Informasi Terpercaya Masa Kini

Kronologi dan pola pembubaran diskusi Forum Tanah Air di Kemang

0 24

Organisasi hak asasi manusia, Elsam, menilai rentetan kasus pembubaran diskusi atau protes akhir-akhir ini memiliki pola yang sama: diinisiasi oleh kelompok pro-kekerasan dan berakhir dengan penggunaan kekerasan terhadap kelompok yang menjadi sasaran aksi.

Perluasan praktik semacam ini, menurut Elsam, menunjukkan semakin besarnya risiko ancaman terhadap warga dan kegagalan negara untuk memenuhi dan melindungi hak asasi tiap-tiap orang.

Dalam kasus pembubaran diskusi Forum Tanah Air di salah satu hotel di Kemang, Jakarta Selatan, polisi telah menetapkan dua orang tersangka berinisial FEK dan GW. Keduanya dikenakan pasal berlapis terkait pengeroyokan, pengerusakan, dan penganiayaan.

Adapun terkait siapa penggerak pembubaran diskusi, polisi mengeklaim masih menginvestigasinya.

“Polda Metro Jaya akan mendalami motif dan para penggerak kelompok ini. Kami akan lakukan skrining dan profiling pendalaman terhadap para pelaku yang sudah diamankan. Siapa yang menggerakkan mereka,” ujar Wakapolda Metro Jaya, Djati Wiyoto Abadhy.

Namun demikian pakar hukum tata negara, Refly Harun—yang hadir dalam diskusi itu—mendesak kepolisian tidak hanya menjerat para pelaku dengan pasal-pasal ringan, tapi juga yang terkait dengan tindak pidana lebih berat.

Bagaimana kronologi pembubaran diskusi versi Refly Harun?

Pakar hukum tata negara, Refly Harun, diundang sebagai pembicara dalam diskusi bertajuk “Silaturahmi Kebangsaan Diaspora Bersama Tokoh dan Aktivis Nasional” yang diinisiasi Forum Tanah Air.

Diskusi yang digelar di salah satu hotel di Kemang, Jakarta Selatan, pada Sabtu (28/09) itu dirancang sebagai dialog antara diaspora Indonesia di mancanegara dengan sejumlah tokoh dan aktivis dalam negeri mengenai masalah-masalah kebangsaan serta kenegaraan.

Selain Relfy Harun, ada puluhan orang yang hadir seperti mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin, mantan sekretaris Kementerian BUMN Muhammad Said Didu, dan beberapa pensiunan jenderal TNI.

Diskusi tersebut, kata dia, bermakdud menyoroti pemerintahan Jokowi dan bagaimana prediksi pemerintahan Prabowo Subianto.

“Jadi ini diskusi yang wajar saja, tidak aneh-aneh. Kecuali kami merancang kejahatan untuk memberontak pada negara. Ini kami menyalurkan hak konstitusional ddengan cara berpikir dan mengeluarkan opini,” ujar Refly Harun kepada BBC News Indonesia.

Sekitar pukul 09:00 WIB, Refly mengaku sudah melihat kelompok massa yang menggelar unjuk rasa di depan hotel. Namun saat itu dia tidak mengetahui apa yang mereka protes.

“Saya mengira mereka buruh,” sebutnya.

Ketika diskusi hendak dimulai pukul 10:30 WIB, tiba-tiba sekelompok orang masuk ke dalam ruangan, sambung Refly.

Mereka, klaimnya, kemudian mengubrak-abrik peralatan seperti spanduk, layar televisi, dan beberapa barang lain sembari berteriak: ‘bubar-bubar!’

Refly berkata ia dan para tamu diskusi yang ada di sana bergeming.

“Kami di dalam membiarkan saja, karena bukan level kami beradu fisik. Kami bukan orang yang biasa beradu fisik, tapi beradu pikiran,” katanya.

“Kecuali beberapa ibu-ibu yang memprotes dengan nada keras, tapi dalam ruangan itu tidak terjadi bentrok fisik. Itu yang kami hindari.”

“Setelah itu mereka keluar, tapi situasi sudah tidak lagi kondusif. Kami kemudian menggelar konferensi pers dan tak lama potongan video pembubaran itu viral di media sosial,” sambungnya.

Dia menambahkan bahwa tidak ada satu pun polisi yang masuk dan mencoba menghentikan tindakan kelompok tersebut.

Refly kemudian bercerita usai insiden pembubaran itu Forum Tanah Air tetap melanjurkan acara. Tapi tak lagi sesuai rencana alias berubah jadi ajang silaturahmi semata.

