan depresi. Di samping mereka dapat menemukan kepuasaan nonmoneter. Karena dengan mengurangi konsumsi berlebih, utang yang tidak perlu, hingga gaya hidup sederhana memberikan dampak positif bagi keuangan mereka.
“Uang yang biasanya digunakan untuk konsumsi bahkan doom spending akibat frustasi, dapat dialihkan untuk tabungan maupun investasi,” ujar dia.
Slow living sendiri, lanjut Raihan, jangan kemudian disalah pahami. Sebab, slow living bukan mengasingkan diri, tertutup pada dunia luar dan bermalas-malasan. Namun, jika ini yang diterapkan, maka berdampak buruk bagi produktivitas dan pada akhirnya bagi ekonomi.
Baca juga:
- Janji Bohong Investasi Bodong Tambah Beban Kelesuan Ekonomi
- Melihat Prospek Tren Investasi Kripto usai Trump Menang Pilpres
Hidup Tak Sekadar Mengejar Materi Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, menilai bahwa fenomena slow living ini sebagai antitesis dari tekanan kerja yang meningkat. Bahkan fenomena slow living ini sudah mulai marak di banyak negara maju seperti Jepang, Denmark, Finlandia, Norwegia, termasuk juga di Indonesia sebagai negara berkembang.
“Ini menjadi respons bahwa hidup ini tidak sekadar mengejar materi, tapi juga ada kebahagiaan,” ujar Bhima kepada Tirto, Selasa (10/12/2024).
Bhima mengatakan bentuk-bentuk slow living itu salah satunya adalah empat hari kerja dalam seminggu. Ini adalah bentuk slow living sebagai respons bahwa ternyata kerja dengan waktu panjang belum tentu efektif. Apalagi sekarang sudah banyak bantuan teknologi.
“Sehingga seharusnya kerja itu harus singkat waktu lebih banyak bermain dengan anak, dengan keluarga, bisa meneruskan hobi-hobi yang tertunda dibandingkan kerja hanya untuk mengejar produktivitas,” ujar dia.
Konsep tersebut, tentu saja efeknya masif dikalangan anak-anak Gen Z dan Milenial. Bahkan beberapa turunan dari slow living di sudah dalam tahap menarik. Di mana banyak anak muda kembali ke desa, kembali bekerja di sektor pertanian, menikmati hidup di pedesaan.
“Sehingga mereka tetap mendapatkan penghasilan yang besar. Sementara tekanan kerjanya berkurang. Itu namanya slow living,” kata Bhima.
Bhima menambahkan, dengan menerapkan konsep slow living, menjadi satu hal membuat seseorang berpikir ulang tentang apa itu Produk Domestik Bruto (PDB) dan pertumbuhan ekonomi. Juga berpikir tentang bagaimana indeks kebahagiaan dan indeks kesejahteraan mereka.
“Bahwa yang lebih penting kan sehat daripada sekedar uang banyak di tabungan. Jadi itu slow living punya pengaruh besar bagi generasi muda saat ini,” ujar dia.
Baca juga:
- Menakar Untung Rugi PPN 12% untuk Barang Mewah
- Belajar Merasa Cukup Bersama Komunitas Joli Jolan
Ekonom Celios lainnya, Nailul Huda, menambahkan, konsep slow living terjadi karena ada perubahan pola dan preferensi pekerja di Jakarta seiring dengan banyaknya pekerja gen milenial dan gen Z yang mulai melihat work-life balance. Secara sederhana, ini diartikan sebagai bentuk keseimbangan antara tanggung jawab pekerjaan dan kehidupan pribadi.
“Adanya perspektif ini membuat permintaan pekerjaan juga sangat selektif dan jika bisa dilakukan secara remote working. Terlebih saat ini, untuk pekerjaan banyak yang menawarkan berbagai kemudahan melalui teknologi. Jadi ini mendorong pekerja saat ini untuk hidup di kota yang secara work-life balance,” kata Huda kepada Tirto, Selasa (10/12/2024).
Selain itu, biaya hidup di kota-kota slow living juga dianggap lebih murah. Bayaran Jakarta, tapi biaya hidup lebih rendah, pasti banyak dicari oleh gen milenial dan gen Z. Selain itu, sistem transportasi juga sudah berkembang dengan adanya kereta api, bandara (sebagian), dan jalan tol.
“Maka akses mereka ketika ada kegiatan di Jakarta menjadi mudah. Dan itu baik untuk pemerataan peredaraan uang,” kata Nailul Huda.
Baca juga:
- Hujan Pungutan di 2025: Kredit Terancam, Rakyat Makan Tabungan
- Kontradiksi Bahlil dan Komitmen Setengah Hati Transisi Energi