Siasat Pemerintah Melawan Putusan MK Belum Berakhir,Dua Surat KPU ke DPR Bocor: Lihat Itu
TRIBUN-PAPUA.COM – Demonstrasi melawan upaya DPR RI dan pemerintah yang hendak merevisi UU Pilkada untuk mengakali putusan Mahkamah Konstitusi (MK), di Gedung DPR, Jakarta, sudah mereda.
Namun, tak demikian halnya dengan kecurigaan publik.
Kekhawatiran publik belum juga sirna meski Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menegaskan akan mengikuti putusan MK yang mengatur syarat pencalonan pada Pilkada 2024.
Rakyat Indonesia juga mencurigai pernyataan DPR RI yang menyatakan membatalkan pengesahan RUU Pilkada dan mengikuti putusan MK tersebut.
Pasalnya, norma baru yang melawan putusan MK bisa diselundupkan dalam peraturan KPU.
Pada Jumat (23/8/2024), sejumlah elemen masyarakat mengalihkan unjuk rasa di Gedung KPU, Jakarta.
Pasalnya, setelah revisi UU Pilkada dibatalkan, kini ancaman melawan putusan MK bisa dimasukkan saat revisi peraturan KPU.
Kekhawatiran memuncak karena KPU akan mengonsultasikan draf rancangan revisi ke DPR dan pemerintah, para pihak yang berupaya membangkangi putusan MK sebelumnya.
Baca juga: Demonstrasi Meletus di Senayan, Raja Jawa Bungkam Setelah Kepentingan Anaknya Tak Terwujud
Unjuk rasa dari berbagai elemen memadati ruas jalan di depan Gedung KPU RI hingga petang.
Yel-yel yang menunjukkan ketidakpercayaan publik terhadap proses demokrasi silih berganti.
Mereka sekaligus menuntut KPU sebagai penyelenggara pemilu untuk bersikap independen dan mematuhi putusan MK.
Tak hanya melalui unjuk rasa, sejumlah elemen masyarakat sipil, tokoh nasional, mahasiswa, dan aktivis 1998 mendatangi KPU untuk mengingatkan agar lembaga penyelenggara pemilu itu patuh pada putusan MK.
Perwakilan tokoh masyarakat yang hadir, antara lain, ialah aktivis dan pengamat politik Ray Rangkuti; aktivis perempuan Tunggal Pawestri; komisioner KPU periode 2012–2017, Hadar Nafis Gumay; pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi Titi Anggraini.
Lalu, ada Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Rendy NS Umboh; budayawan Benny Susetyo; Ketua Senat Mahasiswa STF Driyarkara Stanislas Fritz Prasetyo, dan Komisioner Komnas HAM Sandrayati Moniaga.
Kemudian, hadir pula perwakilan dari Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Keluarga Mahasiswa Universitas Negeri Semarang, BEM Seluruh Indonesia, BEM Fakultas Ekonomi dan Bisnis UPN Veteran Yogyakarta, serta BEM Keluarga Mahasiswa Universitas Padjadjaran.
Di hadapan Ketua KPU Mochammad Afifuddin serta anggota KPU, August Mellaz dan Yulianto Sudrajat, mereka meminta agar KPU melaksanakan putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024 terkait ambang batas pencalonan dari partai politik atau gabungan partai untuk pilkada dan putusan MK Nomor 70/PUU-XXII/2024 tentang penghitungan syarat usia calon sejak tanggal penetapan calon secara konsisten dan menyeluruh.
”Konsisten itu artinya seluruh isi dari putusan MK diadopsi tanpa kecuali, tidak lebih, dan tidak bukan dari apa yang sudah diputuskan oleh MK. Menyeluruh artinya, seluruh putusan MK diadopsi, atu tidak boleh parsial,” kata Titi.
Kekhawatiran bahwa Pilkada 2024 berjalan tidak sesuai dengan konstitusi karena hingga kini KPU belummengeluarkan revisi Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 8 Tahun 2024 tentang Pencalonan di Pilkada.
Padahal, aturan itu menjadi acuan teknis dalam menindaklanjuti putusan MK dan digunakan sebagai dasar hukum saat KPU menerima pendaftaran calon pada 27-29 Agustus mendatang.
Kecurigaan kian terpantik karena di jagat maya dan aplikasi percakapan beredar foto undangan rapat konsinyering dan rapat dengar pendapat KPU dengan Komisi II DPR yang intinya pembahasan revisi tak akan menyelaraskan dengan putusan MK atau hanya salah satu putusan MK yang diadopsi.
Menanggapi kekhawatiran dari elemen masyarakat tersebut, Ketua KPU Mochammad Afifuddin menegaskan bakal mengadopsi putusan MK Nomor 60 dan 70 saat merevisi peraturan KPU.
”Kita ikuti putusan MK Nomor 60 dan 70,” tegasnya.
Sebagai bagian dari proses revisi itu, KPU memperhatikan mekanisme peraturan perundang-undangan yang ada.
