The Architecture of Love, Film Romantis yang Menyentuh di Balik Kesederhanaannya
“The Architecture of Love” merupakan film terbaru karya sineas Indonesia, Teddy Soeriaatmadja, yang diangkat dari novel berjudul sama karya Ika Natassa. Meski saya belum membaca novelnya, film ini tampaknya berusaha menghadirkan sebuah kisah cinta yang mendalam dan penuh emosi, terutama dalam konteks menemukan cinta setelah perpisahan.
Cerita dalam “The Architecture of Love” berfokus pada Raia Risjad (diperankan oleh Putri Marino), seorang penulis yang sukses namun tengah menghadapi kesulitan dalam kehidupannya, baik dalam karier maupun kehidupan pribadi. Raia baru saja bercerai dari suaminya, Alam (diperankan oleh Arifin Putra), setelah mengetahui bahwa dia berselingkuh.
Kekecewaan mendalam atas pernikahannya yang gagal mendorong Raia pergi jauh dari kehidupan lamanya, dan ia memutuskan untuk terbang ke New York. Keputusan ini diambil bukan hanya untuk menjauh dari masa lalu, tetapi juga untuk mengatasi writer’s block yang dialaminya—hambatan mental yang membuatnya sulit melanjutkan karyanya.
Di tengah usaha untuk memulihkan diri, Raia bertemu dengan River Jusuf (diperankan oleh Nicholas Saputra), seorang arsitek yang tenang dan pendiam, tetapi sedang menghadapi kesulitan emosional yang tidak kalah berat. River baru saja kehilangan istrinya dalam kecelakaan mobil yang tragis saat istrinya sedang hamil. Perasaan duka yang mendalam masih membebani River, membuatnya tampak tertutup dan berusaha keras untuk bangkit dari tragedi yang menghancurkan hidupnya.
Pertemuan antara Raia dan River di sebuah pesta menjadi titik awal dari hubungan mereka. Keduanya mulai menjalin koneksi yang lebih dalam, dan seiring waktu, mereka menemukan kenyamanan dalam satu sama lain, meski masing-masing masih bergulat dengan luka pribadi.
New York, sebagai latar utama film ini, bukan hanya menjadi tempat pelarian bagi Raia, tetapi juga menjadi saksi bagi hubungan yang mulai tumbuh antara dirinya dan River. Penonton dibawa untuk ikut menjelajahi kota ini melalui interaksi mereka, di mana River sering mengajak Raia berkeliling dan menceritakan sejarah gedung-gedung ikonis di kota tersebut.
Meskipun latar belakang New York memberikan kesan romantis, pesan yang disampaikan film ini lebih dari sekadar keindahan kota. Film ini menggambarkan perjalanan emosional yang dilalui oleh dua orang yang terluka dan bagaimana mereka mencoba membangun kembali hidup mereka setelah perpisahan yang menyakitkan.
Namun, hubungan antara Raia dan River tidak berlangsung tanpa hambatan. Film ini juga memperkenalkan unsur cinta segitiga, dengan karakter Aga Jusuf (diperankan oleh Jerome Kurnia), yang ternyata adalah saudara dari River.
Aga mulai menyukai Raia tanpa mengetahui bahwa kakaknya juga memiliki perasaan yang sama terhadap wanita tersebut. Cinta segitiga ini menambah lapisan konflik emosional dalam cerita, memperlihatkan betapa rumitnya hubungan antar manusia, terutama ketika cinta dan rasa kehilangan terlibat.
Secara keseluruhan, dari segi alur, “The Architecture of Love” mengikuti pola yang lazim dalam film-film romantis lainnya. Kisah ini cukup mudah ditebak—dari pertemuan yang manis, konflik cinta, hingga penyelesaian yang cukup jelas.
Namun, meskipun alur cerita tidak terlalu orisinal, film ini tetap mampu memberikan kesan yang mendalam. Justru dalam kesederhanaannya, terdapat kekuatan emosional yang membuat penonton terhubung dengan karakter-karakter yang ada.
