Dukungan Membabi Buta AS ke Israel Akhirnya Jadi Bumerang
REPUBLIKA.CO.ID,
Oleh Fitriyan Zamzami, Jurnalis Republika Pemerhati Isu-Isu Palestina
Pada 2007, dua profesor terkemuka, John Mearsheimer dari Universitas Chicago dan Stephen Walt dari Universitas Harvard menerbitkan buku mereka, The Israel Lobby and US Foreign Policy. Buku yang mengungkapkan secara teperinci soal betapa dalam dan masifnya lobi Zionis di pemerintahan dan perpolitikan AS tersebut menggemparkan.
Mearsheimer dan Walt menjelaskan bagaimana kucuran dana luar biasa dari para pengusaha, kemudian kelompok lobi Israel di AS (AIPAC), serta kelompok Kristen Zionis demikian kuat mengarahkan kebijakan luar negeri AS di Timur Tengah yang semuanya hanya punya satu tujuan: membela kepentingan Israel apapun itu.
Kucuran itu mengalir ke dua partai utama di AS, yakni Demokrat dan Republik. Ini untuk menjamin bahwa siapapun presiden dan parlemen dari kedua partai itu, dukungan AS ke Israel akan tetap tanpa syarat secara bipartisan.
Betapapun politikus dan pemerintah AS dibuat tak memedulikan bahwa Israel melakukan penjajahan secara ilegal, menerapkan sistem apartheid, berulang kali melanggar berbagai resolusi PBB, berulang kali melakukan kejahatan kemanusiaan dengan membombardir Gaza dan melakukan penangkapan tanpa proses hukum di Tepi Barat.
Namun, dalam buku itu, bukan soal pengungkapan lobi-lobi itu saja sebenarnya yang dituliskan Mearsheimer dan Walt. Mereka punya pesan yang lebih mendesak: dukungan tanpa syarat AS terhadap Israel akan berdampak sangat negatif terhadap AS jika diteruskan. Dukungan itu juga secara tak langsung sangat berbahaya bagi kelangsungan negara Israel.
Seperti jadi ramalan yang diwujudkan sendiri, muncul gelombang sanggahan terhadap buku tersebut. Mulai dari antisemitisme sampai delusional. Namun, sekitar 17 tahun kemudian, yang diperkirakan Mearsheimer dan Walt mewujud.
Dukungan tanpa syarat AS terhadap Israel jadi salah satu faktor yang membuat negara adidaya dengan klaim moralitas demokratis tinggi itu untuk kedua kalinya memilih sebagai presiden Donald Trump, seorang terpidana yang sempat dituntut atas kasus pemerkosaan. Seorang pengusaha dan persona televisi yang kerap berbicara tanpa tata krama, melecehkan perempuan dan imigran serta kaum minoritas. Kandidat yang memicu kerusakan parah kohesi sosial di AS.
Bagaimana dukungan AS ke Israel memupus harapan terpilihnya seorang perempuan sebagai presiden tergambar di Dearborn, Michigan. “Genosida adalah politik yang buruk,” kata salah satu peserta nonton bareng hasil pilpres AS di kota itu kepada Aljazirah. Ia mengibarkan bendera Palestina dan Lebanon di luar pintunya.
Pada pertemuan Arab-Amerika tersebut terdapat rasa ketidakpedulian – bahkan pembenaran atas kemenangan Trump. Kandidat presiden dari Partai Demokrat Kamala Harris telah mengabaikan seruan masyarakat untuk mempertimbangkan kembali dukungan tanpa syarat AS terhadap Israel. Wakil presiden itu juga terus menegaskan apa yang disebutnya sebagai “hak Israel untuk membela diri” meskipun terjadi kekejaman brutal di Gaza dan Lebanon.
Aktivis Adam Abusalah mengatakan salah satu alasan Harris kalah adalah keputusannya untuk memihak Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dengan mengorbankan basis Demokrat – Arab dan Muslim Amerika serta kaum muda dan kaum progresif.
