Satu Tahun Genosida di Gaza, Media Barat Turut ‘Terlibat’ Membantu Israel
REPUBLIKA.CO.ID, ANKARA — Tepat satu tahun lamanya militer Israel (IDF) melancarkan agresi ke wilayah Jalur Gaza, Palestina. Hingga kini, jumlah syuhada rakyat Gaza mencapai 41.689 orang, termasuk lebih dari 11.355 anak-anak, 6.297 perempuan, dan 2.955 lansia. Jumlah orang hilang mencapai sekitar 10.000 orang, sementara sekitar 96.625 warga terluka. Banyak di antaranya menderita trauma parah dan kondisi yang mengancam jiwa.
Sederet angka itu tampaknya masih terus bertambah. Sebab, IDF belum menunjukkan tanda-tanda meredakan agresinya. Bahkan, perdana menteri Israel Benjamin Netanyahu telah memerintahkan perluasan serangan hingga ke Lebanon.
Walau kerap mengeklaim bahwa sasarannya adalah Hamas, IDF telah secara nyata melancarkan banyak serangan atas masyarakat sipil tak bersenjata. Laporan PBB mencatat bahwa dengan 84 persen rumah sakit dan fasilitas kesehatan rusak atau hancur akibat terkena (baca: menjadi target) serangan udara Israel.
Genosida di Gaza menyebabkan kurangnya pasokan listrik dan air bersih untuk mengoperasikan rumah sakit dan fasilitas publik lainnya. Selain itu, sistem sanitasi berada di ambang kehancuran, hanya menyediakan kurang dari 5 persen dari layanan sebelumnya. Hal itu memaksa penduduk setempat bergantung pada jatah air yang sangat terbatas untuk bertahan hidup.
Sistem pendidikan juga runtuh. Dapat dipastikan, 100 persen anak-anak Palestina di Gaza mengalami putus sekolah sejak 7 Oktober 2023–tanggal dimulainya genosida Israel atas Jalur Gaza.
Bungkamnya media
Media-media massa arus utama yang berasal dari dunia Barat telah menerima kritik tajam selama kampanye menghancurkan Israel di Jalur Gaza, Palestina. Sebab, banyak di antaranya yang menunjukkan bias dalam peliputan. Laporan-laporannya juga cenderung menyesatkan tentang skala konflik yang berdampak lebih luas bagi penduduk sipil.
Menurut sejarawan Dr Assal Rad, ketidakberpihakan media-media Barat bukanlah fenomena baru. Ini merupakan pola yang telah lama ada yang menggambarkan betapa kompaknya mereka dengan strategis hasbara, yakni cara Israel mencitrakan diri.
Doktor ilmu sejarah dari University of California Irvine itu mengatakan, media-media Barat sering kali membuat laporan yang cenderung meremehkan dampak serangan IDF terhadap warga Palestina di Jalur Gaza–atau seluruh wilayah Palestina. Pada saat yang sama, mereka terus memperkuat narasi tentang “hak” Israel untuk memperoleh keamanan, membela diri, dan simpati terhadap sandera.
“Media adalah tempat di mana publik mendapatkan informasi,” ujar Assal Rad kepada Anadolu, dikutip Republika, Senin (7/10/2024).
Ia menegaskan bahwa media-media mainstream Barat berperan dalam menjustifikasi tindakan Israel, bahkan jika itu sampai pada aksi genosida di Jalur Gaza.
Biasanya, lanjut Rad, media-media Barat melakukan ini dengan cara penghilangan informasi yang menunjukkan kebrutalan IDF terhadap penduduk tak bersenjata dan fasilitas publik. Kemudian, mereka menggunakan judul-berita yang menyesatkan.
Judul-judul tentang tindakan militer Tel Aviv sering kali dinyatakan sebagai fakta objektif, seperti “Israel menyerang Hizbullah,” tanpa mempertanyakan legitimasi atau konsekuensi dari tindakan tersebut.
Sebaliknya, ketika melaporkan tentang korban sipil akibat serangan Israel, media-media sering merujuk pada sumber seperti otoritas Palestina atau Kementerian Kesehatan Lebanon. Dan, pada saat yang sama, pembingkaian (framming) pemberitaan secara halus meragukan kebenaran laporan tersebut.
Menurut Rad, bahasa yang digunakan dalam pemberitaan media-media Barat sering kali meminimalkan perlunya Israel bertanggung jawab atas jatuhnya korban dari kalangan sipil. Ketika serangan Israel mengenai sekolah atau kamp pengungsi, laporan biasanya di-framming sedemikian rupa sehingga menunjukkan bahwa jatuhnya korban warga sipil adalah “kerugian yang tidak terhindarkan.”
“Salah satu masalah mencolok adalah keengganan media Barat untuk secara langsung menyebut Israel sebagai pelaku kekerasan ketika berkaitan dengan kematian sipil,” ujar Rad.
Sebagai contoh, sebuah pemberitaan memakai judul yang menggambarkan seorang warga Palestina yang dijatuhkan oleh tentara Israel dari atas atap di Tepi Barat (bahkan bukan Jalur Gaza). Warga Palestina itu di-framming sebagai “jasad yang tampak tak bernyawa.”
Media tak merasa perlu untuk mengetahui siapa orang Palestina yang ditendang tentara Israel itu. Media hanya menyebutnya sebagai “jasad” yang sepertinya sudah “tak bernyawa.” Semua framming ini, lanjut Rad, tidak akan terjadi jika korban adalah warga Israel.
Rad juga mengkritik normalisasi praktik Israel yang “menyelidiki diri sendiri” usai viralnya berita-berita bahwa IDF melakukan potensi kejahatan perang. Misal, ketika pada Agustus 2024 lalu serangan tentara Israel mengenai para aktivis World Central Kitchen, yang sebagian berasal dari Australia, Inggris Raya, dan Polandia.
Karena itu, Rad menyimpulkan, para pembuat konten di pelbagai platform media sosial sungguh berperan penting dalam menyebarluaskan berita tentang genosida di Gaza secara apa adanya. Begitu pula dengan kalangan jurnalis independen.
Mereka dapat memberikan pandangan yang tidak terfilter tentang situasi di lapangan, menantang narasi yang didorong oleh media Barat arus utama. Namun, Rad mengingatkan, konten-konten mereka sering kali sukar menjangkau publik yang lebih luas di negara-negara Barat sendiri, terutama lantaran masyarakat setempat yang masih bergantung pada media arus-utama untuk mendapat informasi.