Cinta karena Terbiasa dan Selalu di Sisi
Ada sebuah lagu, yang kurang lebih syairnya seperti ini: Aku tak biasa, bila tiada kau di sisiku. Aku tak biasa bila ku tak mendengar suaramu. Memang benar adanya loh, dan saya mengalaminya sendiri.
Susah, senang, bertengkar, baikan lagi. Kalau jauh di cari, kalau dekat kadang dicemberuti. Hahaha… Nah, apakah itu cinta? Mari kita kulik samar-samar versi saya yang bukan ahlinya.
Dalam sebuah perkawinan, kemudian menjadi sebuah keluarga, butuh komitmen yang tinggi. Kalau disebut harus serius, ya serius. Tapi saat menjalankannya, tak harus serius yang benar-benar serius dan saklek. Learning by doing saja, mengikuti aliran dan alurnya.
Kadang aliran itu melewati sebuah alur yang banyak onak, tapi kadang juga melewati alur yang damai, nyaman, teratur, indah. Fluktuasinya tak menentu. Seperti hati kita, pada saat memulai sesuatu yang penting di kehidupan, deg-degannya tak menentu. Kadang ngerock, ngejazz, dangdut, keroncong. Macam-macam dan seru. It’s a normal, guys!
Butuh waktu yang demikian paaanjang untuk menemui alur yang benar-benar damai, nyaman, teratur, indah. Tanpa pertentangan dan saling mengamini. “Dear, aku pengin sesuatu seperti ini. Boleh, ya?” Jawabnya: “Boleh, Darling. Tapi tunggu nanti punya dana lebih, ya. Doain nanti cepat terlaksana. Aamiin…” Lalu, kata amin juga keluar dari mulut pasangan. Nah, benar, kan? Saling mengamini.
“Orang-orang melihat kita adalah pasangan romantis, padahal, xixixi…” Tawa lepas tak urung keluar dari mulut kami berdua. Gimana romantis, jika kadang bertengkar dan saling cemberut? Marahan. Tapi tak lama, karena saling tahu kelemahan yang membuat hati luluh. Misalnya, rayuan gombal dengan mengajak makan bakso berdua. Yang tadinya marah cemberut, menjadi sebuah lingkaran senyum karena semangkok bakso.
Terbiasa bertemu, selalu di sisi, melihat pasangan tiap hari, dia terus, dia terus. Jika tak ada unsur cinta, mungkin akan berbeda. Mungkin akan bosan, jika bukan dengan pasangan sendiri. “Apakah kamu bosan denganku?” tanyanya. Jawabnya, “Enggak, tuh. Malah tambah sayang,” Trus bla bla bla.
“Dear, tolong ambilin ini, dong.”
“Baik, Darling,”
Meminta tolong sesuatu kepada pasangan. Sekali, dua kali, it’s okay. Beribu kali? Hah? Memangnya pembantu? Tetapi berhadapan dengan pasangan yang dicintai, malah senang dan ikhlas jika dimintai tolong. Nggak papa, saling menolong, selagi bisa dan mampu. Mumpung masih diberi waktu dan kesempatan berada di sisinya. Why not? Benar nggak? Kan ceritanya aku cinta kamu.
Cinta itu anugerah dari Tuhan Yang Maha Pengasih. Pembiasaan saling cinta kepada pasangan adalah salah satu hal yang membuat langgeng dalam sebuah pernikahan. Cinta harus tetap dipupuk dan dijaga, agar eksis di setiap harinya.
Selalu ingin di sisinya, apalagi pas butuh, saat hati sedang tidak mood. Pasti jatuhnya pengin nyandar di bahu pasangan.
“I need you, dear. Rasanya aku pengin ditemani.”
“Kamu kenapa? Apakah kamu sakit, Darling?”
“No, aku hanya pengin dipeluk,”
“Oh, kirain.”
Perumpaannya seperti itu. Pada saat sedih karena suatu persoalan, penginnya pasangan bisa menjadi tempat curhatan. Menjadi teman baik yang bisa kasih solusi gimana caranya mengatasi masalah.
Alih-alih menjadi sebuah kekaguman, lalu ibarat pahlawan bagi pasangan, karena mampu dan sukses menjadi sandaran hati. Aih, jadi tambah cinta, nih.
Dalam kurun waktu pernikahan saya dan pasangan, mengalami banyak hal pembelajaran hidup. Saling menghargai, saling sayang, saling pengertian. Ya, ya, secara teori amat mudah mengatakannya. Tetapi saat menjalankan, butuh perjuangan panjang seperti sungai yang mengalir. Tak mudah.
Memadukan dua hati dalam sebuah pernikahan, tak semudah menulis sebuah cerita fiksi. Harus ada timbal balik, perilaku saling menghargai dan ada rasa cinta.
Cinta bisa selalu ada karena terbiasa dan selalu ada di sisinya. Bukan berarti harus bertemu tiap jam tiap detik, ya. Ada komunikasi yang menjembati dan jangan sampai terlepas. Saling menghargai dan saling memuliakan. Tak mudah, tapi bisa dilakukan.
Jika pernikahan saya dan pasangan melewati 27 tahun, menjalaninya saja dengan fluktuasi yang tidak flat dan ngerock, bagaimana Ayah Tjipta dan Bunda Rose dengan 60 tahun pernikahan? Pastinya lebih hebat dan patut diacungi jempol. Tak terbayangkan. Wow, amazing.
Ayah Tjipta dan Bunda Rose bisa menjadi contoh yang keren bagi pasangan-pasangan muda dalam menjalani kehidupan pernikahan. Ada rasa saling menyempurnakan antar keduanya. Kisah beliau berdua bisa dipetik manfaatnya dan panutan yang bisa ditiru dalam menjalani kehidupan berumahtangga bagi saya dan teman lainnya.
Terucap dari saya: “Happy Diamond Anniversary untuk Ayah Tjipta dan Bunda Rose. Langgeng selamanya. Semoga tetap semangat dalam menjalani kehidupan. Tetap sehat-sehat terus, bahagia. Tetap menjadi teladan dan inspiratif bagi pasangan-pasangan muda di jagad Kompasiana.”
Salam sayang dan doa yang terbaik untuk Ayah Tjipta dan Bunda Rose dari kami sekeluarga di Semarang. We love you both.
Wahyu Sapta.
Semarang, 28 Oktober 2024.