Dialog dalam film ini juga penuh dengan kalimat-kalimat romantis yang mungkin terdengar klise, tetapi pada saat yang sama berhasil menyentuh hati. Beberapa adegan memang terasa sedikit berlebihan dan bahkan mungkin membuat penonton merasa meringis, tetapi di sisi lain, dialog-dialog tersebut sangat relatable, membuat banyak penonton bisa melihat pengalaman cinta mereka sendiri tercermin dalam cerita Raia dan River.
Adegan-adegan seperti saat River membawa Raia menjelajahi New York dan berbagi cerita tentang arsitektur di kota itu tidak hanya menyampaikan aspek visual yang indah, tetapi juga memberikan ruang bagi penonton untuk merenungkan momen-momen dalam hubungan mereka sendiri.
Meskipun mungkin kencan penonton tidak terjadi di New York, film ini mampu menghidupkan kembali kenangan romantis sederhana seperti berjalan-jalan bersama orang yang dicintai.
Selain menggambarkan sisi indah dari cinta, “The Architecture of Love” juga tidak ragu untuk menampilkan sisi gelap dari cinta—terutama rasa sakit yang muncul setelah perpisahan. Film ini menyoroti bagaimana perasaan campur aduk, seperti ketidakpastian dan kebingungan, muncul ketika seseorang menghilang begitu saja dari hidup kita, meninggalkan ruang kosong yang sulit diisi.
Raia dan River masing-masing menghadapi perjuangan mereka sendiri untuk menemukan kembali cinta setelah mengalami patah hati. Kisah mereka adalah tentang bagaimana seseorang dapat membuka hati lagi meskipun duka masih membayangi.
Film ini, yang berdurasi hampir dua jam, juga menyelipkan tema tentang cara seseorang mengatasi kesedihan dan bagaimana mereka melanjutkan hidup setelah mengalami kehilangan besar.
Salah satu momen yang cukup menarik dalam film ini adalah ketika terungkap bahwa Diaz Umbara (diperankan oleh Omar Daniel), sahabat Aga dan kekasih Erin (sahabat Raia), ternyata adalah pengagum rahasia yang selama ini mengirim bunga kepada Raia. Momen ini memicu reaksi dari penonton di bioskop, dengan banyak dari mereka terkejut saat kebenaran terungkap. Namun, meskipun twist ini menarik, beberapa penonton mungkin merasa bahwa kejutan tersebut kurang relevan dengan keseluruhan cerita, terutama karena hubungan antara Raia dan Diaz tidak begitu dieksplorasi lebih lanjut dalam film.
Dari segi akting, film ini menampilkan deretan aktor berbakat, termasuk Putri Marino, Nicholas Saputra, dan Jerome Kurnia, yang semuanya adalah peraih penghargaan Citra.
Meskipun mereka sudah dikenal luas atas kemampuan akting mereka yang luar biasa, “The Architecture of Love” tidak memberikan banyak ruang bagi para aktor ini untuk mengeksplorasi karakternya secara mendalam. Performa mereka cukup baik, namun tidak ada yang terlalu menonjol atau mencuri perhatian.
Mereka berhasil membawa karakter mereka hidup di layar, tetapi film ini lebih mengandalkan keindahan visual dan emosi yang disampaikan melalui interaksi sederhana ketimbang penampilan akting yang kuat dan dramatis.
Secara keseluruhan, “The Architecture of Love” adalah film yang cocok bagi mereka yang sedang mencari tontonan ringan untuk dinikmati, terutama bagi yang ingin merasakan sedikit romansa dalam suasana yang indah.
Meskipun tidak menawarkan sesuatu yang baru atau mengejutkan dalam genre film romantis, film ini tetap mampu menghadirkan perasaan berdebar-debar yang menjadi ciri khas dari cerita cinta.
Bagi yang menyukai film dengan elemen emosional dan tema cinta setelah perpisahan, “The Architecture of Love” bisa menjadi pilihan yang menyenangkan untuk dihabiskan bersama pasangan atau teman. Film ini mungkin tidak sempurna, tetapi ia berhasil menangkap esensi dari perjalanan menemukan cinta dan menerima kehilangan, yang pada akhirnya membuatnya cukup berkesan.