Beberapa orang juga membicarakan soal Pancasila, UUD 1945, bahkan ada yang mempromosikan buku.

Intinya, kata dia, tak lagi menyoroti kebijakan-kebijakan Presiden Jokowi.

“Ide itu [Pancasila atau UUD] bukan gagasan dari Forum Tanah Air, karena kami lebih banyak concern pada evaluasi pemerintahan Jokowi dan bagaimana melihat pemerintahan Prabowo ke depan. Itu rencana yang mau didorong sesungguhnya,” ungkap Refly.

Sampai akhirnya di tengah acara, klaimnya, seorang petugas hotel mendadak masuk ke ruangan dan meminta agar diskusi betul-betul dihentikan karena khawatir dengan ancaman kelompok pendemo di luar.

“Makanya Forum Tanah Air akhirnya menghentikan kegiatan itu. Jam 12:00 WIB kami bubar setelah makan-makan,” ujarnya.

‘Diskusi memang tidak perlu izin’

Refly Harun mengatakan Forum Tanah Air bukan kali pertama ini menggelar diskusi. Beberapa saat setelah KomisI Pemilihan Umum (KPU) mengumumkan hasil Pilpres 2024, FTA juga pernah membuat acara serupa.

Selebihnya, karena banyak para anggotanya tinggal di luar negeri, diskusi berlangsung secara daring.

Dan setiap kali menggelar acara diskusi tatap muka tak pernah meminta izin.

Itu mengapa Refly keberatan dengan ucapan Kapolsek Mampang, Edy Purwanto, yang menyampaikan bahwa acara FTA tidak berizin sehingga membuat polisi tidak menduga akan ada sekelompok orang tak dikenal masuk ke ruangan dan memaksa diskusi dibubarkan dan melakukan pengerusakan.

“Polisi kok enggak ngerti aturan? Yang namanya kebebasan berkumpul dan berserikat tidak perlu izin. Hal itu dilindungi oleh konstitusi. Yang perlu hanya pemberitahuan, itu pun unjuk rasa di ruangan terbuka,” jelas Refly.

“Sedangkan kami di dalam ruangan yang resmi. Lama-lama negara ini jadi otoriter kalau besok-besok talkshow [gelar wicara] di televisi atau podcast [siniar] harus izin.”

Selain dituduh tak berizin, Refly juga menolak tudingan bahwa diskusi Forum Tanah Air memecah belah persatuan.

Refly mengatakan perbedaan pendapat tak bisa dikatakan memecah belah.

“Pernyataan sontoloyo itu. Memuji dan mengkritik pemerintah sama nilainya. Itu lah hakekat demokrasi, sama-sama harus dihormati,” ungkapnya.

“Lagian memecah belah dari mana? Diskusinya saja belum dimulai sudah mencap memecah belah karena dihadiri orang-orang kritis.”

Baca juga:

  • Di balik aksi demo di depan kantor ICW, Kontras, dan LBH – Rasisme atau intimidasi terkait tuduhan kecurangan pemilu?
  • Siapa di balik aksi ‘intimidasi’ dan ‘peretasan’ terhadap diskusi aktivis PWF di Bali – ‘Watak otoriter Orba yang masih dipertontonkan‘

Perwakilan Forum Tanah Air, sebutnya, tidak akan membuat laporan resmi soal pembubaran maupun aksi pengerusakan ke kepolisian karena menganggap tindakan itu adalah delik umum, bukan delik aduan.

Selain itu, perbuatan kelompok tersebut terjadi “di depan hidung polisi” sehingga tinggal bagaimana aparat menindak, ujar Refly.

Yang pasti, dia meminta agar kepolisian tidak hanya menjerat para pelaku dengan pasal-pasal ringan, tapi juga yang terkait dengan tindak pidana lebih berat.

“Sekarang apakah polisi menganggap gangguan serius ini pelanggaran terhadap konstitusi atau aksi premanisme biasa?”

“Kalau saya menganggap ini bukan tindak pidana ringan. Ini tindak pidana politik.”

Polisi tetapkan dua tersangka

Wakapolda Metro Jaya, Djati Wiyoto Abadhy, menuturkan bahwa mulanya polisi tengah berjaga di depan hotel yang menggelar aksi unjuk rasa.

Tapi tiba-tiba sekitar 10-15 orang langsung masuk merangsek ke dalam ruangan. Tenaga pengamanan hotel setempat, kata dia, sempat mencegah aksi tersebut sampai terjadi aksi pemukulan.

