DPR Nikmati Tunjangan, Rakyat Tercekik Potongan
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Pendapatan anggota DPR RI meliputi gaji pokok hingga seabreg tunjangan termasuk rumah dinas menjadi sorotan publik. Di sisi lain, berbagai isu pungutan dengan aturan anyar juga mencuat, seperti Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) hingga anuitas dana pensiun yang pencairan secara keseluruhan baru bisa dilakukan jika sudah 10 tahun.
Mengutip Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 75 Tahun 2000 tentang Gaji Pokok Pimpinan Lembaga Tertinggi/ Tinggi Negara dan Anggota Lembaga Tinggi Negara Serta Uang Kehormatan Anggota Lembaga Tertinggi Negara, tertera besaran gaji DPR pada Pasal 1.
Gaji pokok (gapok) untuk ketua DPR RI adalah sebesar Rp 5.040.000 per bulan. Sedangkan, wakil ketua DPR RI sebesar Rp 4.620.000 sebulan. Adapun besaran gapok untuk anggota DPR adalah sebesar Rp 4.200.000 per bulan.
Selain gaji pokok, anggota DPR RI juga mendapatkan sejumlah tunjangan. Ketentuannya diatur di dalam Surat Edaran Sekretariat Jenderal DPR RI Nomor KU/00/9414/DPR RI/XII/2010 tentang Gaji Pokok dan Tunjangan Anggota DPR.
Di dalam SE tersebut tertera bahwa tunjangan jabatan anggota DPR sebesar Rp 9.700.000 per bulan, tunjangan jabatan anggota DPR merangkap wakil ketua Rp 15.600.000 per bulan, dan tunjangan jabatan anggota DPR merangkap ketua Rp 18.900.000 per bulan.
Lalu, tunjangan istri/ suami (10 persen dari gaji pokok) atau sebesar Rp 420 ribu per bulan untuk anggota DPR, Rp 462 ribu per bulan untuk anggota DPR merangkap wakil ketua, serta Rp 504 ribu per bulan untuk anggota DPR merangkap ketua.
Ada juga tunjangan anak dengan persentase 2 persen dari gaji pokok. Untuk anggota DPR Rp168 ribu per bulan. Anggota DPR merangkap wakil ketua Rp 184 ribu per bulan, dan anggota DPR merangkap ketua sebesar Rp 201.600 per bulan.
Selain itu, ada tunjangan kehormatan untuk anggota DPR sebesar Rp 5.580.000 per bulan, untuk anggota DPR merangkap wakil ketua Rp 6.450.000 per bulan, dan tunjangan kehormatan untuk anggota DPR merangkap ketua Rp 6.690.000 per bulan.
Ada juga tunjangan komukasi bagi anggota DPR sebesar Rp 15.554.000 per bulan, anggota DPR merangkap wakil ketua Rp 16.009.000 per bulan, dan anggota DPR merangkap ketua Rp 16.468.000 per bulan. Ada juga bantuan listrik dan telepon Rp 7.700.000, asisten anggota Rp 2.250.000, dan tunjangan peningkatan fungsi pengawasan dan anggaran sebesar Rp 3.750.000 per bulan.
Sehingga secara total, para anggota DPR RI pendapatan Rp 60 juta ke atas per bulan. Itu belum termasuk biaya perjalanan dinas harian, yang minimal sebesar Rp 3 juta per hari untuk respresentasi daerah tingkat II, Rp 4 juta per hari untuk daerah tingkat I, Rp 4 juta per hari untuk daerah tingkat II, serta Rp 5 juta per hari untuk daerah tingkat I.
Para anggota DPR RI juga mendapatkan fasilitas berupa uang pensiun, dan tunjangan beras pensiun. Besaran uang pensiun adalah sebesar 60 persen dari gaji pokok. Untuk ketua DPR sebesar Rp 3.024.000 per bulan, wakil ketua DPR sebesar Rp 2.772.000, dan anggota DPR sebesar Rp 2.520.000. Adapun tunjangan beras pensiunan sebesar Rp 30.900 per bulan.
Beredar pula bahwa anggota DPR tidak mendapatkan fasilitas rumah jabatan, melainkan berubah menjadi tunjangan perumahan. Itu tertuang dalam Setjen DPR Nomor B/733/RT.01/09/2024 perihal penyerahan kembali rumah jabatan anggota. Informasi yang beredar, besarannya berkisar Rp 40-Rp 50 juta.
Apa kabar Tapera?… (baca di halaman selanjutnya)
Apa kabar Tapera?
Seiring dengan beredarnya besaran tunjangan perumahan untuk ‘Wakil Rakyat’ pada periode 2024-2029 tersebut, isu Tapera yang sempat berpolemik turut menjadi refleksi.
Aturan Tapera bagi pekerja swasta tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024 tentang Perubahan Atas PP Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tapera. Disebutkan bahwa besaran simpanan peserta sebesar 3 persen dari gaji, dengan perincian 0,5 persen dari pemberi kerja dan 2,5 persen dari pekerja.
Pekerja yang sudah memiliki rumah atau mengambil kredit pemilikan rumah (KPR) tetap diwajibkan untuk menyetorkan iuran. Dana yang dikumpulkan itu akan dikelola BP Tapera sebagai simpanan, dan bakal dikembalikan setelah peserta pensiun atau berhenti dari pekerjaannya pada usia 58 tahun.
Terhadap Tapera, publik banyak mengungkapkan penolakan karena pungutan yang kian beragam. Belum selesai soal itu, ada program lain pula yang menimbulkan respons publik yakni anuitas dana pensiun yang tidak bisa dicairkan totalnya sebelum 10 tahun.
Hal itu diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 8 Tahun 2024 tentang Produk Asuransi dan Saluran Pemasaran Produk Asuransi. Beleid itu berlandas pada Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK).
Dengan adanya beleid anyar tersebut, para peserta program anuitas dana pensiun yang mulanya bisa melakukan pencairan keseluruhan tanpa batas waktu tertentu menjadi harus mengikuti aturan sampai 10 tahun.
Menurut ketentuan, jika seseorang sudah memasuki usia pensiun, yang bersangkutan hanya diperkenankan menarik 20 persen dana pensiun. Sedangkan 80 persennya disebut dilakukan pembayaran per bulan seperti biasa, namun pencairannya mesti menunggu 10 tahun mendatang.
Tapi ada pengecualian yakni bagi penerima manfaat yang setelah dikurangi 20 persen ternyata dananya lebih kecil dari Rp 1,6 juta per bulan atau nilai tunainya kurang dari Rp 500 juta. Kategori ini bisa melakukan pencairan sekaligus.
OJK menekankan bahwa aturan anyar mengenai program anuitas dana pensiun tersebut bertujuan untuk menjaga kesinambungan penghasilan setelah memasuki usia pensiun.