Gak Harus Donat Atau Pizza Sih, Gudangan Juga Oke Kok
Dulu, kalau di kantor Papaku ada yang resign karena purna tugas, akan ada acara yang dinamakan Pisah Sambut. Berpisah dengan pejabat lama dan menyambut pejabat baru. Untuk informasi, papaku bekerja di PT. Telkom, kala itu bernama Perumtel. Beliau bergabung tahun 1970 dan ditugaskan di Palangkaraya selama 5 tahun, Banjarmasin selama 7 tahun, Jakarta selama 5 tahun, Bandung selama 15 tahun, Semarang 5 tahun dan kembali ke Jakarta hingga masa pensiun.
Nah di dalam acara pisah sambut itu, para pegawai mengajak keluarganya, lalu ada pembukaan, pidato sambutan, acara hiburan dari anak-anak pegawai seperti menari, menyanyi, baca puisi, dilanjutkan makan bersama dengan menu yang dimasak oleh ibu-ibu dharma wanita. Nggak ada EO, katering, penampil khusus. Aku jelas masuk bagian dari penampil. Kalau tidak menyanyi ya menari. Biaya jelas ditanggung pihak kantor.
Kalau sekarang acara resign menjadi lebih simpel, sederhana, banyak faktor yang mempengaruhi perubahan tersebut. Dulu, tidak banyak perusahaan swasta, seperti sekarang. Dulu, hubungan antar manusia begitu humanis, apalagi sesama perantauan. Asimilasi dengan warga lokal juga mulus, saling membutuhkan, harmonis. Sekarang, egoisme mendominasi, bak predator saling menerkam satu sama lain dalam upaya memmpertahankan. Seiring waktu, perubahan jaman, acara resign menjadi lebih simpel dan terbatas sirkel yang memiliki keterikatan. Oleh karena itu, hidangan yang disajikan juga ikut simpel, kalau tidak donat ya pizza.
Padahal ada banyak pilihan sajian yang ready to eat apalagi di kota besar seperti nasi padang, nasi uduk, nasi kuning, gado-gado, pempek, siomay, dan nasi gudangan dengan lauk ikan asin, tempe goreng, kerupuk. Untuk masyarakat Indonesia umumnya, nasi gudangan identik dengan perayaan sederhana. Bayi lahir ada nasi gudangan, bancakan weton menggunakan nasi gudangan, syukuran beli motor atau mobil baru tetangga dapat hantaran nasi gudangan, memasang blandar rumah yang dibungkus bendera berikut seikat padi, nasi gudangan jadi pengiring. Jadi, tidak salah tempat kalau nasi gudangan ikut meramaikan acara resgin sebagai pengggembira acara sederhana perpisahan.
Nasi gudangan tidak repot menyiapkannya, pun pesan kepada warung langganan makan siang juga bisa. Selain sehat, murah dan bergizi, juga mempopulerkan salad khas Indonesia kepada generasi baru. Kesan nasi gudangan makanan para old generation perlu dikikis, dengan salah satu jalan ketika resign menyajikan nasi gudangan.
Aku sendiri memilih diam diam pergi ketika resign. Bukan karena aku tidak mau repot menyediakan makanan perpisahan, tetapi aku tidak suka acara sedih-sedihan. Hari terakhir aku resign, kuisi dengan membereskan barang-barang, file-file yang akan digunakan penggantiku, dan aku berdiam di mejaku hingga malam. Duduk memandangi ruangan kantor, kuputar kursi menghadap jendela memandang kerlip lampu kota. Dua puluh lima tahun aku mengerjakan berbagai hal yang membawa keuntungan, kemajuan bagi instansi tempatku berkarya, dan menerima lembaran kertas yang ditransfer ke rekeningku. Ada rumah, kendaraan, sekolah anak yang kubayar dari transferan tersebut. Dan mulai besok, transferan itu berhenti.
Kupikir ide merayakan bukan hal yang buruk, namun, seharian mengemasi dan memilah file membuatku berpikir ulang untuk merayakan perpisahan. Aku yang tidak siap menahan air mata dan perasaan haru biru lainnya. Pada akhirnya besok siang kukirim nasi gudangan untuk makan siang rekan seruangan, dengan ucapan permohonan maaf dan selamat menikmati nasi gudangan. Hehehe…