Hanya saja, klaimnya, jumlah petugas polisi tidak seimbang membuat massa berhasil masuk. Setelahnya, polisi di depan hotel baru menuju gedung belakang yang berjarak sekitar 100 meter.

Polisi disebut telah menangkap lima orang pelaku pembubaran dan perusakan diskusi yang digelar oleh Forum Tanah Air.

“Kelima orang yang kami tangkap dalah FEK, GW, JJ, LW, dan MDM,” ujar Djati Wiyoto seperti dilansir kantor berita Antara.

Djati mengatakan pria berinisial FEK berperan sebagai koordinator lapangan aksi, sedangkan GW menjad orang yang masuk ke dalam ruangan seminar dan melakukan aksi pengerusakan.

Kemudian JJ disebut masuk ke dalam untuk membubarkan dan mencabut baliho. Adapun LW dan MDM juga disebut melakukan perusakan dan membubarkan acara.

Dari kelimanya, dua orang yakni FEK dan GW sudah ditetapkan sebagai tersangka dan dijerat pasal berlapis terkait pengeroyokan, pengerusakan, dan penganiayaan.

Apa motif dan siapa penggeraknya?

Wakapolda Metro Jaya, Djati Wiyoto Abadhy, menyebut pihaknya masih mendalami motif para pelaku. Kendati dia menegaskan Polda Metro Jaya tidak menoleransi segala bentuk premanisme.

“Kita akan lakukan skrining dan pendalaman terhadap para pelaku. Siapa yang menggerakkan, apa motifnya, apa tujuannya,” kata dia.

Selain itu polisi juga sedang menyelidiki secara internal terhadap para anggotanya yang bertugas mengamankan pada saat aksi unjuk rasa berlangsung. Tujuannya untuk mengetahui apakah ada pelanggaran prosedur atau tidak.

Baca juga:

  • Berulang kali dibubarkan, mengapa diskusi sejarah dianggap momok?
  • Mengapa masih ada pembubaran acara diskusi mahasiswa Papua?

Ia mencontohkan apakah sudah dilakukan pemeriksaan jumlah personel yang dilibatkan dan kemudian saat acara, apakah tindakan yang akan dilakukan, termasuk bila terjadi dinamika yang berkembang, apa yang harus dilakukan.

“Kami akan lakukan investigasi secara internal jika ada pelanggaran yang dilakukan oleh anggota kita pada saat kegiatan pengamanan kemarin,” imbuhnya.

Dia juga bilang pihaknya siap menerima kritik atas kekurangan dan kelemahan pada petugas yang melaksanakan tugas sebagai bahan evaluasi dan perbaikan pelaksanaan tugas.

Pasalnya seperti dalam video yang viral nampak para pelaku perusuh tersebut mencium tangan polisi dan memeluk saat mereka meninggalkan lokasi hotel.

“Kita lihat video yang beredar di lapangan, di media sosial, jadi pada saat mereka selesai melakukan aksi pembubaran, mereka dari hasil pemeriksaan yang kita lakukan mengatakan bahwa ini sebagai bentuk wujud etika, pamit dengan petugas atau anggota yang ada di situ,” klaim Djati.

Terpisah, pendamping hukum lima pelaku Gregorius Upi dari DG & Patners Lawfirm, menuturkan kliennya menyesal atas perbuatan tersebut. Para pelaku aksi siap mempertanggungjawabkan tindakannya.

“Klien kami menyadari bahwa tindakan mereka dalam membubarkan diskusi tersebut tidak dibenarkan dan mengakibatkan ketidaknyamanan bagi berbagai pihak. Mereka menyesali tindakan mereka yang telah membuat kegaduhan dan siap untuk mempertanggungjawabkan tindakan mereka sesuai dengan proses hukum yang berlaku,” ungkapnya seperti dilansir Detik.com.

Ia juga mengeklaim kliennya tidak terlibat kerja sama dengan polisi terkait aksi pembubaran tersebut.

Greg menjelaskan alasan kelima orang itu masuk lewat pintu belakang hotel karena alasan efisiensi dan tanpa ada arahan dari pihak mana pun, termasuk aparat polisi.

Aksi pembubaran diskusi punya pola yang sama

Organisasi hak asasi manusia Elsam menyebut aksi pembubaran diskusi Forum Tanah Air di salah satu hotel di Kemang memperlihatkan semakin buruknya perlindungan kebebasan sipil di Indonesia.