“Kami telah memperingatkan Partai Demokrat selama lebih dari setahun, dan Partai Demokrat terus meremehkan apa yang terjadi.” Dia menambahkan bahwa pesan utama Harris kepada komunitas Arab adalah untuk memperingatkan bahaya kepresidenan Trump. Taktik ini gagal karena para pemilih di wilayah tersebut terfokus pada perang yang sedang berlangsung di Timur Tengah yang berdampak pada banyak dari mereka secara pribadi.
Pergeseran di daerah pinggiran kota Dearborn yang berpenduduk mayoritas Arab, kemarahan atas serangan Israel yang didukung AS di Gaza dan Lebanon terlihat nyata di kotak suara. Harris kalah dari Trump dengan selisih lebih dari 2.600 suara. Padahal, pada 2020, Presiden Joe Biden mengalahkan Trump dengan lebih dari 17.400 suara – mayoritas dari 20.000 suara yang membantu mantan presiden Partai Republik itu merebut kembali Michigan.
Kandidat presiden dari Partai Hijau Jill Stein, yang mengusung oposisi terhadap perang dalam platformnya, juga menunjukkan kinerja yang relatif baik di kota tersebut, meningkatkan dukungan partainya dari 207 suara pada tahun 2020 menjadi lebih dari 7.600 suara pada tahun ini.
Menengok berbagai survei di AS, kemenangan Trump juga sangat erat dikaitkan dengan suasana hati masyarakat Amerika sangat tidak puas dengan perekonomian yang brutal. Amerika mengalami inflasi yang sangat tinggi selama dua tahun terakhir, yang berdampak pada harga hampir semua barang, di samping kenaikan suku bunga – yang menaikkan suku bunga kartu kredit, suku bunga hipotek, dan biaya pinjaman mobil, dan banyak lagi.
Jajak pendapat Edison Research menunjukkan bahwa dua pertiga pemilih percaya bahwa keadaan perekonomian Amerika buruk atau tidak begitu baik; 69 persen dari mereka memilih Trump. Ketika ditanya apa isu terpenting dalam pemungutan suara mereka, 31 persen pemilih menjawab perekonomian, dan 79 persen pemilih mendukung Trump.
Namun kondisi perekonomian ini juga yang membuat dukungan habis-habisan AS ke Israel membuat marah warga. Di tengah perekonomian yang buruk, Amerika masih saja menghabiskan miliaran dolar setiap tahunnya untuk mempersenjatai Israel. Sejak didirikan, Israel telah menerima lebih dari 300 miliar dolar AS bantuan dari pembayar pajak AS.
Capres AS dari Partai Demokrat, Kamala Harris. – (X/@KamalaHarris)
AS membelanjakan lebih banyak dana pajak untuk Israel pada tahun lalu, yakni 12,5 miliar dolar AS. Ini lebih besar dari pendanaan federal yang sangat penting seperti Badan Perlindungan Lingkungan, yang anggarannya sebesar 9,2 miliar dolar AS untuk tahun fiskal 2024 dipotong hampir 1 miliar dolar AS dari tahun sebelumnya. .
Tahun lalu, pembayar pajak AS menghabiskan lebih banyak uang untuk mempersenjatai genosida Israel dibandingkan kekurangan dana tahunan untuk Pell Grants, program subsidi biaya kuliah bagi warga miskin AS. Pemerintah federal AS juga mengeluarkan uang berkali-kali lipat lebih banyak untuk Israel dibandingkan pemotongan anggaran yang dihadapi Departemen Pendidikan.
Lembaga pemikir seperti Proyek Prioritas Nasional, selama bertahun-tahun, telah menghubungkan langsung antara pengeluaran perang dan program sosial dalam negeri, dengan mengatakan “Pendanaan untuk Militerisme Mengkompromikan Kesejahteraan Kita.”
Pada akhirnya, sedikit banyak dukungan habis-habisan AS terhadap Israel memang berujung pada hasil akhir pemilu presiden tahun ini, dengan keterpilihan presiden yang dinilai jadi tanda zaman merosotnya demokrasi AS.