Informasi Terpercaya Masa Kini

Momen Hakim MK Terisak saat Putus Gugatan 5 Ibu yang Anaknya ‘Diculik’ Eks Suami

0 9

Ada momen haru saat Mahkamah Konstitusi (MK) memutus gugatan lima orang ibu yang anaknya ‘diculik’ oleh mantan suami mereka. Momen tersebut terjadi saat salah satu hakim MK, Guntur Hamzah, menyatakan pendapat berbeda (dissenting opinion) atas putusan terkait gugatan para ibu tersebut.

Para ibu itu dalam gugatannya mempermasalahkan Pasal 330 Ayat (1) KUHP yang berbunyi: “Barang siapa dengan sengaja menarik seorang yang belum cukup umur dari kekuasaan yang menurut undang-undang ditentukan atas dirinya, atau dari pengawasan orang yang berwenang untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun”.

Frasa ‘barang siapa’ yang menjadi persoalan. Kelima ibu itu merasa dirugikan hak konstitusionalnya lantaran hal tersebut. Kelima ibu tersebut tidak bisa memproses secara hukum mantan suami mereka atas dugaan penculikan karena frasa tersebut. Sebab, ‘penculikan’ anak itu dilakukan oleh ayah kandung sang anak.

Para ibu meminta frasa tersebut diganti menjadi: ‘Setiap orang tanpa terkecuali ayah atau ibu kandung dari anak’.

Namun, MK menolak permohonan tersebut untuk keseluruhan karena frasa ‘barang siapa’ dalam Pasal 330 ayat (1) KUHP sudah sangat jelas, mencakup juga permohonan para ibu tersebut.

Meski begitu, Guntur Hamzah punya sikap berbeda. Guntur menilai gugatan para ibu itu harusnya dikabulkan sebagian. Bahkan saat membacakan dissenting opinion-nya, Guntur sempat terisak, mengingat kesaksian para ibu yang dilontarkan di persidangan.

Menurut Guntur, pengasuhan anak pada dasarnya merupakan tanggung jawab kedua orang tuanya. Tanggung jawab tersebut tetap melekat meskipun terjadi perceraian.

Perspektif Islam

Dalam perspektif Islam, kata Guntur, penghormatan anak kepada ibunya didahulukan tiga kali lebih banyak dibandingkan penghormatan terhadap ayahnya. Artinya ada penegasan khusus pada peran ibu dalam pemeliharaan, pengasuhan, dan tumbuh kembang anak.

Kaitan dengan Pasal 330 KUHP, Guntur menilai bahwa kedua orang tua dari seorang anak di bawah umur sejatinya dan idealnya diasuh secara bersama-sama oleh kedua orang tuanya. Meskipun kedua orang tua dimaksud secara bersama-sama atau sendiri-sendiri berhak untuk mengasuh anaknya yang masih di bawah umur.

“Anak di bawah umur adalah orang/anak yang belum dewasa. Anak yang masih dalam pengawasan orang tua atau walinya. Anak yang secara yuridis belum dapat menentukan pilihan orang tua yang terbaik untuk mengasuhnya. Anak yang belum mampu membedakan antara yang baik dan buruk yang dalam hukum Islam disebut belum mumayyiz. Anak demikian harus mendapatkan perlindungan, pemeliharaan, dan pengasuhan karena sangat rentan dan membutuhkan sosok yang dapat memberikan bimbingan dan kasih sayang,” kata Guntur dalam persidangan di Gedung MK, Jakarta, Kamis (26/9).

Guntur Hamzah Terisak

Guntur mengaku nelangsa saat mendengar kesaksian para ibu di persidangan. Di momen inilah, dia terisak.

“Terus terang, saya merasa nelangsa tatkala membaca permohonan pemohon dan mendengar kesaksian ibu-ibu yang terpaksa harus berpisah dengan ‘buah hatinya’ yang masih di bawah umur karena rebutan hak asuh anak yang berujung pada pengambilan paksa seorang anak dari ibu kandung,” kata Guntur sembari terisak.

Terlihat juga dia berhenti sejenak, lalu mengusap wajah dengan tangannya. Matanya tampak berkaca-kaca.

“Lebih sedih lagi, dalam perkara a quo, mahkamah tidak seperti biasanya melakukan terobosan hukum, padahal dalam beberapa perkara lainnya yang tidak perlu saya sebutkan satu per satu dalam ruang yang terbatas ini, mahkamah tampak melangkah maju mengambil sikap,” kata dia.

Guntur menegaskan kewenangan seorang ibu dalam mengasuh anak.

“Penguasaan atau pengasuhan ibu kandung dapat dikesampingkan apabila ibu kandung terbukti antara lain: tidak cakap, kehilangan ingatan, sakit jiwa, maupun di bawah pengampuan yang berdampak pada kesehatan rohani dan jasmani anak,” ucapnya.

“Kedua, penelantaran anak. Hanya dengan kedua alasan pengecualian itulah ayah kandung dapat menarik anak di bawah pengawasan penguasaan ibu kandung yang tentunya harus melalui prosedur hukum misalnya putusan pengadilan,” lanjutnya.

“Sebelum adanya putusan pengadilan anak di bawah umur harus dipandang di bawah penguasaan atau pengasuhan ibu kandungnya,” lanjutnya.

Akses Bagi Kedua Orang Tua

Menurut Guntur, meskipun status perkawinan orang tua telah berakhir, kedua orang tua harus tetap saling diberi akses kepada anak untuk dapat berkomunikasi satu sama lain baik dengan ayah maupun ibu kandungnya.

“Hati kecil saya terasa miris melihat kenyataan terhadap anak di bawah umur yang harus dipisahkan secara paksa dari salah satu orang tuanya terlebih ibu kandungnya dengan cara-cara melawan hukum, terlebih terhadap dirinya telah sah memiliki hak asuh berdasarkan putusan pengadilan,” kata Guntur.

“Sebaik dan sekaya apa pun seorang ayah, tetap tidak dapat menggantikan sosok dan peran ibu kandung. Bagi para pemohon yang anaknya ditarik secara paksa dan disembunyikan oleh mantan suaminya tentunya menggantungkan asa dan harapan kepada mahkamah karena hanya kepada mahkamah tafsir ulang terhadap kata ‘barang siapa’ dalam norma Pasal 330 ayat (1) KUHP agar memberikan rasa keadilan yang dapat menjerat orang yang telah sengaja tega memisahkan anak kandungnya,” sambungnya.

Menurut Guntur, seharusnya frasa barang siapa dalam norma a quo tidak hanya dibaca setiap orang, tapi juga harus dipahami dalam konteks norma dalam pasal a quo secara utuh yang pada pokoknya menekankan keberpihakan hak pengasuh yang lebih cenderung diletakkan kepada ibu kandungnya demi memperkokoh ikatan batin anak dan ibunya, serta guna kepentingan pertumbuhan anak yang masih di bawah umur.

Dengan demikian, menurut Guntur, seharusnya Pasal 330 ayat (1) KUHP diubah. Frasa barang siapa diganti dengan ‘setiap orang termasuk Ayah atau Ibu kandung’.

“Sehingga pasal a quo selengkapnya berbunyi ‘setiap orang dengan sengaja menarik seorang yang belum cukup umur dari kekuasaan yang menurut UU ditentukan atas dirinya, termasuk ayah/ibu kandungnya atau dari pengawasan orang berwenang untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun,” pungkas Guntur Hamzah.

Leave a comment