Sebab tindakan serupa juga menimpa sejumlah orang yang menggelar Aksi Damai Global Climate Strike di Jakarta pada Jumat (27/09).

Situasi tersebut, menurut Elsam, menunjukkan suramnya jaminan perlindungan hak asasi manusia bagi warga negara, khususnya pasca-Pemilu 2024.

Dalam insiden di Kemang, menurut Elsam, setidaknya ada empat bentuk dugaan pelanggaran hak asasi manusia: kebebasan berserikat dan berkumpul secara damai; hak untuk mengembangkan diri; hak untuk berkomunikasi, memperoleh informasi, dan menyampaikan informasi melalui berbagai saluran yang tersedia; dan hak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu.

Padahal negara mempunyai kewajiban untuk menghormati, memenuhi, dan melindungi, kata Elsam.

“Namun rangkaian peristiwa di atas menunjukkan bahwa negara telah gagal memastikan adanya iktikad baik yang cukup untuk sepenuhnya memenuhi kewajiban itu,” ujar peneliti Elsam, Octania Wynn.

Terkait soal pernyataan polisi yang menyebut bahwa acara FTA tidak berizin sehingga membuat polisi tidak menduga akan ada sekelompok orang tak dikenal masuk ke ruangan dan memaksa diskusi dibubarkan dan melakukan pengerusakan, tidak bisa dibenarkan, menurutnya.

Octania menilai pernyataan polisi justru memberi kesan menyalahkan pihak yang menyelenggarakan diskusi damai.

Padahal, tegasnya, penyelenggaraan suatu diskusi, apalagi perdebatan ilmiah tidak memerlukan perizinan dari pihak mana pun.

“Bahkan dalam rezim hukum kebebasan berkumpul, termasuk demonstrasi damai, mengacu pada UU nomor 9 tahun 1998 tidak dikenal adanya perizinan,” ujarnya.

“Respons aparat yang demikian memperlihatkan rendahnya pemahaman aparat dalam memahami aturan.”

Baca juga:

  • KTT G20: Aktivis kecam ‘pembungkaman’ hak menyampaikan pendapat – ‘kami saja dibegitukan apalagi masyarakat awam’
  • Demo mahasiswa papua: Tindakan polisi tangani pengunjuk rasa diibaratkan ‘menghalau asap, bukan api’

Itu mengapa dia mendesak polisi mengusut tuntas kasus tersebut. Jika tidak maka dalam jangka panjang aksi-aksi kekerasan dan tindakan intimidasi serupa akan terus terjadi.

Pengamatan Elsam rentetan kasus pembubaran diskusi atau protes dalam beberapa tahun terakhir memiliki pola yang sama: diinisiasi oleh kelompok pro-kekerasan dan berakhir dengan penggunaan kekerasan terhadap kelompok yang menjadi sasaran aksi.

Rangkaian peristiwa intimidasi dan kekerasan terhadap kebebasan sipil akhir-akhir ini juga memperkuat simpulan bahwa selama dua periode masa pemerintahan Presiden Jokowi, perlindungan terhadap kebebasan sipil terus mengalami penurunan.

Riset Elsam pada 2024 yang dilakukan di Kalimantan Timur, Sumatra Barat, Jawa Barat, Yogyakarta, Nusa Tenggara Barat, dan Jakarta menunjukkan “sebanyak 46,4% responden mengaku sangat tidak puas atas perlindungan dan pemenuhan hak berorganisasi dan berkumpul.”

Kemudian sekitar 34,8% tidak puas dan sisanya 18,8% merasa cukup puas.

Deretan acara-acara yang dibubarkan sepanjang 2024

Sepanjang Januari hingga September 2024 setidaknya sudah terjadi beberapa kali pembubaran aksi protes damai yang dilakukan oleh sekelompok orang tak dikenal.

  • Aksi Global Climate Strike

Kegiatan ini diinisasi oleh sejumlah LSM namun mendapatkan intimidasi dari orang tak dikenal. Mulanya, seorang pria yang bukan bagian dari peserta aksi berorasi memuji pemerintahan Presiden Joko Widodo atau Jokowi.

Pukul 13:30 WIB, beberapa orang preman merampas properti milik peserta aksi, seperti poster, pengeras suara, dan patung manekin yang menggambarkan Jokowi.

Meski polisi berada di lokasi, mereka tidak melakukan tindakan untuk menghentikan perampasan tersebut.

