Beda Hasil Dukungan Jokowi di Solo: Respati Menang, Lutfhi Kalah
Hasil rekapitulasi Pilkada Surakarta 2024 telah dirilis KPU Surakarta pada Rabu (4/12/2024) lalu. Hasilnya menunjukkan Pasangan Calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota Surakarta nomor urut 2, Respati Ardi-Astrid Widayani, unggul dari Paslon Teguh Prakosa-Bambang Nugraha. Respati-Astrid berhasil mendulang 185.970 suara, sedangkan Teguh-Bambang memperoleh 121.471 suara.
Respati-Astrid diusung oleh koalisi partai KIM Plus, sedangkan Teguh-Bambang diusung oleh PDIP. Oleh karena itu, kemenangan Respati-Astrid ini sekaligus meruntuhkan dominasi PDIP di Surakarta yang bertahan selama 24 tahun belakangan.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa calon-calon kepala daerah yang diusung KIM Plus juga mendapat dukungan dari Presiden ke-7 Indonesia, Joko Widodo. Maka tak terkecuali Respati-Astrid dan juga Cagup-Cawagub Jawa Tengah, Ahmad Luthfi-Taj Yasin.
Dalam berbagai kesempatan, Respati juga mengaku selalu diberi pesan oleh Jokowi untuk melanjutkan serta mewujudkan visinya untuk Surakarta ke depan.
Beberapa hari sebelum debat perdana Pilkada Surakarta dilaksanakan, misalnya, Respati menyempatkan diri menemui Jokowi.
“[Jokowi] menyampaikan pesan-pesan. Dipastikan agar program-program nasional tetap berpihak pada masyarakat. Penekanannya, ya Solo biar adem-ayem, nyaman,” ungkapnya kepada wartawan selepas debat perdana berlangsung, Kamis (31/10/2024).
Saat disinggung soal seberapa penting peran Jokowi untuk kemenangannya, Respati menyebut sangat penting karena Jokowi merupakan tokoh yang dihormati.
Menurut pengamat sosiologi politik dari Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Rezza Dian Akbar, kemenangan Respati-Astrid sebenarnya tidak mengejutkan dan sudah terprediksi. Selain karena ada “dukungan” dari penguasa atau oligarki, dalam konteks pemilu, kesempatan terbesar untuk bisa memenangkan pemilu adalah dengan menggaet suara dari massa apolitis.
“Politik konteks kontestasi pemilu, kans terbesar memenangkan pemilu adalah kemampuan menggaet dari massa apolitis yang mana kemudian sering jadi swing voters,” kata Rezza.
Rezza menilai bahwa dalam konteks Kota Surakarta, masih lebih banyak masyarakat yang memiliki kedekatan emosional dengan Jokowi ketimbang dengan PDIP. Massa PDIP di Solo memang lebih dominan, tapi ada lebih banyak massa apolitis dan di situlah dukungan Jokowi berperan penting.
“Massa PDIP akan tetap kalah banyak dari mereka yang bukan kader PDIP, tapi suara masih mengambang. Nah, karena itulah kemudian peran Jokowi menjadi penting karena pada akhirnya massa apolitis di Surakarta masih terikat secara politis dengan Jokowi daripada PDIP. Karena itulah, mereka memilih paslon yang di-endorse Jokowi,” terang Rezza.
Selain itu, Rezza menilai mesin politik PDIP di Solo sudah tidak lagi solid. Menurutnya, banyak kader PDIP Solo yang setengah hati memenangkan Teguh-Bambang. Mereka sadar bahwa akan lebih menguntungkan untuk berada di pihak Respati-Astrid daripada membela kepentingan partai.
“Mereka [kader PDIP Solo] tahu pasti yang menang adalah calonnya Jokowi dan bukan PDIP. Mereka sadar betul, jika mereka mendukung Teguh-Bambang, mereka blunder dan akan beresiko pada karier masa depan politik di Surakarta,” terang Rezza.
“Itu [mendekat ke kubu Respati-Astrid] lebih menjanjikan karena secara hukum alam politik, kemakmuran akan lebih dekat datang ketika kita dekat dengan penguasa, bukan pihak yang kalah,” lanjutnya.
Sudut pandang lain disampaikan oleh Ignatius Agung Satyawan, akademisi ilmu komunikasi dari UNS Surakarta. Agung menilai bahwa sosialisasi yang dilakukan oleh Respati-Astrid dinilai lebih masif daripada Teguh-Bambang.