Oleh karena itu, sebelum merevisi PKPU, KPU harus berkonsultasi dengan DPR pada Senin (26/8/2024) atau sehari sebelum hari pertama pendaftaran calon pilkada pada 27 Agustus 2024.
Konsultasi dengan DPR itu dianggap penting karena KPU pernah memiliki pengalaman pahit saat Pemilihan Presiden 2024, yakni ketika keputusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang Persyaratan Usia Calon Presiden dan Wakil Presiden ditindaklanjuti tanpa konsultasi ke DPR dan pemerintah.
Hal itu berujung pada sanksi peringatan keras terakhir dari Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) untuk komisioner KPU.
Putusan MK serta tindak lanjut dari KPU itu memicu polemik di masyarakat karena menjadi pintu gerbang bagi putra sulung Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka, untuk maju dalam pemilihan sebagai calon wakil presiden, mendampingi calon presiden Prabowo Subianto.
”Kami punya pengalaman dulu ada putusan MK dalam proses pilpres, dalam perjalanannya, kami tindak lanjuti. Tetapi, saat itu konsultasi tidak sempat dilakukan karena satu dan lain hal dan selanjutnya dalam aduan dan putusan DKPP, kami dinyatakan salah dan diberi peringatan keras terakhir,” ujar Afifuddin.
Baca juga: Hakim PN Jakarta Selatan Ini Ungkap Kaesang Urus Surat Keterangan untuk Maju di Pilkada Jateng 2024
Maka, KPU kali ini memutuskan untuk mengikuti prosedur yang seharusnya dilakukan, yakni berkonsultasi terlebih dahulu dengan DPR sebelum mengundangkan revisi PKPU.
Sikap KPU ini, menurut Titi, perlu diapresiasi. Namun, di sisi lain, masyarakat harus terus mengawasi mengingat pengumuman pencalonan pilkada mulai dilakukan pada Sabtu (24/8/2024).
”Pengumuman itu menjadi sikap KPU dalam memberlakukan putusan MK. Itu menjadi hukum positif yang harus kita kawal,” ujarnya.
Titi juga meminta masyarakat terus mengawal KPU dalam proses konsultasi dengan DPR. ”Jangan sampai setelah konsultasi, KPU mengubah putusan,” katanya.
Belum tenang
Meskipun KPU telah menegaskan akan mengikuti putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam Pilkada 2024, menurut Hadar Nafis Gumay, masyarakat belum bisa tenang.
Hal itu karena pengalaman masa lalu di mana KPU bisa berubah setelah bertemu dengan DPR.
Ia mencontohkan, KPU pernah menyatakan akan melakukan tindakan afirmatif dengan pemberian kuota 30 persen bagi perempuan dalam Pemilu 2024.
Namun, setelah bertemu DPR, KPU justru mengeluarkan kebijakan yang memundurkan kebijakan afirmasi keterwakilan perempuan dalam bentuk kuota pencalonan 30 persen perempuan di parlemen.
Kebijakan tersebut berisi formula penghitungan keterwakilan perempuan berupa pembulatan ke bawah pada penetapan daftar calon tetap (DCT) pada tiap daerah pemilihan (dapil).
Mahkamah Agung (MA) telah mengoreksi kebijakan tersebut melalui Putusan MA No 24 P/HUM/2023 yang memerintahkan KPU mencabut pasal tersebut dengan alasan bertentangan dengan UUD, UU No 7/1984 tentang Ratifikasi The Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women (CEDAW), dan UU Pemilu.
Namun, KPU mengabaikan perintah itu hingga DCT ditetapkan.
”Melanggar undang-undang saja mereka berani karena DPR. Akhirnya diadukan. Di tingkat nasional tidak sesuai 30 persen, dan oleh MK diminta melakukan pemungutan suara ulang,” kata Hadar Nafis Gumay.
Rendy NS Umboh menambahkan, masih banyaknya masyarakat yang berunjuk rasa menunjukkan adanya ketidakpercayaan mereka terhadap KPU karena rekam jejaknya selama ini.
Namun, masyarakat tetap harus memberi kesempatan kepada KPU untuk membuktikan diri bisa dipercaya.
Baca juga: Bagaimana MK Memutuskan Perubahan Ambang Batas Pencalonan Pilkada? Begini Kronologisnya
”Bukan berarti kita diam saja. Harus tetap kita kawal. Setidaknya dengan adanya pernyataan KPU, kita harus percaya. Kalau tidak percaya, siapa lagi yang bisa kita percaya,” kata Rendy.
Secara administratif, Rendy mendukung langkah KPU untuk berkonsultasi dengan DPR.
Namun, secara substansi, ia mendesak KPU agar mematuhi putusan MK.
”Kita harus mengawal KPU menjalankan putusan MK,” katanya. (*)
Berita ini dioptimasi dari Kompas.id, silakan berlangganan.