“Perampasan tersebut terjadi tepat di depan aparat yang bertugas. Alih-alih melindungi jalannya aksi damai, polisi memilih untuk diam dan menyaksikan tindak kekerasan tanpa melakukan upaya untuk menghentikannya,” sebut Koalisi Global Strike, pada Jumat (27/09).

  • Diskusi ICW

Diskusi yang direncanakan oleh LSM anti-korupsi, ICW, berjudul “Marah-Marah kepada Private Jet dan Fufufa” dibatalkan oleh manajemen Kala di Kalijaga, Blok M, Jakarta Selatan pada Kamis (12/09).

Diskusi ini ingin membahas kontroversi terkait penggunaan fasilitas mewah oleh keluarga Jokowi, termasuk tentang politik dinasti.

Manajemen Kala di Kalijaga menyatakan bahwa ICW tidak mengantongi izin yang diperlukan untuk diskusi di lokasi tersebut.

Mereka juga menyebut acara tersebut rawan menimbulkan gangguan keamanan. Akibatnya, diskusi harus dipindahkan ke Guyonan Cafe yang berlokasi di Kebayoran Lama, Jakarta Selatan.

Peneliti ICW, Egi Primayogha, menyayangkan pembatalan ini dan menilai alasan yang diberikan pihak manajemen tidak berdasar.

  • Forum Air Rakyat di Hotel Oranjje Denpasar

Diskusi Forum Air Rakyat yang berlangsung di Hotel Oranjje, Denpasar, Bali pada 20-21 Mei 2024, bertepatan dengan acara World Water Forum ke-10.

Diskusi ini bertujuan membahas pengelolaan sumber daya air yang berorientasi kepentingan masyarakat. Namun, acara tersebut dibubarkan oleh ormas Patriot Garuda Nusantara (PGN).

“Mereka bahkan mengusir tamu undangan, jurnalis, dan pembicara. Salah satu yang diusir adalah I Dewa Gede Palguna, mantan hakim Mahkamah Konstitusi RI,” kata Koordinator DDF Ignasius Darmawan seperti dilansir Tempo.

Kemudian pada 20 Mei, sekelompok massa ormas menerobos masuk ke lokasi diskusi dan mencopot atribut acara secara paksa.

Mereka melakukan intimidasi verbal dan fisik terhadap peserta yang berasal dari berbagai kalangan, termasuk aktivis, akademisi, dan masyarakat umum.

Pada hari kedua, 21 Mei, intimidasi makin meningkat dengan adanya penghadangan dan penguncian ruang diskusi.

  • Pembubaran Ceramah Syariah Riza Basalamah

Pengajian yang dipimpin oleh penceramah Syafiq Riza Basalamah di Masjid Assalam Purimas, Gunung Anyar, Surabaya pada 22 Februari 2024, dibubarkan oleh Gerakan Pemuda Ansor (GP Ansor) dan Barisan Ansor Serbaguna (Banser).

Organisasi tersebut menuding Syafiq Riza Basalamah sering menyerang ajaran dan amaliyah Nahdlatul Ulama (NU), termasuk dalam hal berzikir.

Pada pagi hari sebelum acara, GP Ansor dan Banser telah mengadakan musyawarah dengan pihak penyelenggara dan aparat setempat, serta sepakat untuk hanya menyelenggarakan salat maghrib berjamaah tanpa ceramah Syafiq Riza Basalamah.

Namun, panitia tetap menggelar pengajian pada sore harinya, sehingga massa dari GP Ansor dan Banser datang untuk membubarkan acara.

  • Diskusi Forum Anomali di Parepare

Diskusi yang digelar oleh Forum Anomali dan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) di Kota Parepare pada 19 Januari 2024 bertujuan untuk membahas masa depan dan anomali demokrasi di Indonesia.

Tapi, diskusi tersebut dibubarkan oleh kepolisian setempat.

Diskusi ini menghadirkan Ketua BEM Universitas Indonesia (UI) Melki Sedek Huang, Ketua BEM KM Universitas Gadjah Mada (UGM) Gielbran M. Noor, Ketua BEM Universitas Padjadjaran (Unpad) Muhammad Haikal, dan Sekretaris Jenderal Sema Paramadina Afiq Naufal. Mereka juga merupakan pendiri Forum Anomali.

Kapolres Parepare, Arman Muis, telah memberikan imbauan agar acara tersebut dibatalkan.

Meski demikian, penyelenggara tetap melanjutkan diskusi di tempat yang telah ditentukan. Namun, saat acara berlangsung, sejumlah polisi datang memantau jalannya diskusi, kemudian membubarkan acara tersebut.

Leave a comment