“Saya kira persoalannya adalah faktor pengenalan atau sosialisasi, baik mengenai figur maupun visi-misi. Respati-Astrid jauh lebih masif daripada Teguh-Bambang,” kata Agung.
Menurutnya, Teguh sebagai petahana memiliki kesempatan untuk menonjolkan capaian kerja yang telah dilakukan sebelumnya bersama Gibran. Namun, dia rupanya kurang mengeksplorasi modal itu.
Baca juga: Mengapa Endorse Jokowi Hanya Efektif di Pilkada Jateng & Solo?
PDIP Surakarta Tidak Solid? Di Solo, fenomena menarik justru terjadi pada hasil Pilkada Jawa Tengah. Paslon Ahmad Luthfi-Taj Yasin yang juga disokong KIM Plus dan di-endorse Jokowi justru kalah perolehan suara dari paslon Andika Perkasa-Hendrar Prihadi yang diusung oleh PDIP.
Berdasarkan hasil rekapitulasi KPU Surakarta, Andika-Hendi memperoleh 161.008 suara, sedangkan Luthfi-Yasin memperoleh 143.738 suara.
Melihat fenomena ini, Rezza mendapat kesan bahwa kader-kader PDIP bersikap mendua dalam pilkada kali ini. Rezza menjelaskan bahwa mereka agaknya tetap ingin menjadi kader PDIP, tapi di saat bersamaan juga tidak ingin jauh dari figur Jokowi.
Oleh karena itulah, PDIP Solo bersikap pasif atau setengah hati dalam mendukung Teguh-Bambang di Pilkada Surakarta. Rezza menilai bahwa kendati Andika-Hendi menang di Solo, kader PDIP Solo pun bersikap nothing to lose.
Maksudnya, mereka juga tahu pasti bahwa kans Luthfi-Yasin menang di Jawa Tengah lebih besar ketimbang Andika-Hendi. Karena itu, kemenangan Andika-Hendi di Solo sebenarnya tidak terlalu berpengaruh pada hasil Pilkada Jawa Tengah.
“Jika kemudian mereka mendukung pasangan Andika-Hendi di Solo, itu tidak terlalu beresiko untuk karier politik mereka di tingkat Surakarta karena ini bukan konteks Surakarta. Gubernur berada di Semarang, jadi mereka tidak akan bersentuhan secara langsung. Enggak ada kepentingan sedekat penguasa di Surakarta. Mereka all out untuk memenangkan Andika-Hendi karena mereka punya sikap nothing to lose yang bersifat antitesis,” tutur Rezza.
Sementara itu, menurut Agung, masyarakat Solo dalam konteks pilkada tingkat provinsi agaknya lebih melihat figur para calon ketimbang siapa di belakangnya.
“Dugaan saya penyebabnya adalah sosok figur personal para calon. Figur Andika-Hendrar lebih dapat diterima oleh masyarakat Solo. Terutama, Andika telah dikenal sebagai tokoh berskala nasional dan berlatar belakang TNI,” kata Agung saat dihubungi kontributor Tirto, Jumat (6/12/24).
Dari penjabaran argumen Rezza dan Agung, terlihat kesan bahwa internal PDIP Surakarta tidak solid. Indikasi ketidaksolidan itu misalnya terlihat dari aksi beberapa kader PDIP Surakarta yang berbalik mendukung pasangan Respati-Astrid.
Salah satu kader PDIP Surakarta yang membelot itu adalah Ginda Ferachtriawan. Dia secara terbika menyatakan dukungannya kepada Respati-Astrid.
Menurut Ginda, pasangan Respati-Astrid adalah kandidat yang paling layak dan mampu meneruskan kepemimpinan Gibran di Solo.
“Jadi, jika saya ditanya siapa yang akan saya dukung, pilihan saya jatuh kepada Mas Respati dan Mbak Astrid,” ungkap Ginda kepada media, Senin (11/11/2024).
Hingga kini, Ginda masih berstatus sebagai kader PDIP Solo. Meski demikian, dia mengaku sudah dikeluarkan dari grup WhatsApp kader PDIP Solo. Dia juga mengaku sudah siap menerima sanksi dari PDIP atas dukungannya ke kubu Respati-Astrid.
“Saya siap menjelaskan keputusan saya kepada teman-teman di partai jika dianggap membelot,” jelasnya.
“Jika pandangan saya bisa didengar oleh calon wali kota, mengapa tidak? Sementara itu, di partai sendiri mungkin ada pandangan berbeda. Saya tidak peduli konsekuensinya. Saya hanya ingin yang terbaik untuk Solo,” pungkas Ginda.
Sebelum Ginda pun, sudah ada dua kader PDIP Solo yang menyatakan dukungannya kepada pasangan Respati-Astrid, yakni Wawanto dan Dyah Retno.
Wawanto merupakan kader PDIP Solo yang menyatakan sikap tidak akan masuk dalam tim pemenangan Teguh-Bambang. Dia beralasan bahwa masuknya nama Bambang tidak melalui proses penjaringan internal di tingkat DPC, DPD, maupun DPP PDIP.
Dalam rapat konsolidasi internal DPC PDIP Solo pada 29 Agustus 2024, Wawanto bahkan mengaku menerima ancaman dari FX Hadi Rudyatmo. Wawanto kemudian melaporkannya ke Polresta Surakarta.
Kemudian, pada 10 November 2024, Wawanto mendeklarasikan bahwa dirinya mendukung paslon Respati-Astrid. Menurutnya, Respati dan Astrid merupakan sosok muda dan visioner.
“Apa yang menjadi kebutuhan warga Kota Solo akan bisa diwujudkan dan programnya tidak ngayawara [tanpa kenyataan],” kata Wawanto.
Baca juga: Respons PDIP Solo soal Hasil Pilwalkot 2024: Kami Terus Melawan
Dominasi PDIP, Hegemoni Jokowi Lantas, bagaimana peta kekuatan antara PDIP dan Jokowi di Surakarta? Menurut Rezza, jika berbicara tentang dominasi, PDIP masih menjadi partai terkuat di Solo.
Namun, jika berbicara mengenai hegemoni pengaruh dan ikatan batin-emosional, masyarakat Solo lebih merasa dekat dengan Jokowi. Menurut Rezza, Jokowi merupakan local pride bagi masyarakat Surakarta.
“Dominasi PDIP tetap muncul yang sifatnya kelembagaan, legislatif, tapi dalam konteks figur, Jokowi masih punya hegemoni yang kuat dalam aspek politik di Surakarta,” kata Rezza.
“Hegemoni Jokowi menggerus dominasi PDIP, tapi tidak sampai habis. PDIP tidak lagi menjadi penguasa tunggal di Surakarta,” imbuhnya.
Sementara itu, menurut ahli antropologi politik UNS, Aris Arif Mundayat, terdapat politik rasa atau the politics of affect yang dimainkan oleh Jokowi selama 10 tahun terakhir. Politik rasa ditunjukkan dengan bansos yang menjadikan masyarakat beranggapan bahwa penguasa adalah “dewa” penyelamat.
Hal itulah yang membuat pasangan calon kepala daerah yang diusung KIM Plus serta didukung Jokowi menang, termasuk Respati-Astrid.
“Jokowi di belakang Luthfi dan all out untuk KIM Plus. Kemenangan Jokowi, menurut saya, kenapa cukup kuat karena ada pola-pola berbasis bantuan sosial yang menjadikan kekuatan Jokowi signifikan di beberapa tempat. Ini yang disebut permainan politik rasa. Sangat berpengaruh terhadap pemilih hampir di banyak tempat. Di atas 50 persen para pemilih yang diuntungkan dengan bansos,” terang Aris saat dihubungi kontributor Tirto, Jumat (6/12/2024).
Politik rasa, lanjut Aris, memiliki karakteristik sentimen parokial. Aris mengibaratkan dengan sang penggembala yang memberikan rumput di mana-mana sehingga yang digembalakan merasa berterima kasih atas pemberian rumput tersebut.
“Parokial rasa yang dimainkan. Mengikuti si gembala politiknya,” imbuh Aris.
Aris juga menambahkan bahwa politik rasa ini efektif dilakukan di kalangan masyarakat dengan pendidikan rendah. Menurutnya, politik rasa ini akan hilang jika masyarakat memiliki kesadaran kelas atau kesadaran kritis.
Baca juga: Rekapitulasi KPU Solo: Respati-Astrid dan Andika-Hendi Unggul