Sisi Gelap Berfikir Positif: Mengapa “Toxic Positivity” Bisa Merusak Kesehatan Mental?
Bagaimana rasanya mendengar kalimat, “Ayo, pikirkan yang positif!” setiap kali kamu mengungkapkan perasaan sedih atau kecewa? Tentu saja, ada niat baik di balik pernyataan itu. Namun, sering kali, hal ini justru membuat kita merasa diabaikan dan tidak diperhatikan. Ya, berpikir positif memang penting, tetapi pernahkah kamu memikirkan apa yang terjadi ketika kita terlalu memaksakan diri untuk terus berpikir positif?
Kita hidup di zaman di mana kata “positif” seakan menjadi mantra yang harus dipatuhi. Tapi, seperti halnya dalam banyak hal, terlalu banyak hal baik pun bisa jadi tidak baik. Di sinilah “toxic positivity” muncul sebagai masalah yang semakin relevan dalam kesehatan mental kita.
“To remain alive, we must keep struggling. And sometimes, that struggle means feeling pain.” – Henri Nouwen
(“Agar tetap hidup, kita harus terus menerus berjuang. Dan kadang-kadang, perjuangan itu berarti merasakan rasa sakit.”)
Mari kita telusuri lebih dalam mengenai sisi gelap dari berpikir positif dan mengapa kita kadangkala perlu menerima perasaan negatif secara sehat.
1. Pengabaian Emosi Negatif
Kita semua pasti pernah merasakan emosi negatif, bukan? Apakah itu marah, sedih, ataupun cemas. Sayangnya, banyak dari kita terjebak dalam pikiran bahwa emosi negatif itu tabu. Kita berpikir, “Harus positif!” sampai-sampai kita mengabaikan perasaan kita sendiri.
Mengabaikan emosi negatif tidak hanya tidak realistis, tetapi juga berbahaya bagi kesehatan mental kita. Ketika kita menekan emosi, mereka tidak hilang begitu saja. Sebaliknya, mereka cenderung menumpuk dan akhirnya meledak pada saat yang tidak terduga. Ingat hukum kekekalan energi ?
Jadi, yuk mulai terbiasa untuk mendengarkan suara hati kita sendiri!
2. Toxic Positivity Membuat Kita Terasing
Siapa yang tidak ingin dikelilingi oleh orang-orang positif? Tidak ada tentunya. Namun, terlalu banyak dorongan untuk berpikir positif dapat membuat kita merasa terasing. Alih-alih merasa didukung, kita justru merasa tertekan untuk menyembunyikan perasaan kita yang sebenarnya.
Ketika kamu mengalami masa sulit, dan semua orang mengingatkanmu untuk tetap positif, mungkin kamu akan merasa seperti tidak ada yang mengerti. Kita perlu menyadari bahwa berbagi kesedihan adalah bagian dari membangun koneksi yang lebih dalam dengan orang lain.
3. Menciptakan Standar yang Tidak Realistis
Seolah-olah hidup di media sosial tidak cukup menekan, kita dituntut untuk berpikir positif setiap saat. Dengan setiap postingan indah yang kita lihat, kita mulai merasa bahwa kita harus hidup dalam standar yang sama. Hal ini tentu saja menciptakan tekanan yang tidak realistis.
Tidak ada salahnya untuk tidak baik-baik saja. Justru, menerima ketidaknyamanan bisa jadi langkah awal untuk menyembuhkan diri. Mari kita berhenti membandingkan diri kita dengan orang lain dan mulai menerima bahwa hidup itu penuh warna—termasuk warna gelapnya.
4. Menghambat Pertumbuhan Emosional
Pernahkah kamu merasa stagnan dalam hidup? Mungkin saja itu disebabkan oleh penolakan kita untuk menghadapi emosi negatif. Ketika kita terus-menerus mencoba untuk berpikir positif, kita sering kali melewatkan kesempatan untuk belajar dari pengalaman buruk kita.
Setiap kali kita merasakan emosi negatif, kita memiliki kesempatan untuk belajar dan tumbuh. Dengan menghadapi dan memproses perasaan tersebut, kita dapat mengembangkan ketahanan yang lebih baik dan memahami diri kita dengan lebih mendalam.
5. Mendorong Stigma terhadap Kesehatan Mental
Sayangnya, toxic positivity juga mendorong stigma terhadap mereka yang mengalami masalah kesehatan mental. Ketika kita terlalu mendorong untuk berpikir positif, kita justru meremehkan masalah serius yang dihadapi oleh banyak orang.
Kita perlu mulai membuka diskusi tentang kesehatan mental dengan cara yang lebih realistis. Mari kita dorong diri kita dan orang-orang di sekitar kita untuk berbagi tanpa rasa takut akan penilaian. Hanya dengan cara ini, kita bisa menciptakan lingkungan yang lebih mendukung bagi semua orang.
*****
Nah, itu dia lima sisi gelap dari berpikir positif yang perlu kita sadari. Tentu, berpikir positif itu penting, tetapi jangan sampai kita terjebak dalam tekanan untuk terus menerus berpikir demikian. Menerima emosi negatif bukanlah tanda kelemahan; justru itu adalah langkah menuju kesejahteraan mental yang lebih baik.
Menghadapi perasaan negatif dengan cara yang sehat dapat membantu kita mengatasi tantangan hidup dengan lebih baik. Jadi, yuk mulai memberikan ruang untuk semua emosi, baik yang positif maupun negatif. Seperti yang dikatakan oleh sang psikolog:
“Merasa tidak baik-baik saja adalah bagian dari menjadi baik-baik saja.”
Maturnuwun,
Growthmedia