Informasi Terpercaya Masa Kini

Menteri Agama Baru dan Resolusi Jihad Jilid II

0 2

Sehari setelah dilantik Presiden Prabowo, Menteri Agama (Menag) Nasaruddin Umar memberikan pidato perdananya dalam rangka Hari Santri Nasional (HSN) di depan ribuan santri dan jajaran Kementerian Agama. Beliau menyampaikan sejarah peran santri dalam merintis kemerdekaan RI dengan Resolusi Jihad-nya.

Demikian pula perannya dalam membimbing umat dan bangsa Indonesia. Yang sangat menarik, beliau menyampaikan pesan-pesan kepada santri generasi (gen) Z untuk melanjutkan perjuangan para kiai dan ulama itu dengan menyebutnya sebagai ’’Resolusi Jihad Jilid II’’.

Resolusi jihad yang beliau maksudkan adalah santri saat ini mesti belajar serius untuk menggapai era keemasan sebagaimana yang dilakukan para ulama dan intelektual pada era pertengahan seperti Al-Hawarizmi, Ibn Rusydi, Ibn al-Haitam, dan sederet figur intelektual lain dengan mempelajari seni, sains, dan teknologi warisan mereka.

Santri Era Pertengahan

Benar apa yang dideskripsikan H.A.R. Gibb (Abdussalam, 1983: 17), tumbuh suburnya sains dalam masyarakat Islam lebih banyak bergantung pada dukungan penguasa. Di mana masyarakat Islam mengalami kemunduran, di situ sains kehilangan vitalitas dan kekuatan.

Tetapi, selama di salah satu negara masih terdapat penguasa yang memberikan dukungan pada sains, obor ilmu akan tetap menyala. Jika tidak, akan terjadi kemerosotan intelektual.

Indikasi situasi itu tampak dalam peristiwa peledakan observatorium bintang di Istanbul oleh meriam-meriam angkatan laut atas perintah Sultan Murad III pada abad ke-16. Alasannya, tugas observatorium untuk mengoreksi jadwal astronomi Ulugh Beg itu telah selesai sehingga dianggap tidak diperlukan lagi.

Pertanyaannya, mampukah gen Z saat ini menguasai kembali bidang sains? Dengan optimistis, Abdussalam menjawab bisa. Asalkan, masyarakat secara keseluruhan, terutama generasi mudanya, bersedia menerima kenyataan sebagai tujuan yang diidam-idamkan.

Generasi muda harus didorong untuk berpikir ilmiah, mengejar sains dan teknologi dengan menggunakan 1–2 persen pendapatan nasional untuk kepentingan penelitian serta pengembangan. Paling sedikit sepersepuluhnya.

Hal demikian telah dilakukan Jepang ketika Revolusi Meiji. Kaisar Jepang bersumpah akan mencari ilmu pengetahuan dari mana pun datangnya meski dari sudut bumi ini. Hal yang sama dilakukan Uni Soviet empat puluh tahun lalu, ketika Akademi Ilmu Pengetahuan berambisi unggul dalam sains. Langkah itu pulalah yang ditiru secara berencana oleh Tiongkok yang hendak bersaing dengan Inggris Raya.

Upaya dan Masalah

Persoalan sains dan teknologi begitu pentingnya hingga Sutan Takdir Alisyahbana (1992) mengimbau bangsa Indonesia untuk meningkatkan kemampuan sains dan teknologi dengan jalan menyediakan dana sebanyak mungkin guna mengirimkan generasi muda ke luar negeri, ke pusat-pusat ilmu pengetahuan. Cara lain menurut Alisyahbana adalah menerjemahkan karya-karya sains dan teknologi tersebut.

Dia mencontohkan, ketika belum maju seperti sekarang, Jepang berusaha menerjemahkan buku-buku berbahasa asing. Sejak 150 tahun lalu, orang Jepang menerjemahkan 2.000–2.500 buku setiap tahun.

Sekarang Malaysia sudah mampu mengirimkan sekitar 7.000 mahasiswa ke luar negeri setiap tahun. Jalan lain untuk menumbuhkan budaya ilmu pengetahuan dan teknologi adalah menjadikan kampus sebagai pusat riset dan pengembangan ilmiah.

Masalah sentral yang perlu segera digarap, menyangkut angkatan muda di dunia Islam, menurut Hussein Nasr (1989: 6) adalah: pertama, memberikan bekal yang cukup untuk mereka, memahamkan pesan-pesan Islam secara tepat dan benar. Kedua, memberikan pengertian kepada mereka betapa kaya khazanah intelektual dan tradisi spiritual Islam.

Jangan membiarkan mereka terperangkap oleh slogan dan gelombang peradaban Barat yang sekuler. Dengan kata lain, kita mesti bisa mencetak generasi pemikir Islam yang andal berwawasan luas dan jauh ke depan. Bukan generasi yang jumud dan fanatis.

Sebagaimana kata Munawar Anees (1991: 83), pembaruan-pembaruan pendidikan di seluruh dunia Islam saat ini lebih dipacu untuk membangun tiruan-tiruan tonggak intelektual Barat daripada membentuk kembali sumber akalnya sendiri. Jika tidak mendefinisikan kembali konsep pandangan dunianya sendiri, umat Islam hanya akan menoreh luka-luka intelektual sebelumnya.

Warisan Berharga

Lantas, benar apa yang dikatakan Menag Nasaruddin Umar. Justru Roger Bacon yang disebut-sebut sebagai ahli optik yang dijadikan pionir Barat saat itu ternyata tidak lebih dari seorang plagiat yang menjiplak penuh karya Ibn Haitam dalam kitabnya Al-Manadzir.

Bukankah sains dan teknologi adalah warisan intelektual umat Islam? Karena itu, umat Islam harus menemukan kembali warisan yang berharga tersebut. Kita mesti ingat sabda Nabi: ’’Bahwa ilmu pengetahuan (hikmah) adalah perbendaharaan orang mukmin yang telah hilang. Barang siapa menemukannya, maka ia berhak atasnya,’’ (Al-Qardhawi, 1989: 56).

Para santri gen Z harus berupaya terus mengembangkan ilmu. Lebih-lebih ilmu sebagai proses yang menggambarkan aktivitas manusia dan masyarakat ilmiah yang sibuk dengan kegiatan penelitian, eksperimentasi, dan eksplorasi untuk menemukan sesuatu yang baru.

Formulasi-formulasi yang telah diperkenalkan para ilmuwan pendahulu harus diaktualisasikan dan dikembangkan. (*)

*) M. ZAINUDDIN, Guru besar filsafat dan sosiologi agama; rektor UIN Maliki Malang

Leave a comment