Tokyo Terapkan Aturan Kerja 4 Hari dalam Sepekan Mulai April 2025
Ibu Kota Jepang, Tokyo, akan memberlakukan kebijakan empat hari kerja dalam seminggu untuk pegawai negeri mulai April 2025. Dengan demikian, pegawai negeri sipil (PNS) di Tokyo akan mendapatkan tiga hari libur dalam sepekan.
Gubernur Tokyo Yuriko Koike mengatakan, kebijakan ini bertujuan untuk menciptakan fleksibilitas di tempat kerja, terutama untuk perempuan yang diharapkan dapat menyeimbangkan antara karier dengan tanggung jawab keluarga.
“Kami akan meninjau gaya kerja dengan fleksibilitas, memastikan tidak ada seorang pun yang harus melepaskan karier mereka karena beberapa alasan seperti melahirkan atau mengasuh anak,” kata Yuriko dikutip dari CNN, Jumat (13/12).
Menurut Yuriko, ini merupakan waktu yang tepat dirinya membuat kebijakan untuk melindungi dan meningkatkan kualitas hidup, mata pencaharian, dan perekonomian masyarakat di saat masa sulit ini.
Tingkat kesuburan Jepang, yang telah mengalami penurunan drastis selama bertahun-tahun, kembali mencapai rekor terendah pada bulan Juni, bahkan ketika pemerintah meningkatkan upaya untuk mendorong generasi muda untuk menikah dan memiliki keluarga baru.
Menurut Kementerian Kesehatan, Tenaga Kerja dan Kesejahteraan Jepang, hanya ada 727.277 kelahiran tercatat tahun lalu, dengan tingkat kesuburan dan jumlah anak yang dimiliki seorang wanita sepanjang hidupnya turun ke titik terendah yaitu 1,2. Agar suatu populasi tetap stabil, diperlukan tingkat kesuburan sebesar 2,1.
Seperti di negara lain, perempuan seringkali berada di bawah tekanan untuk memilih antara karier atau keluarga. Di samping itu, budaya kerja lembur di Jepang membuat kehamilan dan membesarkan anak menjadi hal yang sangat menakutkan.
Bank Dunia mencatat, kesenjangan gender dalam partisipasi angkatan kerja di negara tersebut, yaitu 55 persen untuk perempuan dan 72 persen untuk laki-laki pada tahun lalu. Angka tersebut lebih tinggi dibandingkan negara-negara berpenghasilan tinggi lainnya.
Pemerintah Jepang juga telah mendorong serangkaian kebijakan untuk memperbaiki krisis populasi, termasuk memastikan laki-laki dapat mengambil cuti melahirkan, sementara pemerintah daerah lainnya juga telah memperkenalkan langkah-langkah untuk memperbaiki kondisi kerja.
Sementara itu, sejumlah Sosiolog di Jepang mengaitkan rendahnya angka kelahiran dengan budaya kerja Jepang yang tidak kenal ampun dan meningkatnya biaya hidup.
Jam kerja yang melelahkan telah menjadi masalah bagi perusahaan Jepang, di mana para pekerja sering kali mengalami gangguan kesehatan hingga kematian karena terlalu banyak bekerja.
Kebijakan empat hari kerja dalam sepekan bertentangan dengan perusahaan di Jepang yang sering menyamakan waktu yang dihabiskan di tempat kerja dengan loyalitas kepada perusahaan.
Tokyo bukan satu-satunya negara di Asia yang menerapkan kebijakan yang lebih ramah untuk keluarga. Awal tahun ini, Singapura memperkenalkan kebijakan baru yang mewajibkan semua perusahaan untuk mempertimbangkan permintaan karyawan mengenai pengaturan waktu kerja yang